11. Arwah terakhir

117 21 6
                                    

Mata Hyunjin beralih ke seorang kakek yang sedang memasukkan abu hasil kremasi jasad Jisung ke dalam sebuah guci berwarna abu-abu. Kakinya yang menggantung di sisi lemari bergoyang, menimbulkan angin kecil yang meniup rambut keputihan sang kakek.

Sang kakek mendengus sebal. "Rambut sialan. Padahal aku sudah pakai penata rambut milik Jisung tapi ia tetap berantakan."

Si kakek yang duduk di kursi roda terkekeh. Tidak seperti orang tua Jisung yang sepertinya lelah mendengar omelan sang kakek. Kakek yang duduk di kursi roda menengadah ke atas lemari, kemudian kembali terkekeh. "Kau tetap terlihat tampan walaupun rambutmu berantakan, Jeongin."

Hyunjin justru semakin menggerakkan kakinya dan membuat si kakek Jeongin semakin sebal dengan angin yang meniup anak-anak rambutnya. Mendengar omelan Yang Jeongin, Hyunjin teringat ia selalu diomeli kalau tidur mengorok. Rasanya ia rindu mendengar omelan Jeongin yang tidak ada habisnya.

Ia jadi teringat dengan cerita si kakek Felix.

"Kau adalah sahabatnya sejak SD. Kalian memang sangat dekat sampai masuk kuliah kedokteran bersama dan tinggal di asrama yang sama. Hari itu, kau harus keluar untuk membeli obat demam untuk Jeongin. Kau berjanji akan kembali secepatnya, tapi kau justru menjadi korban perampokan di depan asrama.

Hari itu, lima puluh tahun yang lalu, Chan menjemputmu. Kau bilang bahwa kau masih punya janji kepada Yang Jeongin, tapi kau sendiri tidak ingat janji itu. Perasaanmu masih sesal dan Chan tidak jadi mengirimmu pergi. Ia meninggalkan nama Yang Jeongin dalam pikiranmu dengan harapan kau akan segera ingat dengan janji itu dan berhenti merasa sesal. Sudah setengah abad dan kau masih menyimpan perasaan itu, Hwang. Seharusnya kau tidak perlu merasa sesal. Jeongin memang cepat sakit, tapi ia bukan anak yang manja."

Hyunjin mengikuti langkah Jeongin ke dalam kamarnya. Kamar yang cukup luas untuk seorang kakek sepertinya. Sang kakek berjalan ke meja di sudut ruangan. Meja itu dipenuhi dengan foto, bunga, dan buku-buku kedokteran.

Tangan sang kakek terulur untuk menyentuh foto hitam-putih yang diletakkan di dalam bingkai berwarna hitam. Jarinya mengusap pelan foto yang mulai berdebu. "Dasar si Hwang bodoh. Sudah kubilang aku akan sembuh tanpa minum obat." Jeongin mengomel.

Hyunjin? Ia terkikik di belakangnya.

"Chan hyung bilang kau bisa menentukan kapan saja kau mau pergi. Aku harap kau mau pergi bersamaku saat aku mati nanti."

Hyunjin mengangguk. "Aku akan membukakan pintumu nanti. Setelah itu aku akan pergi bersamamu."

//

Tiga tahun berlalu setelah kepergian Han Jisung. Pembunuh Jisung sudah mendapatkan hukuman yang setimpal dan rasanya Felix ingin segera memberi tahu cucu Jeongin itu mengenai kabar ini. Ia masih sering kesal karena merasa dunia tidak adil. Mengapa anak ceria dan tulus seperti Han Jisung justru harus pergi lebih dulu?

Sinar dari sang fajar menyusup masuk lewat jendela. Membuat tubuhnya terlihat keemasan. Ralat, arwahnya, karena tubuhnya sudah dibungkus rapi oleh kain dan dimasukkan ke dalam peti mati. Fotonya dipajang dengan ratusan bunga putih mengelilingi peti matinya. Ada satu hal lagi yang harus ia tunggu sebelum menutup pintu.

Seorang laki-laki berumur sekitar dua puluhan masuk ke dalam ruangan. Aura gelapnya yang mengintimidasi bisa membuat bulu kuduknya meremang. Di tangannya terdapat sebuah buku hitam tebal yang sudah sering Felix lihat.

"Maaf aku terlambat," kata sang laki-laki sambil menyisir rambutnya. "Ledakkan di pabrik membuat banyak sekali arwah yang harus aku antar."

"Pekerjaan yang merepotkan." Felix terkekeh. Ia memperbaiki baju kemeja biru lautnya sebelum berdiri dari tempat duduknya. "Jadi, kau akan mengantarku sekarang, Hyung?"

"Tidak," sela seseorang dari arah belakang. "Aku yang akan mengantarmu."

Felix tersenyum. Ia menepuk pundak laki-laki berambut sebahu itu beberapa kali. "Halo, Hwang."

"Halo, kakek Felix," sahutnya dengan senyum manis di wajahnya. "Aku akan membuka pintumu kali ini."

"Kenapa?" Minho menyela. Ia menatap Hyunjin tajam seolah irisnya bisa memotong tubuh Hyunjin menjadi partikel terkecil. "Kau tidak memberiku kesempatan untuk mengantar adikku?"

"Karena Hyunjin juga akan mengantarmu, Minho."

Mereka sontak menoleh ke arah suara. Laki-laki bernama Christopher itu masuk ke ruangan. Diikuti dengan Seungmin yang mendorong si kakek Jeongin di atas kursi roda.

"Tiga tahun ini kau sudah menjadi lebih ceria, Minho. Kau mungkin tidak sadar kalau perasaan sesalmu itu sudah menguap sejak pertemuanmu dengan Felix." Chan tersenyum sebelum melanjutkan. "Setelah adikmu pergi, mungkin tidak akan ada alasan lagi untuk diam di dunia ini, 'kan?"

Minho tersenyum simpul. Ia melirik ke arah Felix yang berubah menjadi berumur dua puluhan, menjadi Felix yang ia lihat sebelum mati. Kemudian ia kembali menatap Chan. "Benar. Aku ingin mengantar adikku pada perdamaian abadi."

Chan mengangguk paham. "Kau akan mengantarnya, bersama-sama dengan jiwamu yang lelah itu." Chan maju selangkah. Ia memeluk Minho dengan erat. "Terima kasih karena sudah menjadi anak buahku yang sulit di atur."

Minho terkekeh. Setetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Ia menepuk punggung Chan beberapa kali, setelah itu melepas pelukannya dengan Chan. Ia berbalik untuk memeluk Seungmin. "Selamat atas kelulusanmu, Dokter Kim. Terima kasih atas bantuanmu selama ini."

Seungmin mengisal matanya. "Aku harap kau mendapat perdamaian abadi seperti yang selalu kau janjikan pada jiwa-jiwa yang kau antar, Hyung."

Minho mengangguk. Ia merasa geli karena Seungmin justru menangis. Ia menepuk pundak Seungmin kemudian berdiri di hadapan Hyunjin.

Pintu sudah muncul di sisi tubuhnya. Hyunjin mengisal matanya kemudian memeluk Minho. "Hyung, aku benci sekali denganmu tapi aku senang menjadi temanmu."

Minho mendengus. "Akan aku tunggu kau di sana," lanjutnya sambil melepas pelukannya.

Ia mengulurkan tangan ke arah Felix, yang langsung disambut oleh adiknya. "Ayo."

Felix mengangguk. Ia tersenyum sekali lagi lalu ikut melangkah ke dalam pintu. Begitu mereka menghilang ditelan cahaya, pintu emas juga ikut menghilang.

Minho memang butuh waktu yang lama untuk bisa menutup pintunya rapat-rapat. Ia perlu waktu lama untuk menghilangkan perasaan sesal dalam dirinya. Perjalanannya usai sampai di sini. Seperti janji yang selalu ia lontarkan pada berjuta-juta jiwa yang telah ia antar, Minho akan menuju pada perdamaian abadi dan pergi ke tempat di mana seluruh penduduk bumi beristirahat setelah memenangkan perang bernama 'kehidupan'.

//
End

Halo. Kalian masih di sini? Ini adalah akhir dari perjalanan kita dalam dunia imajinasiku kali ini. Semoga dalam perjalanan ini, kalian mendapat banyak pengalaman baru. Aku akan sangat senang jika kalian meninggalkan pesan tentang perjalanan kita kali ini. Oh, ya, destinasi dalam dunia imajinasiku masih banyak, loh. Jika kalian tertarik, jangan lupa ikuti aku ke destinasi berikutnya. Cerita tentang jiwa yang hidup tanpa raga ini, telah usai sampai di sini. Sampai bertemu lagi!

Losing Me - Lee KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang