Berada di dekat Bella hanya membuat sekitarku bagaikan dikelilingi awan kumolonimbus yang siap membasahi mobil yang baru saja dicuci. Bikin geregetan, sungguh menjengkelkan dan membuat sukacita dalam diriku hilang.
Suasana hatiku baru membaik dengan drastis ketika Gian mengajakku menikmati malam minggu bersamanya.
Eum... Gian nggak bilang langsung begitu sih, tapi mengajakku keluar tepat di malam minggu. Sama saja artinya dengan mengajakku malam mingguan, bukan? Aku akan menganggapnya seperti itu.
Jika kalian bertanya di mana Bella, penyihir itu sudah pulang terlebih dahulu begitu tugas dari kelas Ibu Safira selesai. Dia hanya pamitan dengan Gian, sedangkan aku menerima tatapan tajam nan mengesalkan. Aku tidak heran dan tidak peduli dengan sikapnya yang tidak sopan itu.
Jadi, hanyalah Gian dan aku yang sedang mengelilingi pusat perbelanjaan yang sedang ramai.
Biasanya, aku akan memilih beristirahat di kosan jika tidak keluar bersama Yoga. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin, karena waktu-waktu tersebut sangatlah berharga.
Omong-omong soal Yoga. Biar aku ceritakan dengan singkat kenapa aku bisa jadian sama Yoga, itu karena kebodohanku sendiri. Aku terlalu polos menganggap sikap Yoga yang dekat denganku kala kami masih berada di semester satu, menganggap bahwa dia memiliki perasaan yang sama dengan yang aku miliki. Sekarang aku mengerti, kenapa dia mencoba mendekatiku saat itu. Karena dengan begitu, dia jadi bisa dekat dengan Gita juga.
Bodoh! Kenapa tidak mendekati Gita secara langsung dan malah membuatku salah sangka?
Lalu, kenapa pula dia memintaku menjadi pacarnya di malam ketika aku menyatakan perasaanku padanya? Padahal, awalnya aku hanya ingin menyatakan perasaanku, tidak lebih dari itu. Untuk hal yang satu itu, tidak bisa aku mengerti.
"Kamu punya masalah sama Bella?"
Garis bibirku seketika melengkung ke bawah, tidak senang mendengar nama yang keluar dari mulut Gian. Mood-ku kini menurun.
"Selalu." Desisku.
"Aneh! Bukannya kalian cukup dekat?" kening Gian berkerut.
"Dekat?" aku menahan ketawa. Saat Gian mengangguk, aku kembali melanjutkan, "Itu malah lebih aneh lagi. Aku nggak pernah suka sama Bella," dengan jujur aku mengungkapkan yang aku rasakan terhadap cewek itu.
Ada keraguan yang bisa kulihat dari wajahnya, tapi tidak terlalu ingin aku hiraukan.
"Kamu kayak bukan Adel," tuturnya.
Aku tercengang, seperti tertangkap basah karena rahasiaku telah diketahui orang lain.
"Kalo masih ngomongin Bella, aku mau pulang aja." Ancamku. Hanya ingin mengalihkan topik saja, karena tanpa dimengerti olehku, aku mulai gugup dan ketakutan.
"Okay. Ayo balik."
Tidak kusangka dia benar-benar menanggapi ucapanku. Aku pun berhenti melangkah, membuat Gian berjalan sendirian di depanku. Sadar aku tertinggal sedikit di belakangnya, dia pun menghentikan langkahnya.
"Serius?" aku mengerucutkan bibirku, tidak rela jika harus pulang sekarang.
Gian kembali mensejajarkan posisinya denganku sambil ketawa kecil.
"Katanya mau pulang."
Sungguh aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa agar ancaman bodohku tadi tidak menjadi kenyataan.
"Nyebelin! Ya udah, ayo pulang." Aku berdecak kesal.
Ketika aku melangkah sambil menghentakkan kaki kananku, Gian menghentikan usahaku dengan meraih lenganku.
Sorot mata yang kesal aku layangkan padanya. Harapanku saat ini adalah Gian tidak akan mengatakan kalau aku harus pulang seorang diri, sekalipun aku juga tidak terlalu berharap dia akan mengantarkanku pulang.
Dia terlihat ragu, aku mengantisipasi kalimat yang akan dikeluarkan oleh mulutnya.
"Temenin aku malam mingguan. Boleh?"
Hampir saja aku tersenyum ceria karena ajakannya itu. Demi mencegah hal itu terjadi, aku mengulum kedua bibirku, mengamankan mereka dengan gigitan yang pelan. Kalau Gian sampai ngira aku mulai menyukainya kan bahaya. Aku bisa malu.
Cepat-cepat aku membuang muka ke arah yang lain kemudian mengangguk untuk menerima ajakannya.
Jika Gian dapat mengetahui apa yang aku rasakan sekarang, maka dia tahu kalau aku sangat senang. Mungkin, hari ini menjadi salah satu hari terbaik yang pernah aku jalani.
Tangannya yang hangat dilepaskannya dari lenganku, lalu dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya. Aku tetap berusaha menyembunyikan betapa senangnya diriku.
Dalam setiap langkah kaki yang aku buat, akuberusaha menenangkan diriku agar tidak terlalu menunjukkan ekspresiku.Termasuk, supaya aku berhenti mengulum bibirku. Pipiku terasa mulai pegal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
Teen FictionAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...