Chapter 40

748 58 18
                                    

Saya sedang berduka setelah anak saya meninggal bulan lalu. Semoga kalian memaafkan saya karena tidak update cerita ini begitu lama. Semoga kalian puas dengan cerita ini.

Hari berlalu begitu cepat, namun Emma tak kunjung menghubungiku.
Penampilan Pandu yang lusuh dan pucat terus mengganggu pikiranku. Aku tak berani berkirim pesan pada Emma, takut jika ponsel ini dipasangi alat penyadap oleh Ashvik. Ia tak mungkin begitu saja membiarkanku memiliki ponsel tanpa bisa diawasi.

Rasa khawatirku terhadap keadaan Pandu, membuatku kembali menghubungi Emma siang ini. Namun lagi-lagi Emma tak menjawab panggilanku. Kemudian aku beralih menghubungi Ashvik. Aku ingin menawarkan untuk makan siang bersama, supaya aku bisa keluar dari apartment dan mungkin bertemu dengan Emma di kantor.

"Hallo, Ash."

"Ya, sayang. Ada apa kau menghubungiku?" Ia bertanya, cepat. Kupikir ia sedang banyak pekerjaan siang ini.

"Apa kau sudah makan siang?" Aku bertanya lagi, berharap mendapat jawaban sesuai keinginanku.

"Kenapa? Apa kau mau makan siang bersama? Aku bisa mampir ke apartment sebentar untuk makan bersama mu."

"T-tidak usah." Jawabku cepat. Jika kami makan siang di apartment, aku tak akan bisa menemui Emma. "Kau sibuk, bukan? Bagaimana jika aku yang datang ke kantor? Kita bisa makan di restoran italia favorit mu."

Ashvik terdiam cukup lama, entah apa yang ia pikirkan.

"Ash?" Aku memanggilnya pelan.

"Oh, maaf sayang. Aku sedang ada di tengah-tengah meeting. Tapi kau bisa datang ke kantor untuk makan siang bersamaku. Mungkin kami akan beristirahat satu jam lagi."

"Oke, aku akan kesana dengan Pak Rajesh. Good luck with your meeting." Ucapku lembut.

Setelah menutup telepon, aku langsung bergegas untuk pergi. Aku juga telah memberitahu kepada Martha dan Rajesh mengenai rencanaku untuk pergi ke kantor Ashvik.

Gaun berwarna merah bata dan kardigan rajut putih menjadi pilihanku. Aku tak mau terlihat menonjol, dan menarik perhatian orang-orang di kantor. Aku berharap bisa bertemu Emma di lobby atau semacamnya.

Rajesh mengemudi dengan sangat hati-hati, aku yakin ini adalah perintah Ashvik. Jadi perjalanan kami ke kantor memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Setelah sampai, aku bilang kepadanya agar tak usah menungguku, dan keluar dengan terburu-buru dari mobil.

Pertama, aku menghubungi Ashvik yang tidak menjawab teleponnya. Saat aku menghubungi Kim, ternyata ia sedang meeting mendadak dengan klien. Kemudian, aku mengiriminya pesan, jika aku akan menunggunya sambil berjalan-jalan di mall.

Aku kembali berusaha menghubungi Emma, yang baru menjawab saat aku aku menghubungi ya sebanyak tiga kali. Suara berisik terdengar di belakang Emma saat ia mengangkat telpon dariku.

"Mengapa kau sulit sekali untuk dihubungi?" Aku bertanya kesal. "Aku ada di lobby kantor, jadi kuharap kita bisa bertemu sebentar."

"Aku sedang makan siang di kantin." Emma menjawab, "Pandu baru saja membalas pesanku! Sebaiknya kau kemari, By!"

Aku memikirkan suasana kantin yang penuh dengan orang-orang yang ku kenal. "Disitu banyak orang-orang yang kukenal, mereka akan bertanya dan aku tidak menyukai itu."

"Tapi Pandu akan kesini. Ia sedang di jalan dan berkata ingin bertemu denganmu."

Deg!

Jantungku seakan berhenti mendengar kalimat terakhir Emma. Aku memang sangat ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku tak menyiapkan diriku untuk hal itu terjadi secepat ini. Apa yang akan kukatakan padanya dan bagaimana caraku menjawab pertanyaan yang akan ia lontarkan padaku? Apalah ia hanya ingin memaki dan meluapkan kemarahannya padaku?

Tanganku berkeringat karena rasa gugup. Aku berjalan perlahan ke arah pintu keluar gedung perkantoran, namun saat menatap ke arah jalan aku melihat Rajesh yang sedang berjalan ke pintu masuk. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk kembali ke rumah, namun tampaknya ia hanya menerima perintah dari Ashvik.

Dengan cepat aku berbalik dan berjalan ke lorong yang mengarah ke lobby samping gedung. Rasanya aku tak punya pilihan lain sekarang selain pergi ke kantin untuk menemui Pandu dan menghadapi ketakutan serta rasa bersalah ku.

Sesuai perkiraanku, kantin penuh sesak dengan para karyawan yang mencari makanan dengan harga murah. Ketimbang harus menghabiskan uang sebesar lima puluh ribu untuk makan di foodcourt mall, kau bisa menghemat separuh uangmu disini. Rasa makanannya pun enak dan ada berbagai pilihan menu.

Saat aku berjalan menuju spot yang biasa aku dan Emma tempati saat makan siang, seseorang menarik tanganku. Aku menoleh, dan wajah lelah Pandu yang kulihat. Pandu mengenakan kemeja yang kubeli saat ulang tahunnya tahun lalu. Ia terlihat lebih kurus, dengan jenggot dan kumis yang tumbuh tak beraturan di wajahnya. Aku berpikir, kapan terakhir kali ia bercukur. Apakah ia tak bisa menemukan pisau cukur di rumah?

Kubiarkan diriku mengikuti Pandu yang berjalan menuntunku keluar dari kantin. Kami terus berjalan dalam diam ke arah tempat parkir mobil. "Kita mau kemana?" Aku bertanya saat Pandu membukakan pintu mobil untukku.

"Dimana saja. Asalkan aku bisa berbicara berdua denganmu."

Saat Pandu menyalakan mobil, aku memegang tangannya yang ada di perseneling mobil. "Apa kau baik-baik saja?" Tanyaku hati-hati.

Pandu langsung menoleh, menatapku tajam bercampur amarah yang mungkin ditahannya sejak tadi. "Bagaimana mungkin aku baik-baik saja, Abigail?! Kau dan Irvin menghilang begitu saja. Lalu pengacara mewah yang aneh itu datang membawa surat permohonan cerai dan memintaku menandatanganinya! Ia bahkan berkata jika aku tak menandatangani surat itu segera, aku tak akan lagi bisa bertemu dengan mu dan Irvin! Oh, dan ia berkata kau hamil anak dari laki-laki lain!" Ucap Pandu setengah berteriak. "Kita seharusnya pindah ke Bandung hari itu!"

"Dan aku malah menemukanmu di rumah sakit bersama atasanmu? Dia-lah alasanmu menghilang? Apa dia ayah dari anak yang kau kandung saat ini?!"

Aku terpaku mendengar ucapan Pandu. Meskipun dalam pikiranku aku tau akan mengalami hal ini, tetap saja melihat Pandu penuh amarah dan kebencian membuat hatiku terasa sakit. Apalagi kebencian itu ia tujukan padaku.

"Demi Tuhan, Abigail! Sudah berapa lama semua ini berlangsung? Apa kau membodohiku selama ini? Apa yang kau inginkan? Tak bisakah kita berpisah baik-baik jika kau memang tak lagi mencintaiku?" Ucap Pandu lagi, tapi kini suaranya terdengar parau.

"Mengapa kau menyakitiku hingga seperti ini, huh? Aku percaya padamu, dan berjuang dengan keras  agar masa depan kita lebih baik lagi, tapi mengapa kau malah menghancurkannya, huh?"

Air mata yang membasahi pipi Pandu terjatuh hingga mengenai tangan Abigail. Namun Abigail tetap tak berkata apapun. Lidahnya kelu, hanya air mata yang keluar dari mata Abigail jatuh dan bersatu dengan air mata Pandu.

Tak tahan, Abigail terisak. Pundaknya bergerak naik turun, menahan suara tangisan. Ia mengigir bibirnya, merasa tak pantas berada di hadapan Pandu. Abigail berharap Pandu memukulnya atau menyakitinya saja, bukan menangis tersedu seperti ini.

Pandu mengenggam tangan Abigail dan meletakkan tangan mereka di dadanya. Ia memandang Abigail dengan wajah penuh air mata kemudian mencium tangan Abigail lembut.

"Bagaimanapun aku memikirkannya aku tetap tak mengerti apa yang sedang terjadi, By. Kau harus menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa bisa sampai seperti ini dan dimana Irvin. Aku sangat merindukannya."

Hard DesicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang