11. Bella the Witch

2 0 0
                                    

Berkat Profesor Maria, aku terjebak bersama Bella di kafe yang tidak jauh jaraknya dari kampus, menunggu Gian yang sejak 30 menit lalu bilang "otewe", tapi belum juga muncul. Kafe ini sebenarnya ramai, tapi keheninganlah yang terasa di antara kami berdua.

Kami bertiga—lebih tepatnya Gian dan Bella sih—sepakat untuk mengerjakan tugas Prof. Maria pada hari Sabtu, tanpa sedikit pun menanyakan pendapatku. Bodohnya, aku tidak protes dan hanya tersenyum manis ketika Gian bilang, "Hari Sabtu ya, Del!"

Tidak ingin terlalu memikirkan cewek yang duduk berhadapan denganku, aku pun menyibukkan diri dengan ponsel. Aku akhirnya membuat akun Instagram yang baru, sayangnya tidak ada yang bisa aku lihat pada laman beranda. Hanya saran dari postingan orang lain yang mengisi berandaku, dan aku sama sekali tidak tertarik. Tapi, aku terus menggeser layar ponsel ke atas, berpura-pura kalau aku sedang menikmatinya.

Mungkin aku terlihat fokus dengan ponsel dan tidak menghiraukan keadaan di sekitarku, nyatanya aku tahu kalau cewek di depanku menunjukkan kalau ia meremehkanku lewat tatapannya.

Kuangkat kepalaku dan menangkap basah dirinya sedang menatapku. Dia tidak berkutik, tetapi tersenyum mengejekku. Tanpa adanya suara, kami saling melemparkan tatapan, aku merasakan ketegangan mulai memenuhi sekeliling kami.

"Maaf banget, ya! Jalanan macet banget." Gian yang telah tiba langsung menempati kursi kosong di samping Bella.

"Girls, kita mau langsung mulai ngerjain tugas atau gimana, nih?" Gian jelas menangkap ketegangan antara aku dan Bella, pandangan kami berdua belum lepas antara satu dengan yang lain. Seolah-olah bersiap untuk saling menerkam.

Penyihir itu mengalah. Ia meraih tas yang menggantung di belakang kursinya, kemudian mengeluarkan sebuah laptop. Barulah aku tidak memandanginya lagi dan beralih mengeluarkan laptopku juga. Tidak sengaja aku menangkap ekspresi Gian yang tampak lega.

Tugas yang diberikan Prof. Maria cukup sulit, bukan sekadar tugas yang bisa dicopy dan paste dari laman Google, tapi beliau meminta agar kami mengutip dari jurnal terkait yang diterbitkan sekitar delapan tahun terakhir. Catatan tambahan, harus dari jurnal berbahasa Inggris dan penulisan daftar pustakanya harus sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Kalian tahu apa yang paling menjengkelkan dalam kerja kelompok ini? Gian dan Bella yang terlalu aktif berdiskusi, sedangkan aku bagaikan bayangan yang tidak dianggap. Diasingkan!

Gian memang membagi tugas kelompok itu agar adil, sehingga semua anggota bisa bekerja. Jika ada yang tidak dimengerti atau merasa kesulitan, bisa langsung bertanya pada Gian.

Si Penyihir bukannya tidak mengerti atau merasa kesulitan, tapi dia sengaja agar dapat berbincang dengan Gian. Menanyakan hal yang sebenarnya bisa diputuskan oleh dirinya sendiri. Misalnya, menanyakan apakah gambar dari jurnal yang ditemukannya perlu dimasukkan ke dalam laporan atau tidak.

Dia juga sengaja membuat jarak yang sangat dekat dengan Gian agar salah satu tangannya dengan mudah bertengger di bahu cowok itu, atau memukul bagian lengan—bisa juga bahu—dengan lembut untuk bercanda.

Oh! Aku tidak cemburu. Tidak! Hanya kesal karena penyihir ini tidak bisa fokus untuk mengerjakan tugas saja. Untuk apa aku cemburu? Hahaha. Konyol sekali.

"Bagian kamu udah selesai, Del?"

Akhirnya Gian berbicara padaku. Penyihir di sampingnya jadi ikut melirikku, tentu tidak akan lengkap jika tanpa tatapan sombong yang meremehkanku.

"Sudah. Mau kamu lihat dulu?"

Gian menyerahkan flashdisk berwarna hitam di atas meja, "Datanya disalin di situ aja, Del."

Aku terima benda kecil itu dan mencolokkannya ke port USB laptop, lalu kembali menyerahkan flashdisk kecil itu kepada pemiliknya setelah selesai menyalin file berbentuk Microsoft Word. Tidak sulit mengerjakan tugas ini jika benar-benar fokus, tidak seperti seseorang. Tahu maksudku, 'kan?

"Kalo kamu, udah?" giliran Bella yang menerima pertanyaan itu.

"Sebentar lagi. Aku lagi pharaphrasing beberapa bagian, biar bahasanya jadi lebih gampang dimengerti."

Aku menunduk dan mengulum senyum sejenak. Sudah kuduga, pasti belum selesai. Jelaslah, orang kerjaannya cuma cari perhatian sama Gian. Pharaphrase katanya? Aku 99.99% yakin itu hanyalah alasannya saja.

Ketika aku mengangkat kepalaku kembali, Bella sedang menatapku. Tatapan yang tajam dan penuh akan keangkuhan, aku sangat tidak menyukai tatapannya itu. Salah satu sudut bibirnya juga terangkat, menyiratkan kalau ia meremehkanku.

"Apa?" aku menantang sembari menajamkan tatapanku padanya.

Dia tidak membalas, tapi kembali menatap laptopnya. Suara keyboard yang ditekan juga terdengar.

"Kalo ada masalah bilang aja kali," ujarku

Penyihir sombong itu menggeleng sebentar, fokusnya masih berada pada laptop di depannya. Bukan hanya sombong, tapi juga tidak punya sopan santun. Aku makin tidak menyukainya.

Gian tetap diam saja, mencari aman dengan tidak ikut campur urusan orang lain.

"Bitch," gumamku kemudian memainkan ponsel.

Tidak terdengar lagi suara ketikan di atas keyboard laptop. Penyihir itu sepertinya telah selesai melakukan hal—yang katanya—pharaphrase.

"Bitch?" suara itu menyentakku, aku menoleh melihat asal suara itu. Orang di depanku menatapku dengan sombongnya.

Penyihir sombong melanjutkan ucapannya, "Udah bisa ngatain aku ya, sekarang?"

Sial! Dia ternyata mendengarku.

"Geer banget kamu. Aku nggak bilang ke kamu kok."

"Woah! Lucu banget kamu. Baru seminggu yang lalu lho, kamu mohon-mohon biar aku nggak ngebongkar rahasia kamu." Senyuman licik tercetak di wajah Bella.

Aku mengernyit, bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa kiranya rahasia yang dimaksud Bella. Jangan-jangan cuma karangan penyihir itu. Atau, sesuatu terjadi antara dirinya dengan diriku yang lain.

"Apa maksud kamu?" selidikku. Mana tahu bisa mendapatkan sedikit pencerahan.

"Oh, kamu mau aku ngomong langsung di sini aja? Yakin?" kerling matanya mengarah pada Gian sejenak.

Gian hanya terdiam, tapi aku tahu ada keingintahuan yang ditunjukkan lewat raut wajahnya.

Hatiku berkata kalau Bella sedang tidak main-main, sesuatu telah terjadi antara aku dan dia. Hatiku juga mengatakan kalau itu bukanlah masalah kecil sampai membuat Bella harus merahasiakannya. Apalagi dari pernyataannya tadi, aku—yang lain—sampai memohon-mohon padanya.

"Diamlah!" perintahku sedikit menggertak, meskipun masih dalam tanda tanya yang besar.

Bella tidak menjawab, dia hanya tersenyum miring. Senyuman yang tidak dapat aku artikan sama sekali.

"Well... Kita masih mau lanjut ngerjain tugasnya Bu Safira juga, 'kan? Jadi, ayo kita selesein tugas ini, ASAP." Gian memecah keheningan yang terjadi. Aku merasakan ada getaran dalam suaranya, mungkin dia ragu saat hendak berbicara tadi.

Aku berusaha menenangkan diri, tidak ingin meladeni Bella lagi. Pokoknya, aku harus bersabar sambil mengira-ngira sendiri, kira-kira masalah macam apa yang terjadi antara Bella dan diriku yang sebelumnya tinggal di sini.

AdelinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang