Part 11 : Escape (2)

1.7K 291 35
                                    


Keduanya meninggalkan penginapan Bunga sebelum tengah hari, setelah sesi minum dan sarapan yang penuh perdebatan tentang bagaimana mereka akan menemukan rumah Cao Weining.

Bagi Wen Kexing tentu saja itu sangat sederhana, dia tinggal bertanya pada pemilik penginapan dan satu dua orang pengunjung untuk memastikan. Menemukan alamat Cao Weining bukanlah hal yang terlalu sulit. Keluarga itu merupakan petani yang terkenal dengan hasil buminya.

Ketika mereka berjalan menyusuri jalan setapak ditumbuhi rerumputan lembut yang menyentuh kaki mereka, Wen Kexing bergegas dan kakinya bergerak lebih cepat ke depan. Kepalanya jernih sejernih langit siang dengan hanya satu pikiran melayang-layang di dalamnya.

Bertahan hidup.

Hal terpenting bagi Wen Kexing adalah bertahan hidup sehingga dia bisa melindungi Ah Xu dan menyaksikan pemuda itu berproses menjadi manusia yang sempurna.

Tapi saat ini ia tahu bahwa peluangnya tidak terlalu bagus karena sekawanan penjudi sedang mengejar.

Pemuda itu melirik Ah Xu. Dia terlihat cukup serius dan tidak banyak bicara. Hanya mengikuti langkah Wen Kexing dengan patuh. Dia tidak bertanya lagi mengapa mereka harus pergi, mengapa ada orang yang membakar rumah Wen Kexing, dan mengapa dia harus ikut menanggung kesengsaraan pelarian ini. Ah xu bahkan tidak mempermasalahkan apa pun.

Dia terlihat cukup puas hanya dengan melihat Wen Kexing hidup dan masih bisa bicara serampangan.

Diam-diam, hati Wen Kexing terasa perih.

Kebodohannya selalu saja membawa masalah dan kesialan.

Dia mengeratkan pegangannya di tangan Ah Xu.

Jalan itu mulai menanjak dan mereka mulai melihat ladang-ladang dan terasering yang luas menghijau, warnanya cemerlang pada siang hari yang cerah.

Setelah melintasi satu kebun lagi, mereka tiba di sebuah area pemukiman yang lebih tenang, jarak rumah-rumah berjauhan satu dengan lainnya. Beberapa kuda berlintasan membawa beban di punggung mereka. Suara binatang ternak berdengung dari kejauhan.

"Sepertinya kita sudah hampir sampai di tujuan. Ternyata rumah Weining tidak sejauh yang kukira. Jalanan memutar membuat jaraknya semakin panjang," gumam Wen Kexing, mulutnya mulai menyunggingkan senyuman setelah sekian menit mengerutkan kening.

"Kita jadi repot karena berjalan kaki. Seandainya bisa naik kereta kuda, atau bisa terbang, akan lebih singkat dan sederhana," sahut Ah Xu.

Wen Kexing mengerling malas.
"Jangan aneh-aneh. Kau pikir aku burung, atau pendekar sakti yang bisa terbang?"

Ah Xu mencibir.

"Kita sudah berjalan selama lima belas menit, mengapa tidak beristirahat dulu? Desa ini tidak jauh dari tepi sungai, kita bisa duduk di sana dan merendam kaki di air yang sejuk," Ah Xu menyarankan.

Wen Kexing menggeleng tidak setuju. Dia malah semakin mempercepat langkahnya.

"Sudahlah. Tidak perlu beristirahat lagi. Aku bahkan sudah bisa melihat atap rumah bagus di kejauhan, itu pasti rumah Cao Weining."

"Tapi aku sedikit lelah," Ah Xu merajuk.

"Itu alasanmu saja. Kau hanya ingin bermesraan denganku di tepi sungai dan menikmati suasana yang romantis, betul kan?" Wen Kexing terkekeh. Sejurus kemudian bahunya terhuyung karena didorong Ah Xu.

"Bicara seenaknya," gerutu Ah Xu.

Wen Kexing mengerutkan mulutnya.

"Sebentar lagi, di rumah Weining kita bisa menemukan tempat istirahat yang lebih nyaman. Dan kau bisa menyelinap di lenganku lagi seperti biasanya."

The Bride At Suzaku Gate (Word of Honor) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang