9. Lucky

1 0 0
                                    

Gian betul perihal aku yang telah mengerjakan tugas Prof. Simon.

Ketika bermaksud mengerjakan tugas, aku menemukan tugas yang telah selesai di atas printer. Tugas itu telah dijilid rapi dan namaku tercetak di cover depan, lengkap dengan; nomor induk mahasiswa, nama mata kuliah dan nama dosen, serta logo universitas di tengahnya.

Keyakinan akan dunia paralel pun semakin menguat. Aku hampir tidak merasakan keraguan lagi di dalam diriku.

Hari ini aku memberanikan diri untuk duduk di samping Gian, di deretan kursi baris kedua. Gita sampai menatapku heran karena tidak duduk bersamanya.

"Adel, kok malah duduk di situ?" Gita kelihatan kecewa karena aku tidak mengindahkan ajakkannya.

"Pengen aja." Jawabku ketus.

Aku lihat Gita ingin membalas lagi, tapi batal karena Prof. Simon telah masuk ke dalam kelas dengan laptop yang terbuka di tangannya. Aku senang karena Gita tampak kesal.

Untuk memulai kelasnya, Prof. Simon mengabsen mahasiswanya dengan memanggil nama. Beliau memang tidak memercayakan absen untuk ditandatangani langsung oleh mahasiswa. Menghindari yang suka titip absen katanya.

"Adelina Valerie," Prof. Simon menyebutkan namaku.

Aku mengangkat tanganku, lalu menerima senyuman dari pria yang telah melewati usia 50 tahun itu. Aku pun membalasnya dengan tersenyum. Sejujurnya, aneh sih! Prof. Simon yang aku tahu tidak begitu ramah, beliau selalu serius dengan wajah yang terlalu datar saat memberikan kuliah.

Setelah tersenyum singkat padaku, beliau melanjutkan lagi mengabsen. Entah hanya perasaanku saja, tapi beliau hanya tersenyum padaku? Aku tidak ingin terlalu percaya diri menganggap seperti itu, tapi aku sangat yakin beliau hanya tersenyum padaku.

"Giandra Atharya."

"Hadir," orang di sampingku berseru.

Selesai memanggil nama-nama di absen, Prof. Simon memulai kuliahnya. Beliau sempat menginformasikan agar mengumpulkan tugas selesai kelas nanti.

Prof. Simon yang aku tahu ternyata memang tidak jauh berbeda, kelasnya tetap saja membosankan. Tambahan lagi, ekspresi wajahnya yang selalu serius.

Namun, pandangan beliau selalu terarah padaku. Aku melirik orang-orang di sekelilingku, barangkali itu cuma perasaanku saja, tetapi kebanyakan dari mereka hanya menunduk sambil mencatat apa yang dituturkan oleh Prof. Simon.

Yang jelas-jelas memperhatikan beliau memang ada, tapi mereka duduk di sisi seberang. Tidak menjadi arah yang tepat untuk mendapatkan pandangan dari Sang Profesor sekarang.

Aku tersenyum canggung, kemudian menunduk dan menatap halaman buku catatan yang masih kosong. Tangan kiri aku sisipkan di bawah rambut agar bisa memegang tengkukku, lalu memijatnya karena perasaan gelisah yang tiba-tiba menggerogotiku. Ya, perasaan gelisah karena terus ditatap oleh dosen yang sedang memberikan kuliah. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasa tidak nyaman.

"Kamu kenapa?" Gian berbisik. Dia menangkap kegelisahanku.

Aku meliriknya dan melemparkan senyuman tipis, "Kok Prof. Simon dari tadi lihat ke arah kita, ya?" tanpa ragu aku mengungkapkan kegelisahanku padanya.

Cowok itu beralih sejenak melihat sang profesor, "Liatin kamu kali."

Mendengar ucapan Gian malah membuatku semakin tidak nyaman. Aku mendesah pasrah dan kembali menatap catatan yang masih kosong. Kenapa pula waktu terasa begitu lambat untuk mata kuliah tiga SKS ini?

***

Kelas pun berakhir, meninggalkan rasa pegal pada leher karena aku terus-terusan menunduk. Setidaknya aku telah terbebas dari pandangan yang membuatku merasa tidak nyaman.

Saat hendak keluar kelas pun, Prof. Simon sempat-sempatnya melemparkan senyuman kepadaku, dan aku yang—sial sekali—tidak sengaja bertatapan dengannya terpaksa membalas melemparkan sebuah senyuman.

"Gila," gerutuku begitu sang dosen keluar dari kelas.

"Kenapa?"

"Kelasnya Prof. Simon. Kenapa dia lihatin aku terus, sih?" aku merengut mengingat betapa tidak menenangkannya tiga SKS penuh yang aku lewati.

"Bukannya karena kalian dekat, ya?"

Semoga telingaku telah salah mendengar yang baru dikatakan Gian. Mustahil kalau kami dekat! Berbicara dengan profesor saja hanya aku lakukan ketika akan menyerahkan tugas.

"Nggak mungkin." Aku menolak untuk percaya.

"Mungkin! Kamu sering dipanggil ke ruangan profesor. Kenapa kamu tiba-tiba lupa ingatan begini?" Gian tersenyum mengejekku.

Aku tidak kesal dengan senyumannya itu. Hanya merasa semakin aneh.

Adel di tempat ini sungguh bergaul dengan baiksampai bisa dekat dengan seorang dosen. Aku dan dia sudah jelas sangat berbeda.Dia mendapatkan kehidupan yang baik, dan aku? Melarat sampai harus bekerjakeras agar tidak kelaparan. Tidak adil! Dia mengambil semua keberuntunganku. 

AdelinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang