Alvin dan Nabila sedang berada di dalam pesawat, mereka akan berlibur ke Maldev. Mereka pergi ke sana berkat tiket hadiah pernikahan salah seorang kolega Alvin.
"Nanti kita tidur sekamar?"
"Iya, kenapa?" Alvin merasa Nabila keberatan tidur sekamar dengannya.
"Kenapa kata lo? Gue nggak sudi." Nabila tak mau selama seminggu tinggal berdekatan dengan Alvin.
"Tiket ini sudah sepaket dengan cottage." Alvin menerangkan dengan sabar. Koleganya memang sudah memesankan cottage yang paling mewah dan privat untuknya.
"Gue mau sewa hotel sendiri." Nabila berkeras tak mau sekamar dengan Alvin.
"Terserah, cari aja kalau dapat. Asal kamu tau. Di bulan seperti ini seluruh hotel full booked. Kalau bukan karena kolegaku yang udah pesan jauh-jauh hari, kita nggak akan dapat tiket ini." Alvin memakai kacamata hitamnya, ia berniat untuk tidur daripada berdebat dengan Nabila.
"Gue nggak mau dikurung selama seminggu sama lo di sana. Yang ada lo ngapa-ngapain gue."
"Kepedean."
"Bisa aja lo khilaf kayak tadi pagi."
"Aku ngapain kamu?"
Alvin tak terima dituduh macam-macam oleh Nabila. Lagipula memangnya kenapa kalau ia macam-macam? Toh dia sudah berstatus suami Nabila.
Bahkan demi membayar mas kawin untuk Nabila ia terpaksa kehilangan separuh asetnya. Papanya bersikeras ia harus memberi mas kawin dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Sialnya mas kawin yang diminta Nabila adalah sebuah mobil sport keluaran terbaru, berserta apartemen yang terletak di pusat kota, serta deposite senilai ribuan dollar. Belum lagi cincin berlian yang entah dikemanakan oleh Nabila.
"Mana gue tau, gue 'kan nggak sadar." Nabila mencoba mengelak.
"Justru kamu yang ngapa-ngapain aku." Alvin kesal karena Nabila menuduhnya tanpa bukti.
"Nggak mungkin."
"Liat ini baik-baik!" Alvin mendekatkan wajahnya, Nabila merasa gugup. Beda dengan saat tadi pagi, ia yang memegang kendali.
Tanpa sadar Nabila mengabsen seluruh wajah Alvin, matanya, hidungnya, alisnya ... semuanya serba sempurna dan presisi. Yah, Alvin memang pria yang tidak bisa dibilang jelek. Kalau mereka bertemu bukan karena perjodohan, mungkin ia akan dengan sukarela mencintai Alvin.
Tapi demi gengsinya kepada sang papa, dan ... Ah, sudahlah. Ia tak seharusnya tertarik pada Alvin. Lagipula enam bulan lagi Alvin akan menceraikannya.
Alvin risih melihat Nabila yang dari tadi memandangi wajahnya tanpa berkedip. Posisi mereka saat ini sangat dekat.
Untung saja mereka ada di kelas bisnis, hingga mereka tak perlu malu jika ada yang memergoki. Alvin berdehem untuk menyadarkan Nabila.
"Kok jadi mupeng?" sindir Alvin.
"Ish, pede lo." Nabila pura-pura memeriksa pipi Alvin. Bagaimanapun ia seorang dokter. Nalurinya secara tak langsung mengkhawatirkan keadaan Alvin.
"Kenapa? Kok merah, sih?"
"Pake nanya, kena kaki kamu lah."
"Nggak mungkin. Tapi bagus juga lo dapat tendangan dari sorga, gue 'kan calon ibu juga, kaki gue ada sorganya." Nabila cengengesan memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Calon ibu, ya?" sindir Alvin.
"Iya, tapi bukan dari anak lo."
"Kita lihat saja nanti."
Suasana hening sesaat, baik Alvin dan Nabila larut dengan pikiran masing-masing.
"Kenapa kamu jadi dokter?"
Alvin mulai membuka percakapan, ia merasa perlu mengetahui segala sesuatu tentang istrinya.
"Kalau gue nggak jadi dokter terus gue jadi apa? Jadi jamet?"
"Kan banyak profesi lain? Model mungkin?" Alvin telah mengamati penampilan Nabila, gadis itu sangat layak untuk menjadi model. Wajahnya cantik, tubuhnya proposional. Tanpa terasa Alvin memuji penampilan Nabila dalam hati.
"Mama gue dokter, papa gue dokter, nenek kakek gue dokter, abang gue semua dokter, gue rasa moyang gue juga dokter. Terus lo pikir mereka bakal ngijinin gue jadi model?"
"Profesi dokter juga mulia, selain dapat uang kamu juga dapat pahala, kan menolong orang." Alvin tersenyum dengan tulus, seolah sedang memberi motivasi untuk istrinya.
"Lo belum pernah dituntut keluarga pasien karena malpraktek, sih. Enteng aja lo ngomong."
"Papa bilang, taun ini kamu mau ngambil spesialis?" Alvin teringat percakapannya dengan sang papa mertua tempo hari. Sang mertua menginginkan Nabila mengambil spesialis bedah plastik. Hanya jurusan itu yang belum ada di keluarga mereka.
"Gue nggak mau, dokter umum aja cukup."
"Kenapa?" Alvin bertanya sambil mengerutkan dahinya, tapi di mata Nabila tak sedikitpun mengurangi kadar ketampanannya.
"Gue nggak mau nyusahin papa gue lagi."
"Terserah, padahal sudah aku buatkan rekening pendidikan buat kamu."
"Oh, ya? Maksudnya lo yang bakal biayai kuliah kedokteran gue?" tanya Nabila takjub.
"Iya, kamu 'kan istri aku?"
"Lo tau nggak berapa lama ngambil spesialis? Empat tahun!Kalau kita tiba-tiba cerai, siapa yang bakal biayain gue?"
"Kamu kenapa sih selalu berpikir tentang perceraian? Kita bahkan dalam perjalanan bulan madu." Alvin berkata dengan sabar.
Alvin mempertanyakan alasan Nabila yang selalu ingin bercerai darinya. Apa yang kurang darinya? Tampang? Harta? Kedudukan? Semua ada dalam genggamannya. Tapi entah mengapa semua itu seolah tak berarti di hadapan seorang Nabila.
"Jadi lo berniat selamanya mempertahankan pernikahan ini?" tanya Nabila heran.
"Kalau bisa, kenapa nggak?" Alvin tersenyum tampan, sangat tampan di mata Nabila. Membuat Nabila terhipnotis.
"Tapi kita 'kan nggak saling mencintai?"
"Belum, belum saling mencintai." Alvin menatap Nabila dengan pandangan tajam, membuat dada Nabila berdebar seenak udelnya.
***
Part selanjutnya bisa dibaca di Dream, nama akun tetap sama oryzasativa86. Masih gratis kok. Makasih😘
![](https://img.wattpad.com/cover/267341962-288-k754729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan kampret 2
HumorIni adalah kisah Alvin setelah menikah, siapa sangka ia mendapat istri yang diluar ekspektasi, ada baiknya baca Mantan Kampret 1 dulu biar ngeh ...