Asa yang Semu

15 5 33
                                        

Seminggu sudah berlalu pertemuan antara Ashita dan Alfin di tengah senja. Kini, Ashita berada di perpustakaan sekolahnya sekadar untuk membaca buku yang sekiranya menarik. Pandangannya jatuh kepada buku berjudul Jarak Antara Kita. Buku dengan sampul berwarna cokelat menarik atensinya.

Ia membalikkan buku itu untuk melihat sampul bagian belakang yang berisi blurb dari buku tersebut. Matanya meneliti kata demi kata yang sangat menusuk baginya karena tanpa sengaja, kalimat yang ia baca sangat menohok hatinya.

"Ketika kamu mencintai orang yang mencintai orang lain, pergilah sejauh mungkin! Jangan kamu anggap perhatian yang selama ini ia beri itu menggambarkan apa yang ia rasakan padamu. Jangan pernah berharap lebih, ia sudah tak dapat kamu gapai. Aku dan kamu tak akan menjadi kita, begitupun kamu dan dia yang tak akan mungkin dipersatukan. " Ashita membaca sepenggal kalimat dari buku itu.

"Duh, nyelekit banget. Sakit hati gue." Ashita bermonolog sembari terkekeh sendiri, "Kangen Kak Alfin, deh. Udah seminggu semenjak liat senja gue enggak pernah lihat dia lagi."

Ashita duduk di kursi yang telah disediakan untuk penghuni perpustakaan membaca. Ia merenung, apakah ia masih bisa bersama Alfin? Namun, ia juga sadar jika mereka tak akan mungkin bersama. Alfin sudah memiliki orang yang ia pilih menjadi kekasihnya. Ashita tidak bisa memaksakan kehendak begitu saja. Memaksa agar Alfin terus bersamanya, menjaganya, dan menjadi salah satu sumber kebahagiaannya.

Bel masuk sudah berkumandang, itu berarti waktu istirahat telah usai. Ashita berjalan menuju kelasnya sembari menunduk. Di dalam pikirannya masih penuh dengan pertanyaan mengenai Alfin. Ia juga penasaran akan Alfin yang seakan menghilang ditelan ombak lautan. Semenjak kejadian satu minggu lalu, bagaimana bisa dia tak lagi memunculkan wajahnya di depan Ashita. Bahkan, ia tak pernah melihat atau berpapasan di lingkungan sekolah.

"Ashita!"

Jantung Ashita berdegup kencang akibat teriakan Karin yang mengejutkan dirinya. Tatapan tajam ia arahkan kepada Karin yang berada di belakangnya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Karin merasa aneh dengan sikap Ashita hari ini, ia merasa ada yang berbeda.

"Lo mau ke mana?"

Ashita menyernyit. "Ke kelaslah. Kan, udah bel."

"Tapi kelas kita kelewatan, Shita! Ini udah kelas MIPA tiga. Lo mau pindah kelas, hah!" geram Karin.

Dengan secepat kilat, Ashita merotasikan pandangannya pada kelas di hadapannya. Terpampang papan di atas pintu dengan tulisan "11 MIPA 3". Jujur saja, Ashita kini sangat malu dengan tingkahnya sendiri. Bagaimana bisa dia tidak menyadari bahwa kelasnya sudah terlewati? Pikirannya mengenai Alfin memperburuk keadaan Ashita hingga ia menjadi ceroboh.

Andai saja pikirannya kini tidak berkelana pada sosok lelaki yang mengisi ruang hatinya. Pasti sekarang ia tidak akan menanggung rasa malu di depan sahabatnya sendiri. Langkah kaki Ashita bergerak cepat melewati Karin dan memasuki kelasnya.

"Ashita enggak ada akhlak! Udah diingetin malah ninggalin!"

"Tapi kalo dilihat-lihat, aneh juga tingkah Shita hari ini," lanjutnya sembari memegang dagu.

Karin memutar badannya karena ingin kembali menuju kelasnya. Namun, belum sempat ia melangkah, tubuh tegap seorang guru laki-laki sudah lebih dulu berada di hadapannya.

"Eh, Pak Botak. Karin mau ke toilet dulu. Kebelet," ucap Karin lalu hendak berlari dari hadapan guru yang tidak mempunyai rambut tersebut.

"Masuk kelas atau nilai raport kamu D," tukas guru itu.

"Iya, Pak."

Karin mencium tangan guru botak itu lalu berlari menuju kelasnya. Di sana sudah terdapat Ashita yang tengah menahan tawanya. Sahabat macam apa Ashita ini? Karin berjanji, ia tak akan melepaskan Ashita pulang nanti.

Kilah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang