Auranya yang mengintimidasi cukup membuat semua orang disana menaruh antensi padanya. Sedangkan si empu, hanya tersenyum tipis. Tipis sekali, tapi cukup membuat lesung pipit dikedua sudut bibirnya tercetak jelas.
"Saya mau bertemu dengan Prof. Lee," katanya ramah pada seseorang yang berdiri diambang pintu.
Seseorang itu tersenyum. "Ah, sepertinya anda Christopher Bang? Perkenalkan saya Jung Wooyoung."
"Ah." Chan menepuk tangannya sekali. Ia ingat Changbin, Felix dan Jeongin dirawat oleh seorang perawat berumur sekitar dua puluh tahun. "Kau Wooyoung rupanya. Bisa saya bertemu dengan Prof?"
Wooyoung tersenyum manis sebelum mempersilahkan Chan masuk ke ruangan.
Netranya langsung tertuju pada seorang kakek yang duduk diatas kursi roda. Si kakek hanya menatap kosong peti mati yang dihiasi bunga berwarna putih. Disampingnya terdapat gambar beku, potret seorang yang begitu Chan kenali.
Pada akhirnya, semua akan pergi meninggalkan Chan.
"Felix."
Si kakek menoleh. "Ah, Chris hyung."
Chan terkikik sambil menarik kursi untuk duduk disamping Felix. "Lucu sekali seorang kakek memanggilku, Hyung."
"Kau yang lucu, Hyung. Bagaimana bisa kau sendiri yang tidak menua. Lihat aku dan Jeongin, bahkan kita sudah osteoporosis."
Candaan Felix berhasil membuat Chan tertawa renyah. Si kakek ada benarnya. "Aku turut berduka atas kepergian Changbin."
Felix menghela nafas. Tangannya yang gemetar terangkat untuk mengisal matanya yang berair. "Aku tidak tau bagaimana aku bisa hidup tanpanya, Hyung."
Chan menepuk pundak sang kakek beberapa kali. Pundak yang sudah lelah menanggung beban kehidupan, kini harus bertambah berat karena kehilangan. "Prof. Seo sudah banyak membantuku. Maka untuk sisa hidupmu dan Jeongin, biar aku yang bertanggung jawab."
Percakapan mereka terpaksa berhenti karena satu orang lain masuk ke ruangan. Umurnya tidak jauh berbeda dengan Felix, mungkin lebih muda satu atau dua tahun. Tapi tubuhnya jauh lebih kuat dan berisi daripada tubuh kurus milik Lee Felix.
"Selamat siang, dokter Yang." sahut Chan ramah.
"Aigoo, si manusia setengah hantu."
Chan hanya terkikik sambil mempersilahkan si kakek itu duduk disampingnya. "Bagaimana kabarmu, Jeong?"
"Yah, begitulah. Apa yang kau harapkan dari seorang kakek berumur 70 tahun, huh?"
"Kesehatanmu, tentu saja. Kau biasanya yang paling nyinyir kalau aku minum alkohol," sahut Chan sambil merangkul tubuh renta itu. "Aku harap kalian selalu sehat."
Jeongin hanya mengangguk malas. Dari dulu Chan tidak pernah berubah. Tetap saja aneh dan nyentrik dimata Jeongin. Lagipula, Chan memang tidak berubah sama sekali. Jeongin harap kalian mengerti, Chan itu hidup abadi di dunia ini.
"Bagaimana keadaannya, Hyung?" Prof. Lee kembali angkat bicara.
Chan menoleh untuk menatap wajah manis penuh freckles itu. Langsung mengerti arah pembicaraan Felix, Chan tersenyum. "Seperti biasa. Dia seolah siap mengirim siapa saja yang dilihatnya ke alam baka."
Chan menoleh ke arah Jeongin. "Keadaan Hyunjin juga baik. Anak itu masih gila, seperti biasa."
Dokter Yang hanya terkikik. "Masih saja kau merawat makhluk aneh seperti si Hwang."
Chan tersenyum simpul, "Aku mulai membuka pikiran mereka perlahan. Karena aku tau, waktu kalian juga tidak banyak."
//
"Apa-apaan ini, Minho sialan?"
Ditatapnya seonggok arwah penasaran yang berdiri dekat tempat tidurnya. Pipinya yang besar terangkat hingga membuat matanya menyipit.
"Minho bilang tidak ada tempat di kamarnya, jadi aku disuruh kesini."
Pemuda Hwang itu menendang udara sebagai tanda bahwa ia frustasi luar biasa. Ia baru saja tidur dua jam yang lalu, sekarang harus diganggu dengan kehadiran si hantu. Jangan bercanda.
"Kenapa Minho tidak mengirimu, huh?" tanya Hyunjin sambil mendudukkan dirinya di pinggir kasur.
Si hantu kecil ikut duduk di pinggir kasur Hyunjin, "Lelaki itu- siapa- Christopher bilang akan mencari tau penyebab kematianku."
"Memangnya kau kenapa?"
Jisung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Seingatku aku sedang di studio, beberes akan pulang karena akan bertemu kakekku. Tapi seseorang mencekikku lalu- aku tidak ingat apa-apa lagi."
Hyunjin menyisir surai hitamnya yang memanjang, "Lalu?"
Bibir Jisung mengkerut lucu. "Aku terbangun dipinggir sungai Bukhan dengan tali di leherku."
"Kau yakin kau tidak bunuh diri? Pikiran manusia akan sangat abstrak ketika ia akan mati."
Jisung mengangguk yakin. "Aku berjanji pulang karena akan menemui kakekku. Huh, pasti si tua Jeongin akan sangat kecewa."
"Tunggu- siapa?"
Jisung menatap Hyunjin heran. Maniknya berusaha menyelami manik coklat muda milik si malaikat maut. "Dokter Yang Jeongin, seorang orthopedi. Kau tau dia? Dia memang terkenal sih, jadi-"
"Yang Jeongin?
Kau bilang- Yang Jeongin?"
//
Xixixixi Felix sama Jeongin juga udah tua :(
Kenapa? Akan ada jawabannya di next chapter. See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Losing Me - Lee Know
Fanfiction"Losing me is better than losing you." - Bisa diakui Lee Minho iri pada mereka yang berhasil pergi dengan pintu yang tertutup rapat. Pintunya sudah tertutup, tapi ia masih bekeliaran di luar. Ia sendiri tidak tau bagaimana mengisi kembali jiwanya y...