CHAPTER 19

1.7K 47 0
                                    

Malamku diisi dengan mimpi buruk. Hampir sepanjang malam aku bermimpi jika Ashvik mengejarku. Walau aku sudah berusaha berlari sekuat tenaga, tapi akhirnya semua mimpi itu berakhir saat Ashvik berhasil menangkapku.

Aku bangun dengan kepala pusinh dan mata bengkak. Pandu dan Irvin sudah pergi sejak tadi. Hanya tinggal aku sendiri di rumah. Kulirik jam di meja nakas. Sudah hampir jam sepuluh pagi, tapi aku enggan turun dari kasur. Perasaanku masih buruk, terngiang perlakuan Ashvik semalam kepadaku.

Kunyalakan ponsel yang sengaja kumatikan semalam. Ratusan pesan dari Ashvik langsung masuk ke ponselku. Kemudian, teleponku langsung berdering. Telepon dari Ashvik.

Kumasukkan nomor Ashvik dalam daftar blokir, agar ia tak lagi bisa menghubungiku. Pesan dari Ashvik pun kuhapus tanpa membacanya.  Hanya tersisa pesan dari Pandu.

Aku menunggu penjelasanmu nanti.

Sebuah pesan yang singkat, namun langsung membuat kepalaku berdenyut. Aku masih tak tau apa yang akan ku katakan pada Pandu nanti. Haruskah kukatakan yang sebenarnya, sekaligus mengakui perselingkuhanku. Atau aku harus membuat kebohongan lain untuk menutupinya?

Tapi, jika mengetahui perihal perselingkuhan yang kulakukan, aku tak yakin Pandu bisa memaafkanku. Walaupun Pandu adalah lelaki yang sabar dan pengertian, tapi perselingkuhan adalah batas yang tak bisa ditoleransi olehnya. Aku yakin sekali, jika surat cerai akan ia berikan kepadaku begitu mengetahui aku berselingkuh.

Kuhela nafasku, rasanya apapun keputusan yang kuambil akan tetap akan menjadi hal yang sulit untukku. Paling tidak sekarang, aku harus mencari penjelasan yang logis bagi Pandu. Sesuatu yang akan membuatnya tidak curiga lagi. Dan aku harus memikirkan cara untuk menghindari Ashvik. Ketukkan di pintu membuatku terlonjak kaget. Aku tak ingat ada yang akan datang ke rumah hari ini.

"Bu Pandu, permisi!" Suara Pak Unang, satpam komplek yang ku kenal terdengar dari depan. Menyadarinya aku segera bergegas keluar rumah.

"Iya Pak Unang. Ada apa?" Aku bertanya sambil membuka pintu. Tapi, saat kubuka ternyata Pak Unang tidak sendiri. Ashvik berdiri di belakang Pak Unang, dengan jas hitam rapih walaupun wajahnya terlihat lelah.

"Ini bu, ada tamu. Katanya dari kantor Bu Pandu." Pak Unang menjelaskan. Aku hanya mengangguk dan mengatakan terima kasih kemudian Pak Unang bergegas kembali ke pos satpam.

Aku menatap Ashvik takut. Walaupun ia berhasil menutupi emosi nya di hadapan Pak Unang, tapi begitu Pak Unang pergi ia langsung menatapku tajam. Kututup pintu rumahku cepat, namun ternyata Ashvik bergerak lebih cepat dariku dan menahan pintunya.

Ashvik bahkan mendorong pintu yang kutahan dengan keras. Membuatku terjatuh ke belakang, hampir menabrak sofa yang ada di ruang tamu. Ashvik menyambar tanganku dan menarikku ke hadapan nya. Mata Ashvik menunjukan amarah, bahkan aku bisa melihat urat berkedut di wajahnya.

"Apa hukuman semalam masih belum cukup?" Ashvik berkata pelan, tapi mampu membuatku bergidik ketakutan. Aku menggelengkan kepalaku cepat.

"Masuk ke dalam mobil dan jangan membuat keributan. Kita harus segera berangkat ke Singapura." Ia berkata, masih dengan nada seram yang sama. Kemudian Ashvik menarikku dengan kasar menuju mobil dan mendorongku masuk ke dalamnya.

Hari ini ada seorang lelaki tua yang menjadi supir bagi kami. Sedangkan Ashvik duduk bersamaku di kursi belakang. Tangan Ashvik mencengram pinggangku erat, mencegah aku menjauh darinya walau hanya sebentar. Ashvik terus memperhatikan gerak gerikku, bahkan menyadari saat ponselku yang ada di saku piyama bergetar. Ia menatapku tajam, kemudian mengambil ponselku dan memeriksanya.

Ternyata Emma yang menghubungiku. Ia memberikan ponsel ku, memberikan gestur padaku untuk mengangkat telepon dari Emma. Dengan tangan bergetar aku mengangkat telepon dari Emma.

"Hey Bi, kau dimana?" Tanya Emma, "Suamimu terus menghubungiku semalam, dan menanyakan keberadaanmu. Aku bilang kau mengantarkan Kim pulang. Aku baik sekali bukan? Kau harus mentraktirku makan nanti!"

"Terima kasih," cicitku pelan. "A-aku harus pergi selama akhir pekan. J-jika Pandu menghubungi mu bilang padanya aku mengikuti National Meeting di Bandung." Aku berbisik.

"Eh? Kau mau kemana?" Emma bertanya heran.

"Aku akan menjelaskannya nanti. Tapi sekarang, aku butuh bantuanmu." Aku berkata lagi, enggan mengatakan apapun di depan Ashvik.

Setelah Emma meng-iya-kan permintaanku, aku memutus sambungan teleponnya. Ashvik kini sibuk dengan tablet yang ada di pangkuannya. Dengan cepat aku mengirim pesan pada Pandu yang mengatakan jika aku akan segera berangkat ke Bandung.

Jalanan tidak terlalu padat, jadi kami tiba di bandara dalam waktu singkat. Aku memperhatikan Ashvik yang masih sibuk mengerjakan sesuatu di tabletnya. Memikirkan cara untuk melepaskan diri darinya.

"Ada apa?" Ashvik bertanya padaku, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.

"Penampilanku tidak bagus, bagaimana mungkin aku keluar dengan penampilan seperti ini."

Ia menatapku lekat-lekat, seakan berusaha mencari apa ada yang salah dengan diriku. "Kau cantik." Ia berkata lagi, tersenyum kecil.

"Aku memakai piyama!" Protesku. Aku berani karena melihat senyuman Ashvik sebelumnya. Kuharap mood nya semakin membaik.

"Kita akan naik jet pribadi milik-ku. Jadi apapun yang kau kenakan tidak masalah." Ia berkata lagi, mengabaikan protesku.

Aku tercengang mendengar perkataan Ashvik. Jet pribadi? Apakah ia se-kaya itu sehingga bisa bepergian menggunakan jet pribadi?

Mobil kami terus berjalan hingga ke runaway yang terletak di ujung bandara. Disini tak banyak pesawat lalu lalang, seperti yang biasanya kulihat di bandara. Sebuah jet privat sudah menunggu kami. Bahkan seorang pramugari menyambut kami di ujung tangga pesawat.

"Tuan Muda." Sang pramugari menunduk hormat ketika melihat Ashvik. Sepertinya pramugari itu sudah farmiliar dengan Ashvik. Ia melihat Ashvik dengan kerinduan, namun air muka gadis itu berubah ketika melihat Ashvik menarik-ku di belakangnya.

"Aku mau ke toilet." Cicitku, ketika Ashvik akan menarikku menaiki tangga.

Alis Ashvik terangkat mendengar perkataanku. Memandangku seakan aku adalah anak kecil yang sedang memberikan alasan ketika diminta untuk belajar. Tapi aku tak perduli. Aku harus mencari jalan keluar sebelum ia berhasil mengurungku di dalam pesawat.

"Sebentar saja." Ucapku lagi, berusaha melepaskan diri dari Ashvik.

"Anda bisa ke toilet di dalam pesawat, Nona. Saya harap anda segera naik ke dalam pesawat. Karena kita harus segera lepas landas." Ucap pramugari itu sambil melihatku dengan tatapan merendahkan.

Mendengar jika ada toilet di dalam pesawat membuat aku panik. Bagaimana bisa aku membuat alasan untuk pergi dari sini. Aku menatap ke arah pesawat dengan cemas dan masih menolak naik ke dalam pesawat.

Ashvik mulai kehilangan kesabarannya, genggaman tangan Ashvik semakin menyakiti tanganku. Ia memandangku tajam sambil berkata, "Cepat masuk ke dalam atau aku akan memaksamu masuk!" Ia berteriak keras. Membuatku terlonjak.

Melihat Ashvik yang mulai kehilangan kendali, mau tak mau aku menuruti perkataannya. Dengan enggan masuk ke dalam pesawat, diikuti oleh sang pramugari di belakangku. Meratapi nasib yang akan ku terima di Singapura nanti.

Hard DesicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang