Keesokkan harinya Kyungsoo bersikeras ingin berangkat sekolah padahal dirinya terserang demam. Tak peduli dengan rasa pusing yang terus menjalar di kepalanya Kyungsoo beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap. Kai sudah lelah membujuk Kyungsoo supaya menurut dan istirahat di panti saja.
“Kau sakit Kyung. Jangan paksakan dirimu,”
“Aniya Kai. Aku baik-baik saja,” elak Kyungsoo.
“Baik? Badanmu panas Kyung. Astaga kau harus istirahat,” ucap Kai geram.
“Gwenchana.” Kyungsoo melinguk kesana kemari mencari kunci motornya.
“Dimana kunci motorku?” Kai menghela nafas pelan, ia menunjukkan kunci motor yang ada di genggamannya. Baru saja Kyungsoo akan mengambilnya, Kai menariknya kembali.
“Kita pergi naik bus saja,” ucap Kai. Kyungsoo tersenyum kikuk.
“Tapi aku tidak pernah naik bus,”
“Aku tidak akan membiarkanmu mengendarai motor dengan kondisi sakit seperti ini. Kita sarapan sekarang setelah itu baru berangkat. Nanti pas di sekolah ke UKS saja kalau tidak kuat, aku akan mengantarmu,” jelas Kai lantas berbalik meninggalkan Kyungsoo yang terpaku. Ia tak menyangka akan mendapat omelan begitu panjang hanya karena memaksakan diri. Jujur Kyungsoo rindu, ia terbiasa merawat dirinya sendiri selama ini. Sakit pun tak ia hiraukan, karena memang tak ada yang menghiraukannya. Sekali lagi Kyungsoo mematut diri di depan cermin, bibir pucatnya begitu kentara.
“Gwenchana. Fighting Kyungsoo,” seru Kyungsoo menyemangati diri sendiri. Ia keluar kamar dan menuju ruang makan. Disana sudah ramai dengan celoteh anak-anak.
“Selamat pagi Kyungsoo,” sapa ibu panti. Kyungsoo tersenyum mengangguk. Ia membantu ibu panti menyiapkan makanan.
“Ibu, apa ibu punya obat penurun panas?” tanya Kai yang ikut membantu.
“Sepertinya masih ada. Kau sakit?”
“Aniya ibu. Kyungsoo yang sakit,”
“Aigoo. Benarkah?” Ibu panti menyentuh kening Kyungsoo. Dapat ia rasakan panas yang menyengat.
“Demammu tinggi. Istirahat saja ya.” Kyungsoo menggeleng pelan.
“Biarkan saja ibu, dia memang keras kepala. Aku akan menjaganya nanti di sekolah,”
“Arraseo. Makanlah dulu.”
Kyungsoo jadi tidak enak karena merepotkan Kai. Tapi ia senang karena mendapat perhatian. Sudah lama dirinya tidak merasakan sentuhan hangat dari seorang ibu. Ia bahkan tidak tau ibu kandungnya seperti apa. Kyungsoo hanya sebatas tau ia bukan putra kandung Irene dan ibunya bernama Kim Jisoo. Mengingat hal itu selalu saja membuat hati Kyungsoo kembali sakit dan memaksa air matanya untuk turun. Kyungsoo menepis perasaannya sesaat, ia menuntaskan makanannya lantas meminum obat yang diberikan ibu panti.“Ini.” Kai menyodorkan masker hitam dan topi pada Kyungsoo.
“Untuk apa?” tanya Kyungsoo bingung.
“Kau lupa? Kau itu orang yang berpengaruh Kyungsoo. Kau anak dari Tuan Kim. Jadi, aku tidak mau mengambil risiko jika seseorang melihatmu naik bus. Kau harus lebih berhati-hati Kyung,”
“Astaga, kau berlebihan Kai.” Kyungsoo tertawa renyah.
‘Untuk apa aku melakukan itu. Aku tidak dianggap sebagai anak. Aku hanya pengganti sampai kakakku kembali,’ batin Kyungsoo menjerit. Ia segera memasang topi dan maskernya.
Mata bulat itu bergerak mengikuti kendaraan yang melaju di depan halte bus. Sesekali menghitung berapa kendaraan yang sudah lewat sampai ia pusing sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu ✔
أدب الهواةPernahkah kau merindukan seseorang sebanyak tetesan air hujan yang jatuh ke bumi? Atau mungkin lebih daripada itu. Rasanya begitu berat, aku tidak bisa menemukannya. Sudah ku cari ke setiap tempat, tapi dirinya tak kunjung terlihat. Langkah kecilku...