Chapter 27

1.1K 57 4
                                    

Aku berusaha menghindari Ashvik dengan alasan pekerjaan. Saat jam kerja, aku akan meminta pekerjaan ekstra pada Hans agar Ashvik tak bisa menggangguku. Sedangkan saat jam istirahat, aku selalu makan di kantin luar kantor bersama Emma atau Kim. Begitu pun saat jam pulang kantor tiba, aku akan langsung bergegas pulang tanpa membaca pesan dari Ashvik.

Walaupun melelahkan, aku berhasil menghindari Ashvik selama dua minggu. Bahkan ia tak lagi memintaku untuk makan siang bersama dengannya belakangan ini. Hal ini membuatku sedikit lega, mungkin jika rencanaku untuk menjauhinya berhasil, aku tak perlu repot-repot untuk mencari pekerjaan lain.

Aku pulang sedikit lebih lambat hari ini, setelah memastikan jika Ashvik tidak ada di kantor hari ini. Dengan riang, aku masuk ke dalam lift yang ternyata sudah diisi oleh Grace. Walau enggan berdua saja dengannya di dalam lift., tapi rasanya tidak etis jika aku menghindar.

"Kau lembur hari ini? Biasanya pulang tepat waktu." Grace membuka pembicaraan.

"Ya, ada pekerjaan yang belum selesai tadi." Jawabku.

"Tidak pulang bersama Ashvik?" Ia bertanya lagi. "Kulihat kalian jarang makan siang bersama sekarang."

Pertanyaan dari Grace membuatku terkejut. Aku tak menyangka jika ada orang kantor yang mengetahui jika aku dan Ashvik makan siang bersama. Hal ini membuatku bertanya-tanya gosip apa yang sudah menyebar. Tapi, Emma tak pernah bilang apapun kepadaku.

Melihat wajahku yang cemas, Grace tertawa kecil. "Tak ada yang tau di kantor." Ucap Grace menjawab kekhawatiran ku. "Aku melihatmu di Gyaroku hari itu. Kau tak menjawab waktu aku memanggilmu, jadi kupikir kau tak menyadari aku ada disitu."

"I-iya. Aku tak tau jika kau memanggilku waktu itu." Jawabku gugup. Walaupun sejauh ini Grace tak pernah berniat menyebarkan gosip buruk tentangku, tapi tetap saja tak nyaman saat ada rekan kerja yang tau hubungan terlarangku dengan Ashvik.

"Perasaan Ashvik sepertinya tidak baik belakangan ini. Kim terus mengeluh tentang hal itu. Apa kalian sedang bertengkar?" Grace kembali bertanya.

"Begitu kah?" Aku balik bertanya, tak mengiyakan atau menyanggah perkataan Grace. Kegelisahan Ashvik beberapa hari ini memang sudah ku perkirakan, tapi aku tak menyangka jika Kim-lah yang harus menanggung akibatnya.

"Kau terlihat menjaga jarak denganku." Ucap Grace sambil tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku tak akan membocorkan rahasia mu pada siapapun. Well, aku sebenarnya ingin menjadi teman bercerita untukmu. Tapi mungkin kau belum mempercayaiku saat ini."

Setelah mengatakan hal itu, Grace tak lagi bertanya apapun padaku. Kami berpisah di lobby dan berjalan ke arah yang berbeda. Kulihat Grace menaiki kursi penumpang sebuah sedan keluaran Mercedes-Benz, namun aku tak bisa melihat siapa yang menjemputnya.

"Sampai kapan kau akan menghindariku?" Suara yang farmiliar terdengar di belakangku. Aku tersentak dari pikiran mengenai Grace. Kemudian berbalik dan menemukan Ashvik tengah berdiri di belakangku.

Aku melihat wajahnya yang dipenuhi jenggot tak beraturan. Kemejanya terlihat kusut dan rambutnya berantakan. Tapi, aroma parfum musk nya masih tetap kuat seperti biasanya.

"A-ash-vik.." aku terbata.

"Ikut denganku." Ia berkata kemudian menarik tubuhku bersamanya. Tangannya yang besar menggengam erat tangaku dan menuntunku hingga ke mobil nya yang di parkir di lobby. Aku mengutuki diriku yang tak menyadari sedan Tesla milik Ashvik masih terparkir di depan lobby gedung.

Ashvik membuka pintu mobil dan setengah mendorongku untuk masuk ke dalam. Ia bahkan memasangkan sabuk pengaman pada tubuhku sebelum ia masuk ke kursi pengemudi. Ashvik tak berkata apapun setelahnya, jadi kami melewati perjalanan ke apartment dalam diam. Ia bahkan tak menyalakan radio di mobilnya, membuatku terpaksa menatap ke arah luar jendela untuk menenangkan pikiranku.

Begitupun saat kami tiba di apartment Ashvik. Ia hanya duduk menatapku dengan tajam, seakan menunggu ku untuk memberikan penjelasan padanya. Aku enggan berkata apapun, karena aku tau pasti alasanku hanya akan memprovokasi kemarahan Ashvik.

"Apa kau puas dengan permainanmu?" Ashvik akhirnya berkata setelah kami duduk di sini dalam diam selama lima belas menit. "Kau tak menjawab telepon dariku, tak membalas pesanku. Bahkan kau selalu menghindariku di kantor. Mengapa kau berbuat seperti itu?"

Seharusnya kau sudah menyadari alasanku, ucapku dalam hati. Tapi aku tetap tak berkata apapun pada Ashvik, hanya memandang ke arah jendela apartment yang kini di penuhi cahaya lampu kota di malam hari.

"Sangat sulit menahan amarahku saat ini. Jadi, jangan membuat ini menjadi lebih sulit lagi." Ucap Ashvik tajam, kedua tangannya sudah terkepal. Rahangnya mengeras, bahkan aku bisa melihat urat di dahi nya. Melihat Ashvik seperti itu membangkitkan kenangan burukku malam itu.

"Pekerjaanku sedang banyak sekali." Jawaban yang tadinya ingin ku ucapkan dengan lantang malah terdengar seperti cicitan lemah di telingaku.

"Jangan berbohong. Aku tau load pekerjaanmu tidak sebanyak itu. Kau sendiri yang meminta tambahan pekerjaan pada Hans, bukan?" Ucap Ashvik lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

"A-aku.."

"Jangan berbohong. Ini peringatan terakhirku." Ashvik memotong perkataanku.

Ku tatap wajahnya yang menahan amarah. Aku tau butuh usaha yang tidak sedikit baginya untuk mengontrol emosinya di hadapanku. Terlebih setelah dua minggu aku menghindarinya. Aku pun heran ia bisa menunggu begitu lama untuk bertanya padaku.

"Suamiku curiga." Akhirnya aku berkata, apa lagi alasan terbaik yang bisa kugunakan selain Pandu? "Ia mulai mempertanyakan alasanku bekerja lembur hampir setiap hari. Ia bertanya pada teman-temanku. Jadi, sebaiknya kita.."

BRAK!

Meja tamu yang terbuat dari kaca itu hancur berkeping-keping hanya dengan sekali pukulan dari tangan Ashvik. Pecahan kaca bertaburan disekitar kakiku, walaupun untungnya tak ada yang melukaiku. Wajah Ashvik berubah gelap, tubuhnya bergetar. Tangannya kiri nya yang masih mengepal kini mengeluarkan darah. Tetasan darah itu menjatuhi karpet, membuat noda merah yang mencolok disana.

"Kita tidak akan mengakhiri hubungan ini. Tidak sekarang, ataupun nanti!" Ia berteriak dengan kencang, membuatku tersentak. "Lebih baik kau bercerai daripada kita berpisah."

Ashvik bangkit dari sofa, kemudian berjalan bolak balik di ruang tamu. Ia terlihat berbahaya karena dipenuhi amarah. Aku harus segera bertindak sebelum kejadian kemarin terulang untuk yang kedua kalinya.

Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya sambil berusaha menghindari pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Kita tak akan berpisah." Ucapku untuk meyakinkannya, "Tapi mungkin, kita tak bisa terlalu sering bertemu seperti biasanya."

Ashvik langsung merengkuhku dalam pelukkannya saat aku mendekat. Kemudian bibirnya menciumku dalam, seakan menyalurkan amarah dan rasa frustasinya padaku. Ia bahkan mengihit bibirku saat aku tak membalas ciumannya, membuat rasa logam yang khas diciuman nya.

"Kau sudah menghindariku selama dua minggu, jadi akan adil baginya jika kau menghabiskan malam denganku hari ini."

Hard DesicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang