Baskara menampilkan senyumnya, rerumputan hijau di halaman rumah dihinggapi embun pagi yang membuatnya basah dan tampak segar. Ashita bangun lebih awal hari ini, wajahnya menunjukkan kegembiraan pagi. Senyum manis terukir jelas, sepertinya pemuda yang Ashita temui beberapa hari lalulah yang berhasil membuatnya terus bertingkah layaknya manusia tidak waras.
Ashita merapikan kamarnya sembari bersenandung kecil melantunkan lirik lagu Celengan Rindu, tentunya tanpa melupakan bibir yang tidak jemu tertarik ke atas pada wajah ayunya. Alfin seperti menumbuhkan semangat baru untuk Ashita.
"Wah, ada apa, nih? Lagi senang banget kayaknya," celetuk pria berkepala kurang dari empat ini yang tidak sengaja melewati kamar Ashita dan menemukan putrinya tampil berbeda dari biasanya.
Terlonjak dari haluannya, Ashita berbalik badan menghadap ke belakang dan mendapati papanya sudah memandang begitu penasaran. Perempuan ini justru menyengir lebar. "E-eh, enggak ada apa-apa, Pa."
Sang papa hanya merespons dengan senyum tipis. Sepersekian detik setelahnya, tangan kekarnya bergerak mengusap lembut surai hitam anak gadisnya itu. "Oh iya, hari ini kamu berangkatnya naik ojek dulu, ya? Soalnya Papa ada urusan dan mesti buru-buru."
Raut tidak enak tersirat samar dari pria depannya. Ashita mengangguk cepat, jantungnya sedikit berdebar khawatir akan sesuatu yang kiranya mampu membuat sang ayah curiga. "Iya, Pa, santai aja." Dalam hati, Ashita mengucap kalimat syukur beberapa kali. Untung saja pagi ini sang ayah ada urusan. Jadilah, ia bisa berangkat ke sekolah bersama Alfin.
"Ya sudah. Kalau begitu, Papa duluan, ya, Sayang."
Kalimat pamit berujung membawa papanya pergi sebentar dari rumah itu memaksa Ashita mengangguk santun.
☕︎☕︎☕︎
Ashita sudah rapi dengan seragam sekolah yang terpasang rapi pada tubuhnya. Saat ini ia sedang duduk manis menikmati masakan sang ibu sambil menunggu seseorang yang akan menjemputnya.
"Kamu udah pesan ojek?" tanya Sinta mengingat Ashita tidak berangkat bersama suaminya pagi ini.
"Belum, Ma. Em ... nanti aku dijemput sama temanku." Ashita menggeleng, menjawab pertanyaan tersebut terbata-bata. Rasa gugup nyaris menelan keberanian Ashita mengatakan kalimat itu.
"Teman kamu yang mana?" Sinta bertanya kembali.
"Namanya Alfin, Ma," jawab Ashita berharap Sinta tidak akan bertanya lebih jauh lagi.
Mamanya itu mengerutkan dahi. "Kok ka—"
Pip!
"Ma, teman aku udah dateng. Aku pamit, ya? Assala—"
"Ashita, pamit yang sopan sama temannya." Sinta menatap horor pada Ashita yang menampilkan deretan giginya.
Ashita menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Fin, ayo, masuk dulu!" panggil Ashita pada Alfin yang masih berdiri tegak di teras depan, berharap gadis cantik yang dinantinya lekas keluar.
Bagaimana Alfin tidak gugup, lelaki itu bertemu dengan Ashita alias putrinya Sinta masih bisa terhitung jari, tetapi pagi ini terbukti sudah ia berdiri untuk menjemput dan berangkat bersama Ashita ke sekolah guna menimba ilmu bestari, terlebih tanpa diketahui oleh papa Ashita yang pergi pagi-pagi sekali. "Pagi, Tante." Menghampiri Sinta, Alfin mencium tangan wanita di hadapannya sopan.
"Selamat pagi. Kamu teman baru Ashita, ya?"
Mungkin bagi Sinta, kalimatnya di detik yang lalu merupakan suatu pertanyaan. Namun, entah mengapa Ashita terbawa perasaan menganggap hal itu sebagai sebuah pernyataan, yang berakhir pahit ia telan pelan-pelan. Memang kenyataannya begitu, bukan? Alfin cuma bisa mengiakan dengan anggukan, biarlah angin yang menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilah Semesta
Ficção AdolescenteDi bawah langit senja Ashita bertemu dengan pemuda tampan yang sengaja memotretnya. Pemuda yang ahli dalam bidang fotografi itu mampu memikat mata dan hatinya. Senyumannya bagai candu bagi Ashita. Tampan, tetapi sayang tidak dapat ia miliki. Pemuda...