Part 10 - Notasi Sigma

79 8 0
                                    

"Udah sana duduk," Usir Bu Ita. Gue maupun Kyla langsung beranjak menuju bangku dengan menahan rasa malu.

"Di denger-denger suara Kyla enak juga ya? Nggak kaya Aya suaranya cempreng banget," Nilai guru matematika itu. Gue hanya memutar bola mata malas mendengar perkataan Bu Ita yang disetujui seisi kelas.

"Besok kalau ada yang telat lagi Ibu suruh nyanyi pake mic aja sekalian biar didenger satu sekolahan, ok?" Tawar Bu Ita sebelum melanjutkan pembelajaran.

"Jadi hari ini kita belajar notasi sigma," Helaan napas terdengar setelah Bu Ita selesai berbicara. "Apa ini? Kok banyak yang buang napas gini? Ini tuh gampang tau. Notasi sigma ini masih temenan sama aritmatika sama geometri. Udah pernah diajari kan sebelumnya??"

"Duh Bu, aritmatika aja saya nggak bisa apalagi notasi sigma," Curhat Alfa dengan wajah melasnya.

"Mangkannya dulu kalau guru ngajar didenger kalo nggak kayak gini ini. Masa Ibu harus ngulang materi kelas 8??? Kelas 8 dulu kamu ngapain aja sih hah?"

"Yakan masih kelas 8, Bu. Masa-masanya anak sok-sokan nakal. Kalau kelas 7 sok polos, kelas 8 harus berubah."

"Iya, tapi SMA nya jadi keteteran kan?? Duh Jojo kamu buka les privat nggak sih? Bantuin gitu si Alfa."

Jojo yang sedari tadi hanya fokus pada buku yang ada diatas mejanya itupun menoleh. "Alfa udah di les in kok Bu sama Mama nya. Tapi ya gitu dikit-dikit ijin ke toilet balik-balik bawa cilok sama teh sisri," Alfa sontak melotot kesal kearah Jojo karena telah membocorkan kelakuannya.

"Pantes aja. Minggu besok Ibu tunggu dirumah ya, biar Ibu ajarin ulang materi SMP. Sekarang notasi sigma dulu, biarin Alfa ketinggalan. Pokoknya minggu besok jam sembilan Ibu tunggu, denger Alfa?"

"Iya, Bu." Jawab Alfa dengan mencuat. Bu Ita pun mulai menjelaskan materi notasi sigma.

10 menit.

20 menit.

30 menit.

Papan putih yang mulanya mulus bersih itupun sudah tak berbentuk. Terlalu banyak angka dan rumus yang nggak gue pahami seluruhnya. Dan sampailah dibagian kuis. Hal yang paling dibenci seluruh murid.

Bu Ita ini punya ciri khas tersendiri dibanding guru-guru lainnya. Disetiap jam ngajarnya murid-murid selalu diberi kuis dengan alasan 'Nambah Nilai'. Guru berkacamata itupun mulai menulis banyak angka dipapan tulis.

Gue menatap lekat papan dan segera mengambil selembar kertas kosong diloker meja lalu mencoretnya dengan berbagai angka seolah paham dengan soal pertama yang ditulis Bu Ita.

49,5 tahun. Gue akhirnya menemukan jawabannya meskipun belum tentu benar dan bertepatan juga dengan Bu Ita yang telah selesai menulis 3 soal dipapan.

"Ayo yang bisa maju. Nanti kalau sudah kasih tau absen berapa biar Ibu kasih nilai plus," Mendengar seruan Bu Ita gue langsung bangkit dari duduk untuk mengerjakan soal kuis pertama yang ada didepan. Tapi semua gagal karena Dea udah mendahului gue. Gue kalah cepet. Padahal gue duduk paling depan sedangkan Dea bisa dibilang duduk dibelakang. Merasa dirinya menang Dea menjulurkan lidah mengejek kearah gue sambil memegang spidol hitam. Gue hanya bisa mencibir dan kembali ke bangku dengan kesal.

"Dea absen berapa?" Tanya Bu Ita setelah Dea selesai menulis.

"7, Bu." Jawab Dea singkat yang tengah mentup spidol hitam sambil mengapit buku tulis dilengannya.

"Ok. Ini nomor 2 siapa yang mau maju?" Sekelas tidak ada yang menjawab pertanyaan yang dilontarkan Bu Ita. Beberapa anak kelas terlihat berpura-pura menghitung dan juga mengalihkan pandangan dari papan termasuk gue.

RidiculousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang