Tujuh

2 0 0
                                    

"Abaanggggg!!!"

Reinda tersentak ketika mendengar pekikan nyaring tepat didekat telinganya. Matanya mengerjap mencoba mendeteksi sekitar. Sepertinya ini bukan kamarnya. Oh ya benar, Reinda baru ingat jika semalam Aira tidur di kamarnya, dan terpaksa ia mengalah.

"Udah hampir jam tujuh loh, kamu nggak sekolah?" Ujar Arini membereskan selimut Reinda yang tergeletak di lantai.

Reinda mengucek matanya, rumahnya terlihat lebih sepi dari biasanya. "Yang lain mana Bunda?"

"Udah berangkat."

"Aira?"

"Oh kalau Ira udah pulang dari subuh tadi. Mama sama Papanya Ira baru pulang."

"Lah Reinda tadi juga subuhan loh. Kok nggak ketemu?"

"Kan kamu abis itu tidur lagi." Reinda menggaruk tengkuknya salah tingkah, "Masih ngantuk Bunda."

"Ira tadi nitip pesan ke Bunda, seminggu ini dia nggak bisa berangkat-pulang bareng kamu. Mau quality time sama keluarganya dulu katanya."

Reinda mendesah kecewa, "Yaaahh."

"Padahal minggu-minggu ini porsi latihan bola Reinda ditambah, jadi sedih nggak ada yang nemenin. Apa Reinda absen aja ya latihannya. Mana bisa Reinda semangat tanpa penyemangat."

Arini tersenyum sembari melempar handuk pada putranya, "Kamu tuh ada-ada aja. Jadi kamu lebih pilih bola atau Aira."

"Waduh gimana ya Bun. Susah milihnya." Reinda mengetuk-ngetuk kepalanya menggunakan telunjuk seolah berpikir. "Siapa yang pantas yang bisa kuandalkan, bukan rayuan, bukan pujian. Yang aku butuhkan cinta apa adanya. Aku pilih..... bunda." Katanya sambil bernyanyi.

Arini tersenyum dan menarik Reinda agar segera bangkit berdiri.

"Heleh, bisaan kamu itu mah. Paling juga mau ditambahin uang jajannya kan? Ngaku kamu!"

Reinda nyengir, "Hehehe."

"Yaudah sana kamu mandi, buruan berangkat. Jangan sampai telat."

****

Aira mengerjapkan matanya saat sadar jika ia tidak sedang berada di rumahnya. Nuansa abu-abu serta poster-poster pemain sepak bola yang menghiasi dindingnya, membuat Aira sadar, ini kamar Reinda.

Rasa penasaran Aira menggelitiknya untuk berkeliling. Matanya lalu menuju pada satu titik, yaitu kotak berwarna merah muda yang tersembunyi diantara komik-komik koleksi Reinda.

Kok gue nggak pernah tau Reinda punya kotak beginian? Aira mengernyitkan dahinya mengingat-ingat, siapa tahu ini kotak miliknya yang tidak sengaja tertinggal di kamar Reinda.

Namun nihil, ini bukan milik Aira. Dia memang menyukai warna pink, tapi ini jelas bukan miliknya. Aira membuka kotak itu, isinya adalah sebuah gelang yang biasa dipakai Reinda.

Aira mengangkat gelang itu, ada selembar kertas dan foto yang menjadi alas gelang itu. Foto Reinda dan disampingnya berdiri seorang cewek berambut sebahu yang tengah tersenyum lebar menghadap kamera.

Ini Meisya. Benar, gadis yang ada difoto itu adalah Meisya. Cewek yang membuat Reinda galau selama berbulan-bulan lamanya setelah kepergiannya. Awalnya Reinda dan Meisya masih sering bertukar kabar melalui e-mail. Namun satu bulan setelahnya, Meisya jadi menghilang. Cewek itu sama sekali tidak membalas e-mail yang Reinda kirim.

Itulah yang membuat Aira benci setengah mati pada Meisya. Aira kira setelah dua tahun Meisya pergi, Reinda sudah melupakannya. Namun nyatanya Aira salah. Reinda masih terjebak pada masa lalu. Ada sudut hati Aira yang merasa kecewa.

Sebenarnya Reinda adalah cinta pertama Aira. Setelah bertahun-tahun mereka menghabiskan waktu bersama, Aira akhirnya sadar jika ia menyukai Reinda saat duduk dibangku kelas dua sekolah menengah atas. Sayangnya saat itu Reinda sedang dekat dengan Meisya. Rumor mengatakan jika keduanya berpacaran.

Namun saat Aira bertanya pada Reinda, cowok itu hanya mengatakan jika ia belum jadian dengan Meisya. Reinda masih menunggu waktu yang tepat untuk menembak Meisya. Sayangnya, sebelum sempat Reinda menyatakan perasaannya pada Meisya, cewek itu malah pindah ke luar negeri. Meninggalkan Reinda yang menjadi uring-uringan setelahnya.

Ternyata dia masih sama berharganya buat lo, bahkan disaat perasaan gue masih tetap sama untuk lo.

Air mata Aira kembali jatuh setelah sekian lamanya ia menahan tetesan air mata itu untuk Reinda. Mungkin benar, Reinda hanya menganggapnya sebatas sahabat. Lagi pula bermain bersama semenjak balita, mungkin membuat Reinda terbiasa dan tidak lagi memandang Aira sebagai seorang cewek yang layak dicinta. Aira hanya sahabat bagi Reinda, mungkin akan terus begitu sampai... Selamanya.

Aira menghapus air matanya ketika ponselnya bergetar. Tertera nama "Mama" dilayar ponselnya. Aira mengangkat panggilan itu dengan antusias.

"Assalamualaikum. Halo Ma!"

"Waalaikumsalam. Sayang kamu dimana? Kok rumah sepi?"

"Di rumah Reinda, Ma. Kenapa?" Aira menjepit ponselnya diantara kepala dan bahu kanannya, meletakkan kembali gelang beserta surat dan fotonya. "Atau jangan-jangan.... MAMA SAMA PAPA PULANG YA?!!!" Teriak Aira kegirangan. Ia begitu senang, karena sudah hampir satu bulan Aira tidak bertemu dengan kedua orang tuanya.

"Ssstttt. Sayang jangan teriak-teriak di rumah orang. Apalagi ini masih subuh, nanti bangun semua itu keluarganya tante Arini."

"Hihi iya, Ma, maaf. Yaudah kalau begitu Ira pulang sekarang."

"Oke sayang. Jangan lupa pamit sama tante Arini."

"Siap boscuuu, sampai ketemu di rumah. Ira sayang Papa-Mama."

"Iya sayang, Mama-Papa sayang Ira juga." Aira tersenyum senang mendengar suara terakhir sebelum telpon terputus. Itu suara Papanya. Ah. Aira sungguh tidak sabar ingin bertemu dengan Papa dan Mamanya.

Sebelum pulang, Aira menyempatkan diri merapikan kamar Reinda. Ia tidak mau jika di sekolah nanti Reinda akan mengamuk, dan satu kelas akan menatap Aira aneh karena ia tidur di kamar Reinda.

Setelah semuanya rapi, baru lah Aira keluar dari kamar Reinda. Sewaktu ke lantai bawah, Aira bingung karena tidak menemukan Reinda di sofa ruang keluarga. Padahal semalam ketika Aira turun untuk mengambil minum di dapur, ia melihat dengan jelas Reinda tidur di sofa dengan mulut menganga dan kaki yang terangkat pada sandaran sofa.

Aira kemudian berjalan ke dapur, karena sangat yakin jika jam segini Arini akan berada di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.

"Bundaaa." Sapa Aira ketika melihat Arini sedang berkutat dengan para pasukan bumbu dapur.

"Ira? Udah bangun kamu? Udah sholat subuh belum."

Aira nyengir, "Belum Bunda, nanti aja sekalian di rumah."

"Kamu mau pulang sekarang?"

"Iya Bunda, Mama sama Papa Aira baru aja nyampai rumah." Aira mengambil segelas air kemudian meminumnya santai. "Reinda kemana Bunda?" Tanya Aira tanpa berbasa-basi.

Arini tersenyum. Ia sudah paham akan watak Aira yang jika penasaran akan langsung berujar pada intinya, tidak basa-basi, "Sholat subuh tadi ke Masjid sama Ayah Arnest."

"Udah sana kamu buruan pulang. Kasihan Mama sama Papa mu sudah menunggu."

Aira mengangguk, ia berjalan menuju Arini. Setelah mencium tangan Arini, Aira mendaratkan kecupan di dua pipi Arini yang menjadi kebiasaan Aira ketika pamit pada Arini.

"Jangan lupa sholat subuh ya, nak."

"Siap Bunda." Ujar Aira sebelum menghilang di balik tembok. Arini tersenyum, cewek itu sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Aira tumbuh berkembang bersama dengan Reinda. Dimana ada Reinda pasti ada Aira, begitu pun sebaliknya.

Kini kedua anak itu telah tumbuh menjadi remaja yang akan beranjak dewasa. Arini selalu berdoa, semoga kelak mereka akan disatukan menjadi jodoh. Jika pun tidak, Arini tetap berdoa agar keduanya mendapat orang terbaik yang akan menemani hidup mereka hingga tua nanti.

-Am I [in]Visible-

31-08-2021

AM I [IN]VISIBLE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang