1. Life is Tiring

7 1 0
                                    

Tanganku bergetar ketika mencari kontak sahabatku. Satu tanganku mengepal dengan kuat menahan amarah yang hendak meledak. Walaupun ragu, aku tetap menghubungi kontak yang ditampilkan oleh layar persegi panjang di tanganku.

Dering panggilan terdengar saat aku menempelkan ponsel ke samping telinga. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya panggilan itu dijawab.

"Kenapa, Cinta?" jawab Gita sahabatku dengan ceria seperti biasanya.

"Di mana, Git?"

"Di rumah. Kenapa?"

"Boleh aku nginap?" suaraku mulai bergetar, semoga saja dia tidak menyadarinya. Air mata sudah terlebih dahulu menetes di pipiku.

"Em— gimana ya, Del? Sepupuku yang dari Bandung dateng. Jadi dia mau tidur bareng aku." Aku yakin itu cuma alasannya saja.

"Ya sudah." Langsung kututup telepon itu tanpa menunggu dia membalas lagi. Aku tidak benar-benar ingin menginap di rumahnya.

Mataku tidak pernah lepas dari mobil yang berhenti di depan rumah Gita. Dua orang dalam mobil itu bahkan tidak menyadari kehadiranku yang sedang duduk di pangkalan ojek—yang kini telah sepi—tak jauh dari tempat mereka.

Kaca mobil yang bening membuatku harus menyaksikan adegan yang tidak seharusnya aku lihat. Di bawah lampu jalan berwarna putih yang menerangi mobil Avansa putih itu, sahabatku berciuman. Bukan masalah ciuman di dalam mobil, yang kata para orang tua bukan budaya kita, tetapi dengan siapa dia melakukannya.

Pacarku!

Huruf dan angka pada plat hitam mobil sangat aku hapal. Mataku juga masih sangat bagus untuk mengenali plat mobil itu. Tidak salah lagi, aku yakin itu mobil Yoga, pacarku.

Sialan! Aku dibodohi oleh dua orang yang aku sayangi.

Yoga bahkan memberikan Gita ciuman yang tidak pernah dia berikan padaku. Ah! Pelukan saja tidak diberikan oleh si brengsek itu padaku. Jaket di tengah malam saat aku hanya menggunakan kaos pun tidak di berikannya.

Sekarang aku mengerti kenapa dia tidak pernah melakukan hal yang manis terhadapku selain mengantarku pulang dari pekerjaan paruh waktuku. Aku pun tertawa miris.

Tidak lama kemudian, keduanya turun dari mobil. Aku telah berharap mereka berdua akan menyadari kehadiranku. Nyatanya tidak! Mereka berdua masuk ke dalam rumah Gita sambil berpelukan mesra. Dan ya, apa lagi yang akan dilakukan cowok dan cewek di dalam sana? Aku tidak ingin membayangkannya.

Air mata yang sejak tadi kutahan, kini mengalir dengan bebas. Dari semua gadis di Indonesia, kenapa harus Gita? Kenapa harus sahabatku? Kenapa aku sangat menyedihkan?

Tidak pernah aku membayangkan diriku akan dibodohi seperti ini. Kubiarkan air mata terus mengalir dan ingus yang mulai ikut keluar. Aku tidak peduli! Toh tidak ada yang melihatku di kondisi mengerikan ini.

Cukup lama aku menangis, tapi tidak ada tanda-tanda Yoga atau Gita keluar dari rumah itu. Sudah pasti Gita sedang meracau karena sentuhan Yoga. Sialan! Padahal aku sudah bilang untuk tidak membayangkannya.

Lelah menangis, aku memilih untuk segera kembali ke indekos setelah mengelap air mata dan ingus dari wajahku dengan kaos. Tidak ada gunanya aku berdiam di pangkalan ojek yang dingin ini.

***

Keraguan menerpaku untuk masuk ke dalam rumah dua tingkat yang menjadi tempatku beristirahat. Pasalnya, Ibu Kos sedang duduk di teras, mungkin sedang menikmati secangkir susu hangat agar tulangnya kuat. Aku pernah mendengar Ibu Kos mengeluh pada tetangga kalau tulang-tulangnya sering sakit.

Sudah dua bulan aku menunggak bayaran uang sewa kos. Aku lelah menjawab hal yang sama, "Maaf, Bu! Belum dikirimin uang sama Bapak dan Ibu di kampung."

Aku lelah juga mendengar Ibu Kos yang terus melemparkan pertanyaan yang sama, "Adel! Kapan kamu bayar kos?"

Selalu jua seperti ini, Ibu dan Bapak akan memberi alasan belum punya uang ketika aku menanyakan perihal uang kos. Mereka juga menyuruhku agar bersabar.

Pernah aku menyatakan kalau aku ingin berhenti kuliah. Beasiswa yang aku terima hanya menutupi uang kuliah tunggal dan makan—dengan catatan harus super hemat, terkadang aku cuma makan mi instan, atau mengubah setengah mangkuk beras menjadi bubur agar lebih hemat.

Apalagi adik perempuanku sudah kelas 12, jika dia kuliah nanti, Bapak dan Ibu—yang hanyalah seorang buruh harian dan tukang cuci—harus bekerja ekstra mencari uang untuk kami.

Tapi yang aku terima hanyalah omelan. Mereka menentangku untuk berhenti kuliah. Katanya aku sudah semester empat, sudah setengah jalan, sebentar lagi selesai. Jangan sampai aku menyia-nyiakan waktu dan tenaga yang sudah aku habiskan.

Apanya yang sebentar lagi selesai? Aku masih harus melewati magang, KKN, dan skripsi yang belum pasti pula bisa kuambil di semester delapan nanti.

Akhirnya aku mendengarkan omongan bapak dan ibu, kemudian memutuskan untuk bekerja paruh waktu agar aku mendapatkan uang lebih untuk jajan. Jika uangku cukup, maka akan kugunakan untuk membayar uang kos yang menunggak. Sayangnya, kali ini aku tidak punya cukup uang. Hanya Rp. 100.000,- untuk makanku selama—entalah, mungkin sampai mendapatkan kiriman uang.

Padahal, kuliah sambil bekerja bukanlah hal yang mudah. Waktuku berisirahat hanyalah hari Sabtu dan Minggu. Sisanya, dari pagi sampai-menjelang-malam aku harus kuliah atau menyelesaikan tugas, malamnya bekerja di restoran cepat saji yang buka selama 24 jam dan selesai di pukul lima pagi.

Setiap hari mataku terlihat sayu karena menahan kantuk. Aku cuma punya waktu tiga sampai empat jam untuk tidur karena kelasku dimulai pada pukul 10 pagi.

Wahai Dewa Hades, aku sudah lelah dengan hidup ini. Bisakah aku mati kemudian reinkarnasi menjadi kupu-kupu saja?

Kakiku melangkah menjauhi kos. Tanpa ada tujuan, kecuali memikirkan bagaimana caranya mati tanpa merasakan sakit.

Aku sangat lelah. Akan lebih baik jika aku mati. Tidak akan ada yang namanya lelah, bayar kos, dan dua orang yang mengkhianatiku.

Hidup ini sunggulah melelahkan.

AdelinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang