Harusnya Minho tidak kaget. Chan itu makhluk yang tidak masuk di akal manusia. Ia hidup diantara dua dunia, dunia manusia dan dunia lain. Ia bisa jadi manusia atau hantu sesuka hatinya.
Dan Chan adalah 'atasan' para malaikat maut. Itulah kenapa Chan bisa mengatur jadwal kerja sampai pikiran para malaikat maut. Itu merupakan poin penting yang Minho selalu ingat.
Tapi untuk catatan kehidupan para malaikat maut sebelum mati, Minho tidak pernah membayangkan hal itu.
"Huh, aku sih tidak mau cari mati."
Mata Minho berotasi. "Kau sudah mati, bodoh."
Laki-laki dihadapannya hanya terkikik. "Kau belum pernah di skors kan? Chan Hyung akan mengurungmu di ruangan gelap selama berhari-hari."
Minho tertawa sarkas sebagai jawabannya. Baru saja dua hari yang lalu Hwang Hyunjin dibebaskan dari hukumannya dan rasanya masih lucu mengetahui alasan anak itu di skors.
"Kau cari saja sendiri, Hyung. Lagipula aku tidak ingin tau kehidupanku dulu."
Minho berdiri. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah si laki-laki berambut sebahu itu. "Ah, begitu? Aku tau Chan meninggalkan satu nama dalam ingatanmu. Tapi untukku, nol besar. Perasaan itu akan terus ada dan sudah cukup membuatku gila."
"Hyung, kau tidak tau kalau satu nama dalam ingatanku lebih menganggu. Kita tidak akan tau siapa dan apa hubungan orang itu dengan kita.
Kau sepertinya lupa kalau kita ini hidup seperti angin. Kau pikir kita punya kuasa untuk mencari siapa orang itu?"
//
Detik jam pada jam dinding terus bergerak. Sangat pelan, mengiring waktu sampai helaan nafas terakhir sang kakek berhembus pelan. Setelah itu, arwah sang kakek berdiri tepat di depan wajah Minho.
Sinar matahari senja yang menyelip masuk dari jendela membuat tubuh sang arwah terlihat keemasan. Minho tau, dibalik matanya yang ramah, ia ketakutan.
Minho melirik sedikit ke buku hitam ditangannya, "Seo Changbin, 75 tahun. Sudah waktunya untuk meninggalkan tempat ini."
Sang kakek masih bergeming. Ditatapnya tubuh kurus yang terbujur kaku di atas ranjang itu. Matanya tertutup damai, seolah peliknya baru saja dihapuskan oleh sang semesta.
"Mengapa aku pergi lebih dulu? Padahal aku berusaha hidup sehat."
Minho hanya menarik sudut bibirnya, tidak tertarik sama sekali.
"Kenapa aku harus meninggalkan mereka? Aku lebih baik ditinggalkan lebih dulu."
"Hidup bukan soal siapa yang meninggalkan lebih dulu, tapi soal waktu. Ketika waktumu habis, kau harus pergi." sahut Minho dingin.
"Kau benar. Setelah ini Wooyoung harus merawat Felix dan Jeongin sendirian." sambungnya, kali ini sambil mengisal matanya. "Aku harap mereka tidak terlalu sedih atas kepergianku."
Seperti biasa, pintu emas muncul di sisi tubuh sang malaikat maut, "Pintu ini akan membawamu pada perdamaian abadi."
Ia menyeret kakinya mendekati Minho, sambil tersenyum ia menepuk pundak Minho. "Ah, kau mirip dengan sepupuku yang sudah lama sekali mati. Terima kasih, nak."
Genggamannya pada gagang pintu mengerat. Minho sebenarnya tidak keberatan dengan sentuhan para arwah, ia menganggap itu sebagai ucapan terima kasih, tapi kali ini, rasanya ada yang berbeda.
Minho merasa sebentar lagi hatinya akan pecah. Perasaan itu semakin membuncah. Mengobrak-abrik isi hati dan jiwanya.
Dan sampai Seo Changbin hilang ditelan cahaya, Minho masih membeku ditempat.
Tiga orang lain masuk ke ruangan. Mereka mulai menangis mendapati tubuh Changbin yang sudah tidak bergerak. Lagi-lagi mereka kalah cepat dengan Lee Minho.
Tangannya menutup pelan pintu, kemudian hilang. Irisnya bertabrakan dengan milik seorang kakek yang duduk diatas kursi roda. Manik coklat muda dengan kulit putih kaukasia dan freckles cantik yang menghiasi wajahnya, mengintrupsi pergerakan Minho.
Ia tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih, tanpa suara.
Seorang manusia, baru saja melihatnya?
//
Maaf bin kamu harus jadi kakek :")
KAMU SEDANG MEMBACA
Losing Me - Lee Know
Fanfiction"Losing me is better than losing you." - Bisa diakui Lee Minho iri pada mereka yang berhasil pergi dengan pintu yang tertutup rapat. Pintunya sudah tertutup, tapi ia masih bekeliaran di luar. Ia sendiri tidak tau bagaimana mengisi kembali jiwanya y...