Aku tertidur!
Di dalam mobil ini seperti ada gas tidur, bahkan aku tidak mengingat kapan aku jatuh tertidur. Satu menit setelah mobil dijalankan tadi? Tidak. Rasanya lebih cepat, mungkin melebihi kecepatan cahaya. Oh, sungguh berlebihan, karena tidak secepat itu juga. Pokoknya, sangat cepat.
Anehnya, hanya aku yang terlelap, pria tua dan si pengemudi tampak baik-baik saja.
Tahu-tahu aku terbangun dengan rasa kantuk yang hebat dan si pengemudi telah menghentikan mobil di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi ke atas. Oh! Nampaknya mereka tidak ingin membunuhku secara langsung, tapi membawaku pada tempat yang pas untuk melompat. Haruskah aku berterima kasih?
"Kakek ingin aku melompat dari gedung ini?" tanyaku terang-terangan.
"Masuklah ke rumahmu."
Aku beralih melihat si kakek. Bagaimana bisa rumahku tiba-tiba berada di sini.
"5103 adalah kamarmu." Ucapnya melihat kebingungan pada wajahku.
"Kakek gila?"
Dia terkekeh, menganggap aku sedang bergurau, "Cobalah dulu. Kami akan menunggu di sini. Kalau kamu tidak bisa masuk, maka keluarlah kembali." Jelasnya. "Kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya, bukan?"
Masalahnya ini bukan mencoba, tapi cari mati.
Eh? Bukannya itu yang memang aku cari? Sudahlah. Aku ikuti saja perintahnya.
Seorang penjaga berseragam hitam sedang duduk di sebuah meja yang melingkar. Ada kopi kaleng di atas meja, pria itu terus memperhatikan pintu masuk yang terbuat dari kaca.
Biar kutebak. Usianya berada pada pertengahan 30-an. Badannya besar dan kekar, seperti parah pelatih yang ada di pusat kebugaran atau gym. Nyaliku langsung menciut untuk masuk ke dalam.
Kulirik pria tua yang berada dalam mobil. Beliau hanya menganggukkan kepalanya. Dia seakan berkata, "Masuk saja." Hah! Apa boleh buat!
"Selamat malam, Mbak Adel." Sapa penjaga itu ramah begitu aku berhasil masuk ke dalam.
Wah! Dia tahu namaku? Bagaimana bisa?
"Selamat malam juga, Pak!" aku berusaha terdengar sopan.
"Pulangnya telat lagi, ya, Mbak." Penjaga itu mendekatiku, aku mulai ketakutan.
"Ah, ya, gitu deh."
"Kalau begitu istirahat saja, Mbak. Mari Mbak, saya antar ke lift."
Langkahku mengikuti sang penjaga yang telah berjalan di depanku, masih dengan rasa takut yang tersisa. Ditekannya tombol pada lift, dan pintu benda itu langsung membelah menjadi dua. Aku segera masuk ke dalamnya. Sedangkan penjaga itu, sekadar memasukkan sebagian tubuh dan tangannya agar dapat menjangkau tombol lift.
"Lantai 5 kan, Mbak?" tanpa menunggu jawaban, penjaga itu menekan tombol lima dan keluar dari area lift.
"Oh, iya. Terima kasih!" senyuman terbaik—yang aku bisa—aku berikan padanya.
"Sama-sama." Balasnya ikut tersenyum.
Sebelum pintu lift tertutup, aku melirik bordiran nama pada baju di dada kirinya. Pandji Danumaya yang tertulis di sana. Itu pasti namanya.
Setidaknya Pak pandji mempermudahku untuk menemukan, yang kata si pria tua, rumahku. Jadi 'rumahku' berada di lantai lima.
Begitu lift terbuka, lorong yang sunyi mencekamlah yang menyambutku. Terasa sangat asing karena ini adalah pertama kalinya aku ke sini. Bagaimana ini bisa disebut sebagai 'rumahku'? Lelucon si pria tua itu ternyata belum berakhir. Bodohnya, aku mau saja mengikuti perkataannya.
Mudah untukku menemukan kamar dengan nomor 5103. Keren sekali! Pintu kamar itu tidak menggunakan kunci biasa, melainkan password.
Sekarang, apa password-nya?
Suara bip terdengar mengisi kesunyian lorong ketika aku mulai menekan angka yang ada. Jika ini rumahku, aku tidak mungkin memasukkan password yang mudah. Siapapun yang menggunakan ulang tahunnya sebagai sebuah sandi adalah orang yang bodoh. Maksudku, berilah sebuah keamanan pada ruang pribadimu.
Jadi, kemungkinan passwordnya adalah 0401, tanggal ulang tahun dari Sir Isaac Newton. Berhasil! Bunyi pertanda pintu berhasil dibuka terdengar.
Aku tidak bisa dibilang sebagai seorang penggemar Isaac Newton. Hanya saja, aku terkesan dengan cerita tentang beliau yang menemukan beberapa teori di tengah wabah yang tengah melanda London kala itu; termasuk teori gravitasinya. Lebih hebatnya lagi, ia menemukannya di usia 20 tahun. Sedangkan aku, di usiaku yang 19 tahun ini malah merasa lelah dengan hidup yang aku jalani dan ingin mati saja.
Ruangan yang gelap menyambutku ketika pintu terbuka. Hanya cahaya dari luar pintulah yang membantuku melihat.
Buru-buru aku mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter, kemudian masuk ke dalam ruangan gelap itu dengan perlahan sambil mencari-cari sakelar lampu. "Permisi! Ada orang tidak, ya?" panggilku, namun tidak ada yang menjawab.
Aku langsung menyalakan lampu begitu menemukan sakelar yang tidak jauh dari pintu masuk.
Begitu ruangan itu berhasil diterangi oleh cahaya, hanya kekaguman dengan mulut yang menganga yang bisa aku lakukan.
Ini rumahku? Bagaimana bisa aku tinggal di tempat luar biasa seperti ini saat uang kos saja masih menunggak?
Pintu yang tiba-tiba tertutup membuatku terperanjat. Ah! Aku memang tidak memberikan penahan pada pintu itu tadi. Tidak terlalu peduli dengan pintu, aku segera menjelajahi apartemen yang katanya milikku.
Sofa abu-abu pada ruangan tengahnya cukup besar, tubuhku akan sangat pas untuk tidur di situ, aku bisa saja tidak memerlukan kasur lagi. Smart TV yang besar keluaran terbaru berdiri tegap menghadap sofa itu. Di sisi kanan ada rak buku kayu berwarna putih yang menempel di dinding. Setiap raknya berisi buku-buku pedoman Ilmu Komunikasi, tepat di sampingnya ada meja belajar. Berarti, aku melakukan tugas-tugas kuliahku di situ.
Aku berbalik mendekati dapur yang memiliki lemari es dua pintu. Berbagai bahan makanan—serta cemilan—ada di dalamnya ketika aku membuka pintu lemari es itu, beberapa kaleng bir dan minuman bersoda juga ada. Kututup lagi pintu lemari es dan mencari kamarku.
Hanya ada satu pintu dalam apartemen ini selain pintu masuk. Cepat-cepat aku mendekatinya dan membuka pintunya. Seakan kejutannya belum selesai, aku kembali ternganga dengan luasnya kamar. Aku bisa tidur sesukaku di atas kasur berukuran king size itu.
Tanpa ragu aku masuk ke dalamnya, membuka lemari pakaian dan menemukan berbagai macam pakaian branded yang tidak mampu aku beli. Bukan hanya pakaian, tapi aku menemukan tas, sepatu, dan skincare yang lengkap. Tidak mungkin jika ini semua milikku.
Tetapi, begitu menemukan sebuah foto dalam bingkai kecil di atas lemari kecil yang ada di samping tempat tidur, aku menemukan keyakinan kalau semua ini adalah milikku.
Itu adalah fotoku. Tapi aku tidak mengingat kapan aku mengambilnya. Dalam buku-buku catatan kuliah juga tertulis namaku.
Di samping foto itu ada ponsel keluaran terbaru berwarna putih. Tanganku bergetar memegang ponsel yang harganya bisa digunakan untuk memberli puluhan karung beras kemudian membagikannya kepada semua orang di kampung.
Fotoku yang sedang bergaya di sebuah pantai pasir putih yang muncul ketika aku menyalakannya. Ponsel bututku yang sudah aku gunakan selama empat tahun terakhir, pasti langsung insecure melihat Si Putih yang mahal dan cantik ini.
Aku pun semakin yakin lagi kalau semua ini adalah milikku, tanpa memedulikan fakta di mana sebenarnya aku berada sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
Teen FictionAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...