Ashita memasuki rumah dengan memasang wajah datar dan mata sendu. Untung saja masih sepi, tidak ada kehadiran siapa pun di sana. Ashita fokus berjalan ke kamar, tempat favoritnya di kala rasa letih datang tanpa permisi. Tanpa basa-basi, Ashita langsung merebahkan tubuhnya pada kasur berwarna putih itu.
Rasanya ia ingin segera berlari dan kembali menuju ruang waktu masa lalu, lebih tepatnya beberapa jam yang lalu, kala rasa seperti terbang di awan ditemani ribuan kupu-kupu cantik menyelimuti. Akan tetapi, tentu saja angan tersebut tidak dapat terealisasikan. Sekarang, ya, sekarang dan dulu, ya, dulu. Tidak ada yang bisa memutar kembali waktu delapan jam lalu.
Rasanya Ashita ingin sekali bertanya, "Dia siapanya elo?" tepat di hadapan pemuda itu, lelaki pemberi rasa manis di awal dan pahit di akhir. Gadis bersurai hitam agak tebal ini membuang nafasnya gusar memikirkan khayal dan haluan yang sepertinya tidak mungkin terjadi.
Kalau diingat kembali, raut wajah gadis yang bersama Alfin beberapa jam yang lalu itu benar-benar tampak risi akan kehadirannya. Belum bertanya pun, sepertinya Ashita sudah mendapatkan jawaban. Mungkin jawaban itulah yang Ashita harap tidak mampu mendengar langsung dari mulut Alfin yang sejak beberapa hari ini menari-nari di dalam pikiran. Ah, senyum khas dari lelaki itu sudah telanjur membekas pada ingatan dan sempat menghangatkan hatinya.
Pertama, wajah pria maskulin bernama Alfin. Kedua, kejadian tadi pagi selama sepuluh menit. Ketiga, rupa gadis dengan raut tidak nyaman yang sekarang berputar-putar di dalam kepalanya ini. Semakin dipikirkan, semakin rasa kesal dan penasaran menghantui Ashita. Sulit sekali rasanya untuk mengumpulkan keberanian bertanya plus kesiapan hati untuk mendengar dan menerima jawabannya. Ashita yang pusing memikirkannya tidak mau terbelenggu akan "mereka" semua, memilih segera mengalihkan atensi. Ashita memasuki kamar mandi, hitung-hitung membasuh isi kepala yang terisi sepenuhnya oleh keberadaan seseorang yang menganggapnya ada saja sepertinya tidak.
☕︎☕︎☕︎
Setelah membersihkan diri, Ashita duduk di kursi belajar, tangannya bergerak mengeluarkan buku tulis ditambah beberapa lembaran kertas yang begitu banyak. Tentu saja karena Ashita sendiri yang meminta, terus lekas ia kerjakan sebagai latihan soal guna sukses masuk ke Universitas yang ia incar.
Baru lima belas menit Ashita memfokuskan otak dan menegakkan niat mengerjakan PR Fisikanya, tetapi dering pesan sudah terdengar kembali. Ashita tentu saja mendengarnya, tetapi ia tidak terlalu peduli akan pesan dari siapa itu. Bukannya benci atau apa, ia hanya berusaha untuk mengembalikan hatinya yang sendu terselimuti dingin menjadi kembali baik.
Tiga puluh menit berlalu. Namun, notifikasi dari ponsel itu tidak kunjung berhenti. "Hh, siapa, sih?" gumamnya sembari beranjak ke kasur membuka pesan yang sejak tadi membuat kebisingan.
Alfin
Hai, masih ingat 'kan dengan janji kemarin?
Ashita?
Tidurkah?Kedua alis Ashita menukik menciptakan kerutan pada kening. Mulanya Ashita berupaya tidak peduli, tetapi pesan sesudahnya membuat tawanya sedikit pecah.
Alfin
Eh, akhirnya dibaca.
Kamu habis ngapain, ih? Kayak orang sibuk, ya_ :DSenyum manis terukir saat membaca pesan Alfin yang terkesan lucu untuknya. Memang, ya, tentu saja hatinya masih sakit. Namun, entah mengapa bisikan-bisikan dan pemikiran dari ruang pilu di otak yang belum ia ketahui kebenarannya langsung menghilang dari permukaan. Hati seorang manusia sepertinya jarang menetap ketika kepastian belum ada untuknya.
Ashita
Hei.
Ngg ... masih ingat.Alfin
Baguslah kalau begitu.Ashita
Bagus kenapa, Kak?Alfin
Eh? Enggak, enggak, bukan apa-apa.
Gue jemput di rumah lo lagi, ya. Enggak apa, 'kan?Ashita
Hah? Hngg ... boleh, deh.Alfin
Oke, tunggu gue sekitar jam empat.Ashita
See you.Ashita tersenyum riang, benar-benar kegirangan. Bahkan, rasanya ingin sekali Ashita langsung beranjak pergi dari sana, tidak perlu menunggu jarum pendek pada jam dinding menunjukkan pukul empat untuk pertemuan kesekian mereka. Ashita memeluk gawainya dan mengubah posisinya dari duduk menjadi telentang diikuti wajah semringah.
Ashita dengan cepat beranjak berdiri dan memilah-milah baju mana yang akan ia gunakan. Semangat dan harapan kembali muncul pada dirinya. Ashita sendiri sebenarnya tidak tahu perasaan apa ini, padahal ia baru saja dikecewakan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya dan semangat yang mungkin terlahir dari munculnya harapan ada pada Ashita.
Cukup memakan waktu hingga ia akhirnya memilih baju yang akan ia kenakan. Ashita kembali mengistirahatkan tubuhnya. Waktu terus berdetak hingga menunjukkan pukul tiga sore.
Ashita sudah kembali bercengkerama dengan soal-soal hingga tidak sadar satu jam lagi menuju sesuatu yang ditunggu. Ashita yang fokus benar-benar tidak sadar hingga alarm pada ponselnya berbunyi menunjukkan pukul 15.40 WIB. Gadis itu berputar di depan cermin, refleksi yang menampilkan wajah cantik berpoles riasan tipis terpampang jelas di hadapan, Ashita menyentuh pipinya dan berjalan mendekati cermin. "Ini Ashita, bukan dia yang mungkin kamu anggap istimewa."
Tepat ketika ia mengucapkan kata terakhir dalam kalimatnya, benda pipih itu kembali berdering yang sukses membulatkan matanya untuk segera berangkat.
☕︎☕︎☕︎
Waktu yang ia lalui bersama Alfin tadi pagi kembali lagi dengan kondisi yang sedikit berbeda. Ashita kini sudah berada di jok belakang, dibawa Alfin pergi menuju tempat di mana mereka akan menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan dengan nikmat penglihatan yang diberikan-Nya pula.
Sepi mengikuti perjalanan itu, tidak ada sepatah kata pun dari dua insan ini yang tersuarakan, padahal ada banyak sekali yang ingin keduanya bicarakan. Mereka sama-sama diam untuk waktu yang cukup lama. Ashita menggengam tas selempang cokelat yang selalu ia bawa ketika akan menikmati senja. Genggamannya kini begitu erat pada tas itu, seakan sedang mengumpulkan keberanian.
"Ada apa, Ashita? Kamu hari ini pendiam banget," ungkap pemuda yang membawa Ashita itu.
"Eh? Enggak ada apa-apa," jawab Ashita cepat.
Alfin memperbaiki kaca pada helmnya, kemudian tertawa. Tawa yang renyah itu refleks membuat Ashita menelan ludah, terpana. "Oh, hahaha. Kalau gitu, ini apa, ya, yang ganjal di punggung gue?"
"Eh, ini tangan gue, Kak. Maaf, jadi ganggu," ringis Ashita, memundurkan tangannya perlahan untuk ia genggam karena kini bukan hanya canggung yang terasa, tetapi juga degupan jantung mulai tidak teratur.
"Lo kedinginan, ya?"
Sekali lagi, Ashita menggelengkan kepala yang syukurnya Alfin melihat dari kaca spion.
"Seriusan enggak dingin?" tanya Alfin dengan nada sedikit jahil.
Ashita mengangguk mengiakan, senyumnya yang semula manis perlahan memudar. Diamatinya gerak-gerik laki-laki di depannya ini, berharap tidak menemukan alias menambah lagi kilah di dalamnya. Semesta begitu, ya? Senang mempermainkan perasaan seseorang, mengaduk-aduknya hingga menghilangkan selera untuk pura-pura tidak percaya, dan pada akhirnya manusia hanya bisa mengikuti alurnya.
Sebenarnya, gue cuma mau bertanya siapa gadis itu, Alfin.
Perjalanan di menit-menit sebelum sampai pada tempat tujuan hanya terisi oleh keheningan yang menyeruak, Alfin sendiri pun tidak banyak bicara sehingga Ashita semakin tidak berdaya. Jatuh hati itu ternyata sulit, ya? Layaknya suatu gelas yang sudah penuh, tetapi mesti diisi lagi oleh taburan romansa. Kapasitas berlebihan. Ashita menggelengkan kepala, mulai ngawur dirinya ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kilah Semesta
Fiksi RemajaDi bawah langit senja Ashita bertemu dengan pemuda tampan yang sengaja memotretnya. Pemuda yang ahli dalam bidang fotografi itu mampu memikat mata dan hatinya. Senyumannya bagai candu bagi Ashita. Tampan, tetapi sayang tidak dapat ia miliki. Pemuda...