Harsa itu Fana

13 5 43
                                    

Lima menit sebelumnya, Alfin menepikan motor merahnya melewati pelataran belakang gedung yang menjulang cukup tinggi. Sejujurnya, Ashita lumayan waswas ketika motor Alfin memasuki kawasan tersebut lebih dalam. Apalagi saat mengamati lingkungan sekitar, yang Ashita lihat hanyalah beberapa motor terparkir berantakan seolah-olah profesi tukang parkir tidak berguna. Selebihnya, kosong, gelap dan kumuh. Ashita yakin tempat ini merupakan gedung yang sudah tidak terpakai.

Alfin menyuruh Ashita turun dari motor, melirik gadis itu sejenak sebelum melepaskan jaket denim yang dikenakannya dan menyampirkan di pundak Ashita. "Pakai, ya, udara di sini dingin."

Perhatian kecil dari seseorang yang belum lama dikenal terkadang justru berefek lebih dibandingkan dengan perkataan —yang niatnya untuk— memotivasi dari orang terdekat. Benar, sebegitu berpengaruhnya terhadap perasaan seseorang, sampai-sampai bukan hanya tubuh Ashita yang memanas, tetapi pipinya pun turun tangan hampir tewas.

Ashita menunduk malu, sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya yang barangkali memerah kini. "Kak, ini tempat apa? Kok gelap kayak enggak ada kehidupan?"

"Gelap, ya, kayak hidup gue kalau enggak ada lo," kekeh Alfin.

Melotot. Ashita tanpa sadar meninju siku pemuda berbadan tegap dan pundak lebar di sisi kirinya. Aduh, bagaimana ia tidak semakin suka, Ya Tuhan? Jika sekarang gadis berparas ayu ini hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat menyeramkan yang tengah ia kunjungi, Alfin justru tertawa puas lepas menjahili Ashita, menariknya lebih dalam lagi menjelajahi isi gedung.

Tidak sopan apabila Ashita gegabah menuduh Alfin hendak bermacam-macam terhadapnya, tetapi dengan suasana horor seperti ini tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Terlebih, Alfin seorang laki-laki yang bisa saja lepas kendali. Ashita mendesah, hatinya tiba-tiba resah. "Kak, maksud—"

"Naik tangga sini, yuk, Shita. Tenang aja, enggak ada sesuatu yang akan jahatin kamu, kok. Kan, ada aku." Ashita mengangkat kepala saat tangan Alfin menyambar telapak tangannya untuk pemuda itu genggam hangat, Alfin tertawa kecil dan bertanya basa-basi, "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Ashita? Ada monster?"

Ugh! Ashita malu tahu, tidak? Secara refleks, pegangan Ashita pada kepalan tangan Alfin mengerat, keduanya tidak peduli apakah status harus mengudara. Yang jelas, mereka ingin bersenang-senang datang ke sini, bahkan Ashita yang tidak tahu hendak apa malah ikut cengar-cengir saja. Aliran hangat yang tersalur dari genggaman cowok itu membuatnya tenang.

Karena liftnya rusak, Alfin memastikan Ashita kuat menaiki anak tangga yang bisa dibilang terhitung banyak untuk sampai pada tempat yang mereka tuju. Ekspetasi akan mendapatkan respons bahagia dari Ashita sontak mengobarkan kembali semangat Alfin.

Ada sekitaran delapan lantai pada gedung ini. Dengan berlatar belakang gedung terbengkalai, Alfin pun tidak bisa mengabaikan beberapa bongkahan fraksi bangunan yang mana tahu sewaktu-waktu reyot dan menimpa keduanya. Jadilah sembari menaiki anak tangga bersisian dengan Ashita, tangan Alfin berada melayang di atas kepala Ashita khawatir perempuan itu tertimpa sesuatu yang tidak ia inginkan.

Ashita menginjak anak tangga terakhir dengan rasa puas, lantas mengusap peluh yang mengalir deras. Sementara itu Alfin sejak awal hanya tertawa menyaksikan tingkah lucu Ashita. "Kamu keringatan kayak gitu aja tetap cantik, ya. Apalagi kalau nanti kamu ngeliat—"

Pintu atap didobrak menggunakan kaki Alfin. "—ini." Embusan angin kencang langsung menyapu wajah mereka berdua yang semula basah dan lembap. Penyambutan yang tidak gagal sama sekali. Ashita memekik kesenangan tanpa sadar situasi dan kondisi sedang bersama siapa ia saat ini. Perempuan itu melompati tanjakan kecil pembatas antara anak tangga terakhir dengan lantai atap.

"Waaahh, udara di sini segar bangeet!" Ashita nyaris tersandung dari langkah larinya, tetapi bukan itu permasalahannya sekarang. Ia berhasil kembali berlari dan sampai pada pembatas atap, berada tepat di atas gedung memandang lalu-lalang dan kemacetan ibukota. Ashita berbalik badan cepat, cengiran khasnya yang manis langsung disambut kedatangan Alfin.

Kilah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang