Alarm dari ponsel membangunkanku yang hanya tidur selama empat jam. Gara-gara masih merasa asing dengan tempat ini, aku baru terlelap pada pukul empat subuh. Selain itu, aku juga mencari-cari informasi tentang diriku sendiri.
Tidak ada bedanya. Aku kuliah di universitas, fakultas, dan jurusan yang sama seperti sebelumnya. Materi dan jadwal kuliah pun sama saja.
Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.
Aku langsung bangun dan menuju kamar mandi—yang luasnya sama dengan kamar kosku. Kamar mandi ini luar biasa karena aku bisa mandi menggunakan air panas sekarang. Aku tidak ingat kapan terakhir kali tubuhku diguyur dengan air hangat.
Sesudah mengenakan pakaian, aku menuju dapur untuk menikmati sarapan roti tawar yang tersedia di atas meja, lalu minum kopi sambil menikmati berita pagi. Pria tua itu benar-benar mengabulkan keinginanku. Aku pun jadi tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman di kampus.
***
Mataku menangkap Ular Licik yang sedang duduk sambil menulis sesuatu pada buku catatannya. Aku ingin sekali melabrak dan mengamuk padanya. Tapi, aku harus menahan amarahku, aku juga perlu menunggu hingga Yoga tiba, biar energiku tidak terlalu terkuras untuk mengamuk pada mereka berdua. Kalau dipikirkan lagi, pria tua itu tidak sepenuhnya mengabulkan permintaanku.
"Hai, Del! Aku udah nyiapin tempat duduk buat kamu."
Kupamerkan senyuman tidak ikhlas saat Ular Licik itu melihatku dan menunjuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menurut untuk duduk di sampingnya.
"Oh ya, Git! Sepupu kamu yang dari Bandung, gimana?" aku mencoba memancing orang di sampingku.
"Sepupu?" dia mengernyit, "Aku nggak punya sepupu dari Bandung."
Apa maksudnya? Padahal, semalam dia sendiri yang mengatakannnya padaku.
"Loh? Kan kamu sendiri yang bilang waktu aku telepon kamu semalam."
"Ngimpi kali kamu, Del. Kamu nggak pernah telepon aku, malahan kemarin hape kamu seharian nggak aktif waktu aku telepon."
Aku cukup terkejut, jelas-jelas aku meneleponnya semalam. Aku juga yakin kalau itu nyata, bukan hanya mimpi. Gita pasti berbohong. Entah apa alasannya melakukan itu.
Beberapa saat kemudian, Yoga masuk ke dalam kelas, mengacaukan kebingungan yang sempat melandaku. Tapi, bukannya menghampiriku, si brengsek itu malah menghampiri Gita, tanpa menyapaku terlebih dahulu.
Jadi, sekarang mereka terang-terangan bermain di hadapanku? Luar biasa! Baiklah, mungkin sudah saatnya aku mengeluarkan amarah yang sejak tadi malam aku tahan.
"Babe, nanti sore jadi, 'kan?"
Babe? Apa aku tidak salah mendengar Gita memanggil Yoga seperti itu tepat di hadapanku?
"Jadi dong, Sayang," Yoga membalas. Aku semakin tidak percaya lagi.
Ular Licik di sampingku menoleh padaku, "Del, ada saran nggak kafe atau restoran yang pas buat ngerayain anniv?"
"Anniv?"
"Iya, 1st anniversary aku sama Yoga." Ular licik itu nyengir kuda.
"Kalian pacaran?" tanyaku spontan yang mendapatkan tatapan heran dari Adel.
"Kok nanyanya gitu, sih?"
Tidak aku hiraukan Adel yang sempat cemberut dan beralih pada Yoga. Otakku berusaha memroses kejadian yang baru saja terjadi. Adel dan Yoga pacaran? Bukan aku dengan Yoga? Bagaimana bisa ini terjadi? Sungguh tidak masuk akal. Lalu, selama ini aku dan Yoga apaan dong?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
Teen FictionAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...