6 : 1

43 15 0
                                    

“Kenyamanan merupakan hal yang wajib diprioritaskan, karena tak selamanya visual menjadi patokan dari sebuah hubungan.”

Chapter 6: Hypocritical Love (1)

****

SMA Bagawanta, 04 September

Jarum jam tepat menunjukkan pukul 14.00. Rena, pemilik jam tangan itu melepaskan arlojinya yang mendadak terasa sangat lengket di pergelangan. Maklum saja, cuaca siang ini sangat panas hingga mayoritas pori-pori kulitnya mengeluarkan keringat. "Ah masih kurang satu jam lagi. Lama banget sih!" keluh Rena yang sedari tadi menunggu bus yang biasa ditumpanginya yang tak kunjung datang. Tangannya beralih menghapus bulir-bulir keringat yang mulai beranak-pinak di pelipis.

Dipandangnya gerbang SMA Bagawanta yang tak jauh dari halte yang kini ia tempati. Sepi. Hanya terlihat daun-daun kering yang sedang menari di udara sebab terpaan angin. Tak ada deru mesin mobil guru yang berlalu-lalang ataupun suara canda tawa murid-murid SMA Bagawanta yang baru keluar dari gerbang sebab mengingat hari ini siswa-siswi dipulangkan lebih awal karena sebagian besar guru SMA Bagawanta menghadiri rapat di pusat kota.

"Coba aja kalo tadi gue nerima ajakan Inka pulang bareng, pasti sekarang gue udah sampai di rumah," gerutu Rena sambil mengingat ajakan pulang bersama dari sahabat yang dikenalnya sewaktu MPLS.

Lagi-lagi Rena melihat jarum jam tangan untuk kesekian kalinya. Mulutnya tak berhenti menggerutu. Mengapa ia tadi dengan mudah menolak ajakan Inka untuk pulang bersama? Tanpa diduga, dirinya justru lebih memilih mencari buku baru dan tentunya menghabiskan waktu 'tuk hanyut di lautan kata bersama Bima di perpustakaan. Komik, novel, cerpen hingga buku ensiklopedia yang ketebalannya dapat menimbulkan aura rajin kepada siapa saja yang membawanya, juga tak luput dari nafsu baca Rena. Jika mengenai sastra sangat mustahil Rena bisa menolaknya.

Alhasil, sekarang dirinya terpaksa menerima buah dari hobinya itu. Menunggu bus di tengah teriknya sang mentari dengan kerongkongan yang kering kerontang memberikan efek jera tersendiri. Entah sudah berapa kali dirinya melihat beberapa taksi yang melintas di depan mata. Namun, tetap saja Rena tidak tertarik untuk menaiki atau bahkan memberhentikannya sekalipun. Prinsip pelit berkedok hemat pada diri sendiri masih mengalir deras di jiwanya. Sebenarnya Rena mampu membayar ongkos taksi, bahkan sangat mampu mengingat dirinya berasal dari keluarga yang bisa dibilang 'cukup kaya'.

Akan tetapi, bagi Rena jika ada yang lebih murah mengapa pilih yang mahal. Andai saja dirinya tadi pulang bersama Inka, pasti dirinya bisa patungan untuk membayar ongkos taksi daripada harus menunggu bus yang datang pukul 15.00 nanti.

Tiba-tiba pikirannya terlintas satu nama. Arion. Itulah nama dari seseorang yang sangat ia kagumi di tengah sekian banyaknya orang yang mencaci.

Setahun sudah mereka menjalin hubungan dan nyatanya sekarang masih terasa seperti mimpi bagi Rena. Ia bagaikan seorang putri yang sedang terlelap kemudian bermimpi tentang keberhasilannya dalam meluluhkan hati pangeran dari kerajaan hitam. Mengapa pangeran dari kerajaan hitam? Karena Arion terkenal dengan segala sifatnya yang jauh dari kata baik, layaknya seperti seorang pangeran dari kerajaan hitam yang membuat siapa saja enggan untuk mendekatinya.

Terlepas dari semua itu, Rena menganggap Arion layaknya seperti manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan. Kontra bertebaran saat berita dirinya dan Arion mulai menjalin hubungan. Cacian, hinaan, bahkan makian pun tak lepas dari telinga Rena sejak hari itu. Namun apa daya, rasa Rena ke Arion jauh lebih besar daripada mulut yang berkoar-koar di luar sana. Rasa itu masih sama dengan rasa yang tumbuh sejak dirinya duduk di bangku satu SMP.  Bedanya kini Rena berhasil merengkuhnya tanpa kesulitan menggapainya seperti dulu. It's a sweet dream.

SPARGITORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang