Chapter 13

2.1K 57 0
                                    

Akhir pekan berlalu dengan sangat lambat. Ashvik tak menghubungiku lagi setelah ia menutup telepon secara tiba-tiba hari sabtu kemarin. Ia bahkan tak membalas pesan yang ku kirimkan setelah itu. Meskinpun aku beberapa kali mengirimkan pesan kepada Ashvik sepanjang akhir pekan kemarin.

"Abby!" Suara Hans memanggilku saat aku baru saja keluar dari lift. Tubuh Hans yang gempal menuju ke arahku dengan terburu-buru.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Bisakah kau membuat sebuah data untukku. Aku memerlukan data itu untuk teleconference sore ini bersama orang dari cabang." Ia berkata sambil menemaniku berjalan hingga ke mejaku.

Hans menjelaskan dengan detail tentang laporan yang ia inginkan. Membuat pikiranku tenggelam dalam pekerjaan. Aku tak lagi memikirkan perihal Ashvik dan kembali sibuk dengan pekerjaan seperti biasa.

Laporan yang diminta Hans cukup banyak dan rumit, sehingga aku baru bisa menyelesaikan semua itu menjelang jam makan siang. Aku menoleh ke meja disebelahku, berniat untuk mengajak Emma makan sianh bersama. Tapi, aku baru teringat jika Emma tak masuk karena sakit flu hari ini.

Kuperiksa ponselku yang sejak tadi kubiarka begitu saja. Dan mendapati pesan singkat dari Ashvik.

Turun. Aku menunggumu di lobby.

Pesan itu masuk ke ponselku hampir sepuluh menit yang lalu. Aku melihat jika ponselku dalam mode diam. Pantas saja sejak tadi tak kudengar suara ponsel walaupun beberapa pesan singkat masuk. Dengan cepat aku mengambil domperku dari dalam tas dan bergegas turun.

Butuh waktu sepuluh menit bagiku hingga akhirnya mencapai lobby. Ashvik berdiri di pintu, wajahnya masam. Ketika melihatku, wajahnya bertambah muram.

"Maaf kau menunggu lama. Aku baru saja membaca pesanmu." Ucapku terengah.

Ia hanya melihat ku dengan tatapan dingin, kemudian mulai berjalan ke arah mall yang memang berada di sebelah gedung kantorku. Langkah Ashvik yang besar membuatku harus berjalan ekstra cepat untuk bisa mengikutinya. Sedikit saja ia mempercepat langkahnya mungkin aku harus berlari kecil untuk menyamainya.

Kami masuk ke restoran italia tempat kami makan bersama terakhir kali. Ketika kami tiba, pelayan yang menyambut kami langsung mengantarkan kami ke ruang privat yang sama tempat kami makan sebelumnya.

Setelah memberikan buku menu dan mengambil pesanan kami, pelayan keluar dari ruangan. Wajah Ashvik masih terlihat kesal. Ia hanya duduk terdiam di hadapanku tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Kamu masih marah?" Tanyaku pelan. Ashvik hanya mendengus mendengar perkataanku. Tetap memilih untuk diam. "Ponselku dalam mode silent tadi. Jadi aku baru membaca pesanmu sepuluh menit kemudian. Jika kau merasa kesal karena harus menunggu lama, aku minta maaf."

Ashvik masih terlihat kesal, tapi ia mulai menatapku. "Kau tak terlihat merindukanku." Ia berkata dingin pada akhirnya.

Aku meraih tangan Ashvik yang berada di atas meja. Meremas tangan Ashvik erat untuk membuat kekesalannya mereda. "Aku merindukanmu, sungguh. Hanya saja pagi ini banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Jadi aku lupa untuk mengecek ponselku."

Ashvik masih terdiam dan memandangku tajam. Membuat tubuhku bergidik karena merasa tidak nyaman. Aku sengaja tidak membahas hal yang terjadi selama akhir pekan. Khawatir jika itu hanya membuat Ashvik semakin kesal. "Bisakah kau memaafkanku?" Aku memohon.

Tiba-tiba Ashvik bangkit dari kursinya kemudian dengan cepat berjalan ke arahku dan memeluk tubuhku erat. Ashvik melumat bibirku dengan kasar, seakan menumpahkan seluruh rasa frustasi yang ia rasakan padaku.

Nafas kami mulai menderu. Gairah yang mulai kurasakan mendorongku untuk membalas ciuman dari Ashvik. Salah satu tangan Ashvik mulai meraba payudaraku sedangkan tangannya yang lain menahan kepalaku agar ia bisa dengan leluasa menciumku.

"Aku menginginkanmu." Ia berkata, suara Ashvik terdengar sensual. Gairah yang tertahan terpancar dari matanya.

Suara ketukan di pintu terdengar, membuatku terlonjak dari pangkuan Ashvik. Pelayan masuk untuk menyajikan pesanan kami membuatku salah tingkah. Tapi Ashvik terlihat santai, walau jas dan rambutnya terlihat sedikit berantakan.

Setelah menyajikan semua makanan pelayan langsung keluar dari ruangan kami. Walaupun pelayan itu menyadari sesuatu, ia tetap diam dan bersikap seakan-akan tak terjadi apapun. Wajah pelayan itu masih ramah, dengan senyum standart protokol pelayan.

Selepas pelayan itu keluar, Ashvik kembali menarikku ke dalam pangkuan dirinya. Ia mencoba menciumku lagi, berharap kami bisa melanjutkan hal yang tertunda karena pelayan itu. Aku mengelak dari ciuman Ashvik, walaupun tetap duduk di pangkuannya. Kedua tangan kuletakkan di dadanya, untuk mempertahankan jarak di antara kami.

"Jangan lakukan itu lagi disini." Ucapku dengan nada cemas. "Aku tak ingin ada gosip menyebar nanti."

Ashvik terlihat kesal mendengar ucapanku. Wajahnya kembali terlihat masam, sama seperti saat aku menemuinya di lobby tadi.

"Jangan marah, okay? Aku akan ke rumah mu setelah pulang kerja nanti." Aku membujuk Ashvik sambil mengecup bibirnya cepat. Namun dengan sigap Ashvik kembali menahan kepalaku dengan tangannya, dan memaksaku menciumnya lebih lama.

"Ayo pergi." Ia berkata setelah puas menciumku. Kemudian bangkit dari tempat duduk dan menarikku sepanjang jalan hingga ke parkiran mobil di gedung kantorku.

Aku melihat sekeliling, cemas jika ada seseorang yang kukenal melihat kami. Ashvik membuka pintu penumpang dan mendorongku masuk ke dalam mobil. Gerakkan nya begitu cepat, hingga mobil nya sudah melaju cepat sebelum aku selesai mengenakan seatbelt.

Ternyata Ashvik membawaku ke apartment miliknya. Memasukkan kode dengan tak sabar dan langsung menarikku menuju lantai atas, tempat kamarnya berada. Saat melewati ruanh tamu, kulihat seorang wanita paruh baya sedang membersihkan rumah.

"Tuan Muda, anda sudah pulang." Ia berkata sopan saat melihat Ashvik. Namun, Ashvik tak menghiraukannya dan terus saja menarikku. Aku memberikan senyuman canggung pada wanita itu. Kemudian mengikuti Ashvik dengan patuh hingga ke kamarnya.

Di kamar, Ashvik langsung menghujaniku dengan ciuman. Tangannya meraba semua payudaraku sambil dengan tak sabar berusaha membuka kancing baju yang kukenakan.

"T-tunggu." Seruku di antara ciuman Ashvik yang panas.

Ashvik berhenti sejenak untuk menatapku jengkel. Kemudian kembali menyerang leherku. Mencium dan menghisap setiap jengkal leherku yang terlihat. "S-siapa wanita itu?" Tanyaku lagi, berusaha menahan gairah yang sudah mulai membuatku kehilangan akal sehatku.

"Martha." Desah Ashvik. "Bisakah kau tak memikirkan hal lain selain diriku?" Ia menatapku tajam. Nafasnya menderu, nafsu yang tertahan terpancar jelas dari wajahnya.

Pipiku merona melihatnya. Nafaskupun kini sudah tak beraturan. Beberapa kancing baju sudah terbuka, memperlihatkan bra berwarna putih gading yang ku kenakan hari ini.

Ashvik menatap payudaraku, kemudian membelainya lembut. Ia menatapku dengan seksama, seakan meneliti reaksiku atas perbuatannya. Aku mendesah ketika tangannya mencubit puting payudaraku pelan. Melihat reaksiku, Ashvik memusatkan perhatiannya pada puting payudaraku yang mulai menegang karena sentuhannya.

"Aku suka suara desahanmu." Ia berkata pelan. Suaranya penuh dengan nada sensual, membuatku semakin bergairah.

Dengan perlahan, Ashvik membuka semua pakaianku kemudian melihatku penuh harap. Aku mengerti tatapannya dan mulai bergantian menangalkan pakaian yang dikenakan Ashvik.

Hard DesicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang