Derap teratur bersumber dari ketukan sepatu di sepanjang lorong kelas sebelas MIPA 1 menjadi penyebab kelas mendadak senyap. Penghuni kelas merapikan barisan meja mengikuti garis tepian lantai yang masih terbilang kinclong biarpun sudah dipijak-pijak oleh sepatu kotor mereka, berharap selaras seperti ketika mereka memasuki kelas pukul enam pagi.
Sepanjang perjalanan, kendaraan diguyur hujan deras tidak berhasil mencegah guru Matematika datang ke sekolah membimbing anak-anak didiknya menelan rumus yang asing untuk dicerna isi kepala. Sama halnya dengan bu Halwa, gadis remaja yang memiliki tinggi tidak lebih dari 155 sentimeter ini. Walaupun sempat terhalang kemacetan ibukota, perkara itu tidak lekas membuat semangatnya padam.
"Selamat pagi, Ibu. Maaf, saya sedikit terlambat." Ashita menunduk, mencium punggung tangan bu Halwa sebelum bersama-sama memasuki ruang kelas.
"Ashita terlambat, kok, enggak dihukum, Bu?"
Panah mata guru wanita usia empat puluh itu bergerak horizontal dari arah kiri ke kanan. Berkas penting yang sedikit lembap terkena cipratan air yang jatuh dari atap ia letakkan di atas meja, kemudian memandang siswa dan siswi bersahaja. "Selain karena Ashita datangnya bareng Ibu yang artinya cuma terlambat beberapa menit, Ashita hari ini juga mengesankan."
Merasa namanya terus disebut, Ashita yang tengah memasang tali ransel pada kepala bangku memfokuskan pandangan ke depan. Bu Halwa di depan sana mengeluarkan selembar kertas putih. Mulanya Ashita bertanya-tanya tentang situasi, tetapi rasa penasarannya mereda usai guru penyayang itu berkata, "Selamat, Ashita, kamu meraih peringkat tertinggi pada ujian Matematika kali ini dengan nilai 96."
Mulut Ashita membentuk bulatan kecil sebelum bergegas mengambil kertas yang disodorkan gurunya. Memang tidak sesempurna itu. Akan tetapi, Ashita bangga terhadap ketekunan belajar yang kerap ia biasakan pada waktu fajar. Ditambah, riuh tepuk tangan teman-temannya menjadi bentuk apresiasi asing yang mesti ia kenang dalam sejarah hidupnya.
Memang semula baik-baik saja. Namun, tidak lagi setelah—pada waktu istirahat—bu Halwa memanggilnya ke ruang guru dan menanyakan satu pernyataan yang mencelos ke dalam lubuk hati terdalam.
"Ashita, sebelumnya Ibu permisi menanyakan hal ini. Dengan keekonomian keluarga kamu yang (maaf) kurang baik. Selain kerja cerdas, kamu juga mesti belajar lebih keras mengejar murid-murid pintar lainnya karena untuk masuk ke kampus favorit, nilai-nilai kamu harus sejajar bahkan lebih daripada mereka yang dicontohkan pimpinan kampus tersebut. Selanjutnya kamu mau bagaimana?"
☕︎☕︎☕︎
Suatu perkara sering kali menjadi lebih rumit, pelit, dan terlilit. Ah, entah karena itu berawal dari semesta atau manusia itu sendiri. Yang jelas, ungkapan bahwa "hidup itu tidak adil" bisa disetujui dalam beberapa kesempatan.
Dari dirinya sendiri, ada satu hal yang patut Ashita jadikan pelajaran hidup bahwa yang terlihat baik belum tentu benar adanya begitu.
Ada beberapa anak yang memang terlahir di golongan atas, mereka kaya raya sehingga mereka bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Ada pun insan yang dalam materiel walaupun tidak seberuntung orang lain, tetapi perjuangan mereka besar, tidak mudah putus asa dalam keadaan terpelik sekalipun.
"Kenapa aku jadi hilang arah begini, sih?" Ashita menggaruk batang hidungnya yang sedikit gatal. Sedang membawa segelas air dari dapur dan hendak menuju ruang tamu. Alih-alih tidak peduli, suara samar yang tertangkap oleh indra pendengaran Ashita dari kamar orang tuanya sukses memicu tujuannya terjeda.
"Tadi Ashita senang banget dapat nilai bagus, tapi aku memang enggak yakin kita bisa ngelanjutin bayar biaya pendidikan Shita, Mas. Kalau—"
"Bisa, kita coba dulu. Kerjaan Mas memang lagi kacau, tapi kita enggak boleh nyerah sama keadaan."
Pundak Ashita sedikit gemetar dan tangan bekerja sama menahan nada lirih keluar dari mulut. Hidupnya tidak kurang apapun perihal kebahagiaan. Keharmonisan selalu ia dapatkan dari keluarga dan siklus pertemanannya pun tidak begitu buruk. Namun, entah mengapa hari ini Tuhan rasanya terlalu bersemangat menumpahkan cobaan pada pundak Ashita.
Sudah hampir dua jam Ashita mengurung diri di kamar. Garis lingkar di bawah mata kian menghitam, pun tidak jauh berbeda dengan langit yang mulai menggelap ditambah asap membubul dari sampah yang dibakar tetangga. Bola mata Ashita mengikuti setiap detik yang terlewati, dirinya ini tengah menunggu apa atau siapa?
Perempuan manis berbulu mata tipis lentik ini memaksa badannya bergerak sebentar, jemari meraih tali tas selempang berwarna cokelat tua yang kemarin ia bawa 'tuk menanti senja tiba. Ashita mengerang, memanjangkan tubuhnya sampai bunyi "kretek" dari tulang yang dibunyikan itu unjuk rasa.
Dipelototinya sebuah foto siluet pada layar gawai yang berada dalam genggaman. Kontur hitam berpadu warna jingga yang terpancar dari sinar senja melukiskan senyum terindah di wajah Ashita. Bayangan itu adalah dirinya.
"Ca ... cantik," gumam Ashita langsung tersipu malu, "yang fotoin aku ganteng."
Tidak heran, dominan perempuan setelah bertemu dan berkenalan dengan laki-laki tampan akan selalu terbayang sesuatu yang menarik perhatian. Menurut Ashita, pemuda yang dipertemukan oleh Tuhan di bawah langit sore kemarin adalah salah satu karunia-Nya.
Hal yang paling berkesan bagi Ashita di pertemuan pertama mereka karena keduanya dipertemukan di waktu yang paling Ashita suka, masa-masa matahari nyaris terbenam di ufuk barat.
"Ah, jangan mikirin yang aneh-aneh, Ta. Kata Ibu, kamu harus rajin belajar. Pikiran yang masuk ke otak dan belum jelas akhirnya itu, enggak boleh ganggu hidup kamu!"
"Ashita! Makan dulu, Nak. Kamu di kamar terus ngapain, sih? Nanti kalau sakit siapa yang repot?"
Itu adalah perintah, sekaligus tamparan ringan dari seorang ibu untuk anaknya menggema dari sudut dapur. Akan tetapi, alih-alih menghampiri Sinta, tubuh mungil itu bergeming di atas ranjang dengan posisi telungkup. Gadis yang mempunyai kulit putih bersih ini menyengir memandangi layar benda pipih di tangannya.
Sekitar dua menit, barulah ia beringsut. Bukan untuk mengiakan perintah Sinta, melainkan berdiri tergugu di balik jendela kamar.
"Senja selalu manis dan hangat, seakan meyakinkan aku bahwa segalanya akan baik-baik aja. Meskipun pasti senja juga enggak akan selalu ada, tapi dia enggak pernah buat aku kecewa akan keindahannya."
Ashita merapalkan doa, semoga badai dalam hidupnya segera berakhir. Tidak apa berganti menjadi embusan angin kencang, asalkan _swastamita_ yang menjadi latar belakang. Tidak mengapa untuk tidak baik-baik saja, asalkan berjanji lekas pulih karena kebahagiaan diri sendiri merupakan prioritas tanpa batas.
Terbayang wajah adik laki-lakinya serta merta membakar asa dalam diri seorang Ashita. Perjalanannya dalam menimba ilmu tidak boleh hanya berakhir sampai jenjang SMA. Ashita meneguk saliva. "Semangat, Ashita! Masih ada banyak pelajaran hidup yang enggak boleh berakhir cuma sampai titik redup! Eh?"
Mata Ashita menyipit ke arah kanan, di atas ranjang di dekat guling persis. Notifikasi dari gawainya mengalihkan atensi. Menjerit tertahan, Ashita meringis menahan goresan senyum. Ini bukan sebab Ashita baru saja memandang senja dan mengingat pemuda itu, 'kan?
Sekali lagi. Biarkan Ashita membaca satu pesan yang baru saja diterimanya satu kali lagi saja. Harapan Ashita tak kunjung berlabuh, isi pesan itu tidak berubah, sukses membuat Ashita keegeran dan ingin memutar jarum jam ke arah kanan sepuluh kali lebih cepat dari garis normal.
Alfin
Hai, Ashita. Besok mau kagum pada senja lagi?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kilah Semesta
Teen FictionDi bawah langit senja Ashita bertemu dengan pemuda tampan yang sengaja memotretnya. Pemuda yang ahli dalam bidang fotografi itu mampu memikat mata dan hatinya. Senyumannya bagai candu bagi Ashita. Tampan, tetapi sayang tidak dapat ia miliki. Pemuda...