⚠ TW: Just in case... Because this part will talk about death and suicide. ⚠
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
*****
Aku berjalan ke sana kemari, tak tentu arah. Isi pikiranku tidak lebih dari membayangkan cara-cara untuk mati dengan cepat.
Melompat dari gedung, sulit untuk masuk ke sebuah gedung tinggi begitu saja. Petugas keamanan pasti akan melarangku. Apalagi sekarang mendekati pukul 10 malam. Orang-orang akan mencurigaiku sebagai pencuri bila masuk ke dalam sebuah gedung.
Menyayat pergelangan tanganku, sepertinya akan gagal jika ada orang yang menemukanku saat masih sadar. Sama halnya, dengan overdosis obat atau menenggak racun. Andaikata aku selamat, hanyalah omongan orang yang mencemoohku yang akan didengar oleh telinga setiap harinya.
Orang-orang juga akan menatapku penuh kasihan atau lebih parah lagi; menilaiku sebagai orang yang kurang beribadah lalu menasihatiku. Tidak masalah jika aku mati. Masa bodoh dengan omongan mereka.
Di tengah kebingunganku, aku menemui jalan buntuh. Di depanku ada rumah kopi yang masih buka, kiri dan kananku ada toko yang sudah tutup. Satu-satunya jalan yaitu putar balik.
Pada lemari kaca rumah kopi di depanku, bakpao yang masih mengepulkan asap menarik perhatianku. Aku menelan ludah karena godaan makanan berwarna putih itu. Bisa kurasakan bagaimana panas dan lembutnya kulit bakpao akan terasa nikmat, jika dikonsumsi bersamaan dengan isiannya yang terasa manis. Padahal isiannya berupa daging babi dan potongan kecil dari telur rebus.
Tanpa keraguan aku masuk ke dalam rumah kopi itu. Cukup ramai, tapi beruntung ada satu meja kosong di pojok ruangan.
Seorang pegawai wanita dengan apron hitam menghampiriku sambil memegang pena dan secarik kertas.
"Mau pesan apa?" tanyanya sopan.
"Eum—bakpaonya satu, kopi susunya satu." Tidak ada salahnya kan menikmati makanan lezat sebelum meninggal. Toh, di akhirat nanti tidak akan ada yang menyediakan bakpao.
"Tunggu sebentar, ya." Pelayan itu segera pergi setelah menerima uangku.
Sembari menunggu, aku menyaksikan tayangan dari televisi di depanku yang menampilkan sinetron. Tidak ada suara, cuman gambar bergerak yang agak kabur. Pemiliknya perlu untuk memperbaiki antena atau parabola mereka. Hebatnya, aku bisa mengerti jalan ceritanya hanya dari melihat gambar.
Obrolan para pria tua mengganti suara dari tayangan televisi yang menggantung itu. Asap rokok bercampur dalam ruangan rumah makan. Sungguh tidak sehat, tapi siapa peduli, toh aku akan mati sebentar lagi. Tinggal menemukan cara yang ampuh saja. Barangkali, bakpao dan kopi susu akan membantuku untuk memikirkan sebuah cara.
Pelayan wanita yang tadi kembali membawa pesanan dan uang kembalian. Aku berterima kasih dan dia langsung pergi setelah melemparkan senyuman.
Langsung saja aku memegang bakpao di atas piring kecil itu dengan kedua tanganku dan menggigitnya. Panas! Tanganku saja tidak mampu untuk memegangnya terlalu lama. Apa mereka baru saja mengangkatnya dari dandang tempat benda lembut ini dikukus, ya?
Meski satu gigitan bakpao telah masuk ke dalam mulut, aku mencoba meniup-niupnya. Bisa kurasakan udara panas yang keluar. Kulit bakpao ini juga cukup tebal, aku belum menemukan isinya, padahal sudah memberikan gigitan yang besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
Teen FictionAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...