Menggapai Cita

9 3 12
                                        

Berbekal wejangan dari keluarga, Ashita menjalani masa-masa kelas dua belasnya dengan giat. Dalam beberapa waktu, Ashita membusungkan dada merasa dirinya adalah orang sibuk yang memiliki jadwal padat. Ajakan dari teman-teman untuk mampir ke mal setelah bel pulang sekolah berbunyi tidak ia indahkan, sebisa mungkin Ashita menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang nantinya akan ia sesali.

Sebetulnya, beasiswa sudah di depan mata. Ashita sering kali mengikuti banyak olimpiade dari sekolahnya, semua itu ia lakukan tidak lain dan bukan untuk mengubah nasib. Mau bagaimanapun alasannya, pendidikan adalah hal utama. Perbedaan gender yang mengatakan bahwa perempuan hanya akan berakhir di dapur dan ranjang tidak pernah memicu Ashita untuk tidak menggelengkan kepalanya. Ibu Kartini sudah berjuang menaikkan derajat perempuan, sudah semestinya kaum mereka menjadi sosok yang mempertahankan.

"Shita, nanti sore pengumuman SNMPTN. Lo pasti lulus, deh, gue yakin banget."

Itu Karin. Ashita tidak menyangka bahwa kenaikan kelas pun tidak berhasil membuat mereka berpisah kelas, masih dengan Karin yang bawel, Ashita terus bertahan melewati masa-masa sulitnya.

"Kalo ngomong suka bikin jantung anak orang makin deg-degan. Aamiin, lo juga." Ashita tertawa kecil menyaksikan sang teman menggerutu.

Matahari sedang tidak bersemangat. Entah bagaimana bisa terjadi, tetapi suasana hati Ashita sering kali bergantung pada cuaca. Apabila awan sedang ceria, otomatis hati Ashita ikut riang dan ketika langit menampilkan awan mendung, pikiran dan perasaan Ashita mendadak dibuat kalut. Sekarang, Ashita merasakan bahwa sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Namun, ia sendiri tidak bisa begitu saja memercayai yang belum pasti.

☕︎☕︎☕︎

"KAMU LOLOS, SHITA!"

Sorakan penuh haru berasal dari kamar bernuansa hangat yang didominasi cat tembok biru langit. Ashita tergugu, matanya berkaca-kaca ingin menangis. Tangannya kini gemetaran menyentuh layar monitor pada laptop hitam di depannya. "I-ini ... serius? Ashita lolos, Ma?" Perempuan ini menarik ujung baju Sinta, mencoba memercayai takdir indah yang digariskan oleh Tuhan. Sinta mengangguk-angguk. "Ta-tapi ... lo gimana, Rin?"

Berbalik, Ashita melompat kecil mendekati Karin yang duduk memojok ke tembok. Mereka memang berjanji akan membuka hasil dari perjuangan mereka belajar selama dua semester di rumah Ashita. Ashita menelan saliva susah, situasi ini benar-benar membuat perasaannya berkabut. "Lo ... enggak lolos?" Tidak adanya jawaban sudah menjawab segalanya. "KARIN!" Tangis Ashita pecah, tubuhnya bergerak mendekap erat tubuh sang teman yang gemetar juga. Bedanya, Ashita dengan perasaan tidak enak, sedangkan Karin kecewa terhadap dirinya sendiri.

Ya, layar pada ponsel Karin menunjukkan warna merah mendominasi. Ashita menangkup pipi Karin yang kini lembap terhujani oleh butir-butir mutiara dari mata.

"Gue gagal, Ta ... gue gagal ...."

Untuk beberapa waktu, Ashita membeku, mulutnya terasa kelu. Dipeluknya kembali Karin yang terus menyembunyikan wajah manisnya. "Lo enggak ... lo enggak gagal, Karin! Perjalanan lo masih panjang! Gagal satu kali enggak bisa ngerubah Karin yang ceria jadi pemurung kayak gini. Kita berjuang sama-sama, oke?"

☕︎☕︎☕︎

Sebuah danau dengan air yang jernih dan suasana sepi membuat orang yang sedang menenangkan pikiran tidak terusik. Ashita sengaja membawa Karin ke tempat yang sepi agar ia bisa tenang dan tidak memikirkan hal yang baru saja terjadi. Mereka terdiam cukup lama. Ashita yakin, Karin masih syok mengenai hasil pengumuman tadi.

Karin menoleh ke arah Ashita, tetapi ia tidak benar-benar menatap Ashita. Sorot matanya kosong, tidak fokus kepada satu titik. Satu kegagalan hampir saja membuat Karin menyerah, padahal masih ada cara lain untuk memasuki jenjang perkuliahan.

Kilah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang