8. It'd be Better If You're My Girl

1 0 0
                                    

Sambil menunggu—bisa juga dikatakan menemani—Gian mengerjakan tugas dari Prof. Simon, aku menyibukkan diri dengan ponselku. Omong-omong soal tugas Prof. Simon, aku ingat dengan tugas dari beliau, tapi aku sama sekali belum mengerjakannya. Nggak tahu deh kenapa sampai Gian bilang aku telah mengerjakannya. Tambahan, aku sendiri yang menyampaikan itu padanya. Aku mengutak-atik isi ponselku. Bukan ponsel bututku, tapi ponsel yang baru. Tidak ada aplikasi media sosial selain WhatsApp yang isi pesannya saja telah dihapus, hanya ada pesan-pesan baru yang masuk sejak hari ketika aku menyalakannya. Ponsel ini seolah-olah kehilangan data-datanya. Hanya ada beberapa foto, termasuk foto yang berada di pantai dan dijadikan layar background. Satu-satunya e-mail yang ada dalam ponsel pun hanya berisi tugas-tugas kuliah. Sama halnya dengan yang ada dalam laptop, tidak ada data yang lebih penting selain tugas-tugas kuliah. Browser juga kosong, tidak ada riwayat penelusuran, akun-akun dalam situs-situs yang umum digunakan menyatakan kalau aku perlu melakukan login. Pantang menyerah, aku berusaha mencari akun Facebook dan Instagram dengan modal nama lengkapku. Sayangnya tidak aku temukan akun Facebook yang sesuai.Tapi aku berhasil menemukan Instagramku. Memang sih tidak di-private, tetapi tidak ada posting-an. Tidak ada akses pula untukku masuk ke dalam akun itu; alamat e-mail tidak aku ketahui, nomor telepon yang digunakan bukanlah nomor pada ponsel yang ditinggalkan untukku. Semalam, aku mencoba mencari tahu informasi tentang diriku yang lain—jika aku benar-benar terjebak dalam dunia paralel atau sejenisnya—dan sayang sekali tidak ada hasilnya. Setelah gagal dalam percobaan yang ke sekian memasukkan password akun Instagram, aku akhirnya menyerah. Buang-buang waktu dan usaha saja, lebih baik mengelilingi tempat yang baru aku kunjungi untuk pertama kalinya. Ruangan yang ramai dengan berbagai jenis buku.Aku menggeser kursi dengan perlahan, Gian tidak terusik sama sekali dengan gerakanku. Setelah aku pergi pun dia tidak terganggu sama sekali. Aku bagaikan makhluk tidak kasat mata. Tidak ingin terlalu ambil pusing, aku mulai menelusuri setiap rak kayu dalam perpustakaan. Semua buku disesuaikan berdasarkan fakultas dan jurusan. Buku-buku terbitan lama dan cetakan terbaru ada, tersedia juga buku yang telah diterjemahkan beserta versi aslinya. Skripsi-skripsi memiliki rak tersendiri. Aku tidak ingin berbohong kalau rak khusus skripsi terlihat membosankan karena semuanya berwarna oranye yang berasal dari hardcover-nya. Warna dari hardcover didasarkan pada warna fakultas. Mungkin, rak skripsi milik fakultas Kedokteran jauh lebih membosankan lagi karena warna hijau tuanya. Tidak perlu berlama-lama memperhatikan tempat skripsi, lebih baik aku kembali menjelajahi ruangan penuh buku ini. Sedihnya, tidak ada buku yang menarik perhatianku, tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk membunuh rasa bosanku hingga Gian selesai mengerjakan tugasnya. Akhirnya, tanganku meraih sebuah buku tebal dengan asal tanpa membaca judulnya, yang aku tahu cover-nya didominasi oleh warna putih. Siapa tahu 'kan ada sesuatu yang menarik dan menambah pengetahuanku. Itu pun jika aku mengerti akan kumpulan kata-kata yang aku baca nanti. Aku duduk kembali di tempatku, Gian masih saja fokus mengerjakan tugas. Kali ini dia sedang membolak-balik halaman ensiklopedia. Kualihkan pandangan pada buku yang aku ambil tadi. Kepalaku menggeleng ketika membaca judulnya, "Kalkulus". Rupanya buku-buku di perpustakaan ini tidak diorganisir dengan baik. Bagaimana bisa Kalkulus berada di rak buku jurusan Ilmu Komunikasi? Dan tetap saja aku membuka lembar demi lembar buku itu. Aduh! Kepalaku langsung berdenyut saat menjumpai bab pertama. Kuputuskan tidak melanjutkan lagi untuk membuka lembar berikutnya. Hanya sakit kepala yang akan aku terima alih-alih mendapat pengetahuan. Aku memantapkan diri untuk mengembalikan buku tebal itu di tempat aku mengambilnya tadi.Selanjutnya yang aku lakukan hanya diam menunggu Gian. "Gian!" Seruanku mengundang decakan kesal seluruh tamu perpustakaan. Beberapa pasang mata terang-terangan menatapku dengan kesal. Aku segera mengubah air mukaku yang kini nampak menyesal. Dalam diam aku meminta maaf pada mereka semua. Aku lupa kalau aku sedang berada di perpustakaan. Ceroboh sekali aku.Namun, Gian tetap tenang, seakan-akan yang aku lakukan bukanlah sebuah hal yang perlu dipermasalahkan. "Kenapa?" dia mengalihkan perhatianku. Aku mengontrol suaraku agar tidak kembali menganggu mereka yang lagi fokus, "Nanti aja, deh. Nggak terlalu penting juga.""Yakin?" Kepalaku mengangguk, karena yang akan aku katakan memang bukanlah hal yang sangat penting untuk dikatakan sekarang juga. *** "Kamu mau bilang apa tadi?" Gian berucap saat kami keluar dari gedung perpustakaan, sedang berjalan menuju parkiran motor. Hari sudah gelap ketika kami keluar. Aku tidak sadar dengan waktu yang berlalu karena sempat tertidur. Gian-lah yang membangunkanku saat hendak pergi. Aku yakin mataku yang sayu sekarang jadi tambah sayu lagi. Aku masih ingin tidur."Lupain aja. Nggak penting juga.""Siapa tahu buat aku malah penting." Kantukku menghilang mendengar kalimat Gian, "Ah, yang mau aku bilang nggak jelas juga, kok. Mending nggak usah." Aku tertawa canggung."Siapa tahu aku bisa buat jadi jelas." Dia mendesakku. Remangnya lampu yang menerangi parkiran tidak menyembunyikan sekulum senyum di wajah orang di hadapanku. Hanya ada tiga motor yang tersisa di tempat parkir, salah satunya motor hitam milik Gian."Kok maksa, sih?" protesku.Dia terkekeh kecil, "Jadi, sebenarnya kamu mau bilang apa?" Aku mengembuskan napas yang cukup panjang. Setelah ini dia mungkin akan menganggapku kekanak-kanakan atau aneh, bisa juga penuh imajinasi. Ah, masa bodoh. "Kamu percaya kalo parallel universe itu ada?" tuturku sangat datar. Sama sekali tidak ada antusias untuk menanyakannya pada cowok ini."Cuma itu?" dia mendengus."Apa aku bilang! Nggak penting, 'kan?""Bukan nggak penting! Kali aja kamu mau bilang yang lain.""Yang lain gimana maksudnya?" aku berpikir."'Aku suka kamu.' Mungkin?" Tenggorokkanku macam tersedak sesuatu sampai terbatuk. Tidak parah kok, hanya dua kali. Satu tangan aku arahkan untuk memegang leherku, lalu memijatnya dengan sangat lembut, berharap tenggorokkanku akan merasa lebih baik.Bisa kulihat orang di depanku sedang tersenyum senang setelah melihat reaksiku."Aku cuma memercayai apa yang aku lihat." Lanjutnya saat aku tidak sanggup membalasnya sehabis terbatuk tadi. Tepat sekali, sebagaimana anggapanku pula sebelumnya. Tapi sekarang, perlahan-lahan aku meragukannya. Dunia paralel itu mulai terasa nyata, apalagi setelah melihat jejeran angka dalam rekeningku. Maksudku, siapa orang gila yang berani mengirimkan ratusan juta rupiah hanya untuk mengerjai seseorang? Tidak ada keuntungan berarti yang akan diterimanya. Satu hal lagi, rekening itu bukan berasal dari—satu-satunya—bank yang biasanya aku gunakan. Rekening itu berasal dari bank yang berbeda."Termasuk otakmu?" candaku saat mampu berbicara."Itu hal yang berbeda, Adel." Sekali lagi aku mengajukan pertanyaan, masih tentang hal yang sama tentunya, "Ok! Tapi, gimana kalau dunia paralel benar-benar ada?""Well... Kalaupun ada, emangnya kenapa? Aku juga nggak tahu letaknya ada di mana.""Ya... Kamu nggak penasaran sama diri kamu yang lain, gitu?" lalu aku mengarahkan telunjukku di depannya, hampir setara dengan wajahnya. "Mungkin aja, kamu 180 derajat berbeda di dunia paralel." Telunjukku menggambar setengah lingkaran di udara malam yang mulai terasa dingin. Gian memegang tanganku dan menurunkannya dengan perlahan. Singkat, namun aku bisa merasakan betapa hangat dan lembut tangannya."Aku lebih penasaran tentang kita berdua di dunia itu. Lebih bagus lagi kalau kamu jadi pacar aku di sana." Kembali aku merasakan tenggorakanku tersedak, kali ini tanpa batuk. Sepertinya Gian ingin aku terbunuh dengan cara tersedak seperti ini.

AdelinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang