Saat kelasku selesai, aku bergegas menuju mencari rumah kopi semalam. Tempat yang mempertemukanku dengan si pria tua.
Yang aku ingat, aku masuk ke dalam pasar, berjalan tak tentu arah, sampai akhirnya menemukan rumah kopi. Beberapa pedagang masih bertahan dengan jualannya yang belum laku di hari yang sudah sore.
Tidak tahu sudah berapa kali aku bertanya, tapi mereka hanya menggeleng tidak tahu. Justru ada ibu-ibu yang membalas dengan wajah masam. Padahal, dia sempat menyambutku dengan sukacita karena mengira aku ingin membeli sayurannya.
Jalanan yang berlumpur dan membuat sneakers putihku kotor, tidak menghentikanku menyusuri setiap sudut pasar. Beberapa kali pula aku melewati tempat yang sama, tapi belum juga menemukan rumah kopi dengan bakpao yang rasanya menyenangkan mulut itu.
Hari sudah hampir gelap saat aku akhirnya menemukan rumah kopi yang ternyata ada di pojok pasar. Tempat itu memang hampir tidak terlihat jika orang hanya lewat begitu saja. Mata harus tetap siaga terbuka agar dapat menemukan tempat itu.
Saat masuk ke dalam, aku menemukan Pria tua itu sedang duduk sambil membaca koran. Dia membelakangiku, tapi topi koboi yang ia gunakan membuatku mudah mengenalinya.
Bergegas aku berjalan dan mengambil duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Perlahan-lahan koran yang menutupi wajahnya menurun.
"Oh! Apa kabar?" sapanya kemudian melipat koran yang tadi dibacanya.
"Aneh! Sangat aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Kek?" aku balik bertanya.
"Kenapa? Apa ada yang salah?"
"Ya. Temanku berbohong, katanya aku tidak pernah berbicara dengannya semalam lewat telepon, sekarang dia malah pacaran dengan pacarku di saat kami belum putus, mereka juga terang-terangan bermesraan di depanku. Lalu cowok kikuk membosankan yang dulu kutolak, berubah menjadi yang paling keren hari ini. Dan katanya, aku tidak hadir di kampus kemarin hari, padahal aku tidak pernah absen selama kuliah." Aku menjelaskan secara mendetail keanehan yang terjadi hari ini.
"Bukankah sudah sesuai keinginanmu?"
"Hanya sebagian, sisanya terlalu aneh. Tapi, bukankah itu tidak masuk akal?"
Pria tua itu mengambil cangkir kopi di depannya lalu menyeruputnya sampai membuat suara. "Jalani saja apa yang sudah kamu dapatkan sekarang. Perlahan-lahan, kamu pasti akan menemukan jawabannya."
Aku tidak membantah dan malah berbalik melihat televisi yang sedang menampilkan iklan. Jari-jari tangan kananku bermain di atas meja, membuat bunyi tuk-tuk-tuk yang berurutan sembari berpikir apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.
Iklan dari siaran televisi selesai. Sebuah film ternama sedang ditayangkan. Film animasi yang sudah lama dirilis. Aku yakin, banyak orang seusiaku yang—setidaknya sekali saja—pernah menonton film itu.
Coraline!
Film itu menceritakan tentang seorang gadis kecil bernama Coraline yang menemukan dunia lain yang lebih berwarna dan ceria daripada dunianya. Di sana ada Ayah dan Ibunya yang bermata kancing namun lebih perhatian terhadapnya.
Singkat cerita, Ibunya itu ingin Coraline tinggal di sana selamanya, dengan syarat matanya juga harus diganti dengan kancing. Coraline pun berusaha untuk melarikan diri.
Sekarang aku baru menyadari kalau film itu cukup mengerikan untuk ditonton oleh anak-anak. Kenapa aku sangat menikmatinya dulu?
"Parallel Universe," pemikiran itu tak sengaja terpikir olehku. Namun, rasanya tidak mungkin. Dunia paralel hanya ada dalam fiksi dan film. Aku menoleh pada pria tua yang sedang menikmati film itu sambil mengembangkan senyum.
"Tidak mungkin kita sedang berada di dunia paralel kayak di film itu, 'kan?" aku terkekeh dengan kaku, mencoba untuk bercanda. Kuharap dia juga akan ikut bercanda denganku. Lucu sekali kalau aku benar-benar terjebak dalam dunia paralel.
"Tidak ada yang tidak mungkin," sambil tetap fokus pada tayangan televisi, pria tua itu menyahut dengan santai.
Tanganku bergerak dengan gelisah di atas meja, sekujur tubuhku merasakan ketakutan. "Jangan bercanda, Kek."
"Ada yang bilang, percayalah dengan apa yang kamu lihat. Tapi, kamu justru tidak bisa percaya dengan apa yang sudah kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri."
Setelah mendengarnya mengatakan itu, aku menunduk melihat kakiku yang gemetar. Jika itu benar, lalu bagaimana bisa aku sampai berada di sini? Aku bahkan tidak melewati portal seperti Coraline. Tidak! Melewati portal ataupun tidak, tetap saja parallel universe adalah hal yang tidak bisa diterima oleh akal sehatku.
Aku mengangkat kepalaku, ingin mendesak si pria tua agar mengatakan yang sebenarnya. Tapi, dia menghilang. Hanya koran dan cangkir kopi yang telah kosong yang tersisa di atas meja. Cepat-cepat aku mengedarkan pandangan di seluruh sudut ruangan rumah kopi, tapi tidak menemukan sosok pria tua dengan topi koboinya yang khas.
Kucegat pelayan yang hendak melewatiku, "Kak, lihat kakek yang duduk di sini nggak?" dia hanya menggeleng dan kembali melanjutkan tugasnya.
Pikiranku mulai menyatukan kejadian-kejadian yang terjadi sejak semalam; aku yang tiba-tiba memiliki apartemen, perubahan drastis pada Gian, lalu Yoga dan Adel pacaran. Bisa saja ini semacam prank. Niat mereka sungguh luar biasa jika ingin mengerjaiku dengan cara semacam ini. Lagi pula, aku tidak begitu istimewa untuk mendapatkan perlakuan ini.
Seberapa keras pun aku berusaha menerima kalau ini adalah dunia yang berbeda dari tempatku sebelumnya, aku tetap tidak bisa menerimanya.
Danjika memang benar, di mana keberadaan diriku yang tinggal di sini sebelumnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
Novela JuvenilAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...