Usai insiden ketidakpekaan Aira kemarin, hari ini sepulang sekolah Reinda menemani Aira belanja bulanan. Hari ini Reinda meminjam mobil mini cooper berwarna putih milik Tetehnya.
Awalnya Teh Risa bersikeras tidak mau meminjamkan mobilnya pada Reinda, namun setelah menyebut nama Aira, Tetehnya itu berubah menjadi jinak, bahkan Teh Risa tidak meminta ganti rugi bensin pada Reinda seperti biasa. Aira memang mempunyai daya pikat tersendiri untuk membuat semua orang tersihir hanya dengan menyebut namanya.
"Sayur sama buah?"
"Udah." Reinda menjawab kalem setiap pertanyaan dari Aira. Mereka memang telah selesai belanja sejak lima menit yang lalu, dan sekarang hanya tinggal mengecek ulang belanjaan sebelum membayarnya ke kasir, takut ada beberapa barang yang lupa terbeli.
"Pemba–" Sadar akan kesalahan, Aira segera menghentikan ucapannya. "Eh nggak ada yang ketinggalan kok. Udah lengkap semua," Aira berbohong.
Nyatanya ada satu barang yang belum Aira ambil, yaitu pembalut. Tadi sebenarnya mereka sudah melewati lorong bagian pembalut, tapi sayang sekali, karena terlalu asyik mengobrol dengan Reinda, Aira malah lupa untuk mengambilnya.
Karena melamun, Aira tidak sadar jika kini Reinda menghilang. Cowok itu pergi tanpa pamit, yang tentu saja membuat Aira kesal.
"Sialan. Katanya mau nemenin belanja, sekarang malah ngilang gitu aja. Ngeselin." Gerutu Aira sambil mendorong troli belanjaannya menuju ke arah kasir.
Sebenarnya sejak tadi yang mendorong troli dan mengambil barang-barang adalah Reinda, sedangkan Aira hanya berjalan santai sembari mendikte Reinda mngenai beberapa barang yang harus cowok itu ambil.
Barang belanjaan Aira hampir selesai dihitung, sedangkan Reinda tidak kunjung kembali. Kini Aira bingung, bagaimana caranya membawa barang belanjaan sebanyak itu dengan kedua tangan mungilnya.
"Aira?!"
Mendengar namanya dipanggil, Aira menoleh. Didapatinya seorang cowok memakai kaos putih dengan celana pendek selutut berdiri dengan gaya maskulin tepat di belakang Aira.
"Raka?" Cowok itu tersenyum, tidak menyangka akan bertemu dengan Aira disini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Raka, ketua kelas dua belas ipa satu itu naksir Aira. Sejak mos katanya.
"Lo ngapain disini?" Tanya Raka masih dengan senyumnya yang mengembang dengan sempurna.
Aira tersenyum tipis, "Ya belanja lah. Lo pikir gue ngapain disini? Beli ketoprak?"
Raka tertawa, "Bisa ngelucu juga ternyata."
"Sama siapa?" Tanya Raka.
"Eumm, sendiri?" Bohong Aira. Bodo amat, mati aja lo Rein.
Raka tersenyum, cowok itu lagi-lagi menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan euforia yang berlebihan di depan cewek yang ditaksirnya. Jelaslah gengs! Gengsi! Harus jaim pokoknya. Harus. "Serius? Dengan belanjaan sebanyak itu? Lo yakin bisa bawa semuanya?"
Kesempatan modus.
"Ya...iya sih. Kenapa?" Pancingan berhasil! Gas teroooos yok!
"Gue bantu bawa gimana? Sekalian gue anter pulang mau?"
Strike! Kalimat itu akhirnya berhasil Raka utarakan dengan lancar, setelah berbulan-bulan cowok itu bingung memulai langkah awal untuk mendekati Aira. Dan sepertinya ini akan menjadi awal yang bagus untuk pendekatan, mumpung Aira sedang tidak bersama Reinda, pawangnya.
Aira mengusap lehernya, bingung hendak menjawab apa. Dia dilema. Di satu sisi ia tidak terlalu suka diantar pulang dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik. Selama tujuh belas tahun hidupnya, selain Ayahnya dan Reinda, Aira tidak pernah menerima cowok manapun untuk masuk ke dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AM I [IN]VISIBLE?
Teen FictionKau benar, tak ada satupun yang harus dimengerti kecuali diri sendiri.