O9. Kebenaran

65 19 0
                                    

Minho membuka mata. Ia mendapati dirinya berada di sebuah rumah tua yang terlihat familier untuknya. Ruangan ini adalah kamar tidur yang tidak terlalu luas, juga tidak terlalu kecil. Ada satu kasur berukuran sedang di sudut ruangan. Kemudian satu lemari kecil yang terbuat dari kayu di hadapannya. Satu meja belajar kecil bersebrangan dari kasur itu.

Minho menghela nafas. Jarinya menyapu meja belajar yang terlihat sedikit berdebu. Sebuah gambaran-gambaran abstrak terputar dalam pikirannya. Ruangan ini sungguh tidak asing. Ada sebuah foto hitam putih yang dibingkai dengan bingkai kayu. Memperlihatkan dua orang laki-laki tersenyum ke arah kamera sambil tersenyum. Minho tersenyum simpul. Sebuah foto yang cukup membuat gambaran abstrak dalam kepalanya tertata rapi.

Jarinya terangkat untuk mengelus potret itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jarinya terangkat untuk mengelus potret itu. Hatinya semakin menghangat karena senyuman kedua laki-laki itu. Tapi Minho masih belum tahu, apa hubungan laki-laki yang berdiri di sampingnya ini. Saking fokusnya menatap gambar beku itu, ia tidak menyadari seorang kakek baru saja masuk ke ruangan.

"Untung saja aku tidak punya penyakit jantung. Kalau Jeongin yang melihatmu, mungkin ia akan mati berdiri."

Minho menoleh ke arah suara, mendapat seorang kakek berumur tujuh puluhan duduk di atas kursi roda. Ia ingat kakek ini memang bisa melihatnya saat ia mengantar arwah Changbin ke alam baka. Jadi Minho tidak terlalu kaget. "Anda indigo?"

"Tidak," sahut si kakek. Ia dengan pelan memindahkan dirinya dari kursi roda ke atas kasur. "Aku hanya bisa melihat satu makhluk astral ini."

Minho membalik badan menghadap sang kakek. Ia bersandar pada meja belajar. "Aku?"

"Mm," sahut si kakek. Ia menyugar rambutnya yang sudah memutih ke belakang kepala. Butiran-butiran freckles di bawah matanya terlihat jelas karena pantulan cahaya remang dari lampu di nakas. "Kau akhirnya berkunjung, hyung."

"Hyung?" Minho mengerutkan kening. "Siapa Anda sebenarnya?"

Si kakek terkekeh. "Aku Lee Felix. Sepertinya Chris ingin kau mencari tahu sendiri, ya?"

Minho mendengus mendengar nama Chris disebut-sebut, tapi ia lebih penasaran dengan Lee Felix, si kakek tujuh puluh tahun ini. "Dari mana kau kenal aku?"

Felix menggeser tubuh. Ia menarik beberapa lembar kertas foto dari bawah bantal, kemudian menyerahkannya ke arah Minho.

Minho langsung menerima lembaran foto itu. Foto pertama menunjukan seorang tentara yang sedang hormat ke arah kamera. Wajahnya tidak terlalu jelas karena topi menghalangi cahaya dan kualitas foto yang kurang bagus. Di bawah foto tertulis, 'Lee Minho, tentara yang baik hati.'

Foto kedua adalah foto seorang wanita berumur empat puluhan dan si kakek Felix merangkul sang wanita. Di bawah fotonya tertulis, 'diambil oleh Minho, saat kelulusan Felix.'

Kemudian foto ketiga adalah foto wanita tadi dengan seorang tentara di foto pertama, bedanya kali ini sang tentara hanya memakai pakaian yang lebih santai. Wajahnya terlihat jelas. Di bawahnya tertulis, 'Diambil oleh Felix, potret Minho dan Ibu.'

Minho menghela nafas setelah membaca kalimat itu. Ia memejamkan mata dan air matanya mengalir dari pelupuk matanya. Semua potongan gambar abstrak seolah membentuk sebuah gambaran yang jelas sekarang. Ia ingat semuanya. Ia ingat siapa Felix, siapa dirinya, dan apa yang ia perbuat sebelum mati.

"Sepertinya Chris sudah membuka pikiranmu." Felix menimpali. Masih dengan senyuman sehangat matahari, ia melanjutkan. "Aku adikmu, Hyung. Terima kasih karena sudah menyelamatkan aku dan Ibu."

"Setengah abad ini, kau bisa melihatku?"

Felix mengangguk. "Aku bisa melihatmu di mana pun. Aku bisa melihatmu di pinggir sungai Bukhan. Lalu di rumah sakit. Lalu di kuburan. Lalu di jalanan. Aku bisa melihatmu, Hyung. Tapi aku tidak bisa menyentuhmu."

Air mata Minho masih mengalir deras dari pelupuk matanya. "Kenapa? Kenapa kau tidak menemuiku lebih awal?"

"Chris tidak mengizinkan. Ia mau kau tersenyum barang sedetik saja." Felix mencondongkan badan. "Hyung, kau tidak membuat dosa apapun."

"Maksudmu?"

"Kau bertengkar dengan Ayah karena Ayah selalu menyiksa kita. Sebelum kejadian itu, kau memang menangkap basah Ayah memukul Ibu. Aku tahu kau ingin melindungi aku dan Ibu. Hari dimana kau mati, sebenarnya Ayahlah yang membunuhmu. Ia menenggelamkanmu di Sungai Bukhan.

Kemudian Ayah mati karena kehabisan darah selama perjalanan ke rumah. Selama ini kau salah, Hyung. Kau tidak melakukan dosa apapun. Justru Ayahlah yang berbuat dosa."

Minho masih bergeming. Ia menunduk untuk menatap lembaran foto hitam-putih usang itu.

"Kenapa kau melakukannya, hyung? Kenapa kau harus mati lebih dulu?"

Minho menarik sudut bibirnya. "Losing me is better than losing you."

//

Losing Me - Lee KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang