Chapter 8

2.1K 55 2
                                    

Badanku demam sejak semalam. Entah karena terlalu lelah atau telat makan. Tapi yang jelas aku tak akan bisa masuk ke kantor hari ini. Aku sudah menghubungi Hans untuk mengabarinya tentang keadaanku, sekaligus mengirimkan email tentang laporan yang ia minta kemarin.

Pandu menyiapkan semangkuk bubur ayam di meja sebelum berangkat dengan perasaan khawatir. Sebenarnya Pandu ingin mengambil cuti untuk merawatku, namun aku bersikeras agar dia tetap berangkat ke kantor.

Setelah makan semangkuk bubur dan minum obat flu, keadaanku membaik. Demamnya sudah tidak setinggi semalam. Hanya tinggal hidung mampet dan pegal-pegal di badan. Irvin sudah di antar ke sekolah oleh Pandu tadi, dan akan menghabiskan waktunya di daycare seperti biasa. Membuatku memiliki lebih banyak waktu untuk beristirahat.

Ponselku berdering ketika aku hendak tidur. Nomor asing yang tidak ku kenal menghubungiku. Kubiarkan saja awalnya, mengira jika itu adalah telemarketing yang hendak menawarkan barang kepadaku. Namun entah kenapa nomor yang sama terus-terusan menghubungiku hingga lima kali berturut-turut.

Dengan jengkel, akhirnya ku jawab panggilan itu.

"Halo?" Ucapku dengan suara serak.

"Kau sakit?"

Suara yang tak asing terdengar di telingaku. Aku melihat kembali layar ponselku dan melihat deretan nomor yang tidak ku kenal. "Ashvik?" Tanyaku heran.

"Hmm. Kau tak menjawab pertanyaanku tadi."

"Aku hanya flu. Tapi, dari mana kau tau nomor ponselku?"

"Apa itu penting sekarang? Kau pasti terkena flu karena naik motor semalam. Seharuskan kau membiarkanku memgantarmu pulang."

"Err.. Tidak juga. Aku sudah biasa naik ojek online setiap pulang kantor." Aku membantah.

"Itu tidak aman."

Tidak aman gimana sih maksud Ashvik? Aku jadi makin bingung. "Ada perlu apa kau menghubungiku?" Tanyaku to-the-point.

"Aku mencemaskanmu sejak semalam. Ditambah kau tidak masuk kantor hari ini.."

"Aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat hari ini. Besok pasti aku sudah bisa kembali bekerja." Aku menjelaskan, sedikit bingung dengan semua ungkapan ke khawatiran Ashvik. "Terima kasih sudah mencemaskan ku."

Ku akhiri panggilan telepon dari Ashvik dan menutup teleponnya tanpa menunggu balasan dari nya. Dadaku berdegup cepat setelah itu. Entah karena cemas atau alasan yang lainnya.

Setelah tidur dan menonton drama korea secara marathon, pikiran tentang sikap aneh Ashvik sudah tidak ada lagi di kepalaku. Keadaanku pun sudah membaik, membuatku bisa memasak untuk makan malam. Menu yang kusiapkan adalah ayam goreng mentega dan capcay udang kesukaaan Pandu dan Irvin.

"Kami pulang.." suara Irvin dan Pandu terdengar bersamaaan dari ruang tamu. Aku yang baru saja selesai mandi bergegas menyambut mereka.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Pandu cemas sambil memegang kedua belaj pipiku.

"Aku sudah lebih baik. Cepat kalian mandi dan berganti pakaian. Aku masak ayam goreng mentega dan capcay udang untuk makan malam." Ujarku

"Yeyyy.... Capcay udang kesukaan Irvin!" Celoteh Irvin sambil langsung berlari menuju meja makan.

***

"Udah sembuh, Bi?" Tanya Emma saat ia melihatku datang ke kantor pagi ini.

"Sudah lebih baik, walau masih suka mampet hidung ku." Jawabku ringan, "Ada gosip apa di kantor pas gue nga masuk?"

"Gosip? Nga ada sih. Cuma Kim kemarin undang anak-anak di kantor ke pesta pernikahannya akhir bulan ini. Di Bogor." Ucap Emmma. "Kemarin rencananya mau pada pergi bareng, elo mau ikut atau pergi sama Pandu?"

"Hmm, liat nanti aja deh. Pengennya ramean aja biar seru yah." Aku menjawab Emma sambil memjawab email yang masuk sejak kemarin.

"Abigail, kamu dipanggil Ashvik ke ruangannya." kudengar Kim berkata saat tiba di dekatku, "Katanya urgent, jadi sebaiknya kamu cepat kesana."

"Eh? Kenapa ya?" Tanya ku bingung.

Kim hanya mengangkat bahu, tak tahu juga alasan apa Ashvik memanggilku pagi-pagi begini. "Oh ya, ini undangan untukmu. Datang yaa..." Ia menyodorkan sebuah undangan berwarna pink pucat, yang dihiasi foto Kim dan tunangannya.

"Wahhh, jadi sama si Oppa?" Tanyaku sambil nyengir kepadanya yang dibalas dengan senyuman malu-malu dari Kim. "Aku pasti dateng deh!"

Kami berjalan berdua hingga ke ruangan Ashvik. Kim adalah sekretaris Ashvik, jadi meja kerjanya memang terletak persis di dekat ruangan Ashvik. Aku bertanya soal persiapan pernikahan Kim, yang dijawab dengan sangat antusias. Ho Bin, calon suaminya adalah seorang warga negara korea selatan.

Aku mengetuk pintu ruangan Ashvik dan langsung masuk ke dalam sesuai dengan instruksi Kim. Di dalam, Ashvik sedang larut dalam pekerjaannya. Tumpukan laporan bertengger rapi di meja kerjanya. Wajahnya terlihat serius dan profesional seperti adegan di drama korea, membuat hatiku berdesir melihatnya.

"Eh, kau sudah datang?" Ashvik mengalihkan pandangannya dari laporan yang ia baca untuk memandangku. Senyum langsung tersungging di wajahnya, membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas. Wajahnya kini tak berbeda jauh seperti aktor-aktor Bollywood kenamaan. Kurasa, ia bisa menjadi aktor ataupun model bila tidak bekerja.

"Ada apa kau memanggilku?" Tanyqku penasaran. "Apa ini mengenai laporan yang kau inginkan? Aku masih menunggu email darimu sebelum membuatnya agar tidak salah." Jelasku.

Tak ingin terlihat tidak bertanggung jawab, aku langsung mengutarakan alasanku mengapa belum mengerjakan laporan yang diminta nya tempo hari. Bagaimana bisa aku membuat laporan yang tidak ku tau fungsi nya?

Ashvik terlihat sedikit kaget mendengar ucapanku, tapi dengan cepat ekspresi wajahnya kembali seperti semua. "Sebenarnya aku memanggilmu untuk bertanya tentang keadaan mu hari ini. Tapi sepertinya, kau sudah sangat ingin bekerja, huh?"

Kutatap Ashvik dengan perasaan heran. Ia memanggilku hanya untuk menanyakan kabar? Aneh sekali! Ini sangat berbeda dengan image Ashvik yang tersebar di kantor. Seorang atasan yang profesional, efisien dan tegas. Terkenal tidak pernah membahas isu apapun di luar pekerjaan, maka semua orang tak pernah benar-benar mengenalnya di luar kantor.

Dengan sengaja aku tak membalas ucapannya, berharap itu hanya basa basi yang di lontarkan Ashvik saja. Namun, saat ia mendekati dan menempelkan dari nya dengan dahi ku, aku benar-benar kaget hingga lupa bereaksi. Membiarkannya selama beberapa saat di dekatku.

Ashvik mungkin melihat kekagetanku seperti persetujuan. Ia bahkan meletakkan kedua tangan nya di pipiku, agar lebih leluasa memeriksa suhu tubuhku. "Suhu tubuhmu masih belum normal." Ia berdecak tak puas. "Seharusnya kau istirahat saja di rumah."

Pipiku sontak memerah. Ashvik berkata-kata tepat di telingaku. Nafasnya yang hangat menggelitik disekitar leherku. "S-saya nga apa-apa!" Ucapku cepat kemudian bergerak menjauhinya, namun kakiku malah tergelincir dan membuatku jatuh ke dalam pelukkan Ashvik.

Dengan sigap Ashvik memelukku. Tangannya melingkar di pinggangku erat. Membuat dada kami menempel sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan otot tubuhnya yang kekar di tubuhku. Membuat pipiku jadi lebih merona dari sebelumnya.

Pikiranku melayang, membayangkan Ashvik dengan tubuh kekar dan berotot memelukku. Ah, aku mendesah tanpa sadar. Pikiran liar tentang Ashvik dan tubuhnya mulai terbentuk di pikiranku.

Namun tiba-tiba aku merasakan kecupan kecil di leherku. Sangat pelan, hingga hanya seperti sapuan singkat bibirnya di leherku. Aku terperanjat dan melompat menjauhi Ashvik karena hal ini. Wajahku masih memerah, entah karena malu atau tergoda.

Ekspresi wajah Ashvik pun tak jauh berbeda denganku. Hanya saja tidak ada rona merah di pipinya, melainkan ekspresi mendamba yang sangat jelas terlihat di matanya. Apakah yang kulihat dan kurasakan saat ini bukan halusisasi?

Hard DesicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang