Enam

2 0 0
                                    


Reinda kesal. Sejak tadi pagi moodnya benar-benar berantakan ketika menemukan Aira yang ternyata hanya pura-pura menangis untuk membangunkannya. Padahal saat itu Reinda merasa jantungnya hampir copot ketika mendengar suara tangis Aira.

Karena bagi Reinda, tangisan orang-orang yang disayanginya adalah harga mati. Reinda bahkan tidak segan-segan akan menghabisi siapapun yang berani membuat orang kesayangannya menangis, Bunda, teh Risa, Risya adiknya dan tentu saja....... Aira.

Untuk itu, Reinda mendiamkan Aira sejak tadi pagi. Cowok itu bahkan puasa berbicara dengan Aira meski secara diam-diam Reinda tetap memperhatikan Aira dari jauh. Meski sebenarnya tidak tega, Reinda terus menjalankan rencananya. Kali ini ia tidak marah, Reinda hanya ingin mengerjai Aira, sampai selesai latihan sepak bola nanti ia akan kembali bicara dengan Aira. Biarlah sebagai gantinya, Reinda akan mengajak Aira nonton film sepuasnya.

Reinda menghembuskan napas lega. Latihannya baru selesai lima menit lalu, sedikit molor setengah jam karena ada beberapa hal yang harus diperbaiki sebelum turnamen dilaksanakan. Sejak tadi Reinda bahkan menahan diri untuk fokus dan tidak terus menerus menoleh ke arah Aira yang Reinda tebak sudah kebakaran jenggot menungguinya sendirian.

Senyum Reinda mengembang ketika memperhatikan Aira yang sedang duduk manis di sudut lapangan tepat di bawah pohon besar yang rindang namun juga sedikit menyeramkan.

"Reinda?" Panggil seorang pria paruh baya dengan peluit yang menggantung di lehernya, Coach Zaka, pelatih bola kesebelasannya.

"Iya coach?"

"Bisa bicara sebentar?" Reinda mengalihkan pandangannya sejenak pada Aira yang terlihat mengobrol santai dengan Satria. Cewek itu bahkan tidak segan tertawa bersama Satria, hal yang sangat jarang Aira lakukan jika tidak bersama dengan orang terdekatnya.

Reinda akhirnya mengikuti langkah coach Zaka dengan tidak rela karena sebagian besar fokusnya masih tertuju pada Aira.

Untungnya pembicaraannya dengan Coach Zaka tidak bertahan lama, pelatihnya itu harus segera pergi untuk menghadiri rapat mengenai kejuaraan nasional yang sebentar lagi akan Reinda dan teamnya ikuti. Namun lagi-lagi perjalanan Reinda menghampiri Aira kembali terhambat.

Kali ini rombongan-rombongan cewek yang Reinda anggap memuakkan mulai mengerubunginya, membuat sesak langkah Reinda hingga cowok itu tidak dapat meneruskan langkahnya karena saking padatnya cewek-cewek yang bergerombol memutarinya. Ada yang meminta foto, ada yang meminta berkenalan, bahkan ada yang terang-terangan mengatakan bahwa ia merupakan fans Reinda yang telah menyukainya sejak awal ia bergabung di sekolah sepak bola Garuda.

"Misi ya misi, gue mau lewat. Minggir dong bentar." Ujar Reinda kalem, cowok itu bahkan tersenyum meski sedikit dipaksakan, berharap cewek-cewek ini tahu diri dan segera menyingkir dari hadapannya.

"Reinda minta foto dong."

"Rein kasih tau id line lo, siapa tau kita jodoh?"

"Ih ganteng senyum dikit lah, jangan pelit."

Reinda mulai muak karena cewek-cewek itu bersikap seolah tak mendengarnya.

Gue bacok juga nih lama-lama, "Permisi! Gue mau lewat. Bolehin jangan?" Ujar Reinda dengan super duper lembut, jurus terakhirnya menghadapi cewek-cewek ini. Jika tidak mempan, mungkin Reinda akan menggunakan jurus seribu bayangan untuk menghilang.

Senyum Reinda terkembang ketika kerumunan itu terbelah memberi jalan untuknya, meski harus berkorban telinga mendengar jeritan histeris para cewek yang menamai mereka dengan sebutan 'Reiners' itu. Senyum Reinda semakin melebar ketika matanya menangkap Aira yang Reinda tebak sedang berjuang menuju ke arahnya.

AM I [IN]VISIBLE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang