Sebelum ke kampus, aku sempat singgah di ATM. Tanganku sampai sekarang masih gemetar setelah melihat nominal yang ditampilkan oleh layar biru kecil. Jantungku sampai berdebar dengan cepat saat menghitung jumlah angka pada layar. Ada sembilan angka yang nampak. Beberapa kali sudah aku hitung dan tetap saja ada sembilan angka di sana. Saking lamanya aku berhadapan dengan mesin yang akan mengeluarkan beberapa lembar uang, orang-orang yang mangantre sampai menyambat. Uang dalam rekeningku bisa aku gunakan selama beberapa tahun ke depan tanpa perlu bekerja. Tak perlu khawatir bila akan kehabisan uang. Asalkan hanya menghabiskan uang untuk barang-barang yang aku butuhkan, masalah ekonomiku sudah teratasi. Setidaknya, sampai aku mulai bekerja apabila telah lulus nanti. "Pagi, Del!" Gian telah berjalan di sampingku yang sedang berjalan menuju ruangan kelas. "Eh—Pagi juga." Kenapa jadi aku yang kikuk saat ada di dekatnya? "Aku nggak lihat mobil kamu di parkiran. Nggak bawa mobil, ya?" Omong kosong apa lagi ini, duduk di belakang kemudi saja aku tidak pernah, apalagi punya sebuah mobil. "Lagi males bawa mobil." Aku tetap saja membalasnya. "Kacamata kamu ke mana?" tanyaku saat kesunyian menimpa perjalanan kami menuju kelas. Gian terkekeh. Lesung pipinya ikut terekspos, membuat sekelilingku menjadi lebih cerah. Aduh, mungkin aku mulai gila!"Kok pertanyaan kamu aneh. Kan udah lama aku lepas." Seakan-akan tidak peduli dengan kalimat pertamanya, masih saja aku penasaran dan kembali bertanya, "Sejak kapan?" Cowok di sampingku kini memberikan tatapan yang aneh terhadapku, "Beberapa hari setelah kamu nolak aku." Aku terkesiap, dia juga menyatakan perasaannya padaku di sini. Sedetik kemudian raut wajahnya melembut, "Kata kamu, kalau aku mengubah sedikit saja penampilanku, kamu bakalan suka sama aku. Tapi, kayaknya kamu masih suka aja sama Yoga." Lanjutnya. "Aku?" suaraku meninggi. Gian mengangguk, "Bukannya kamu nolak aku karena suka sama Yoga waktu itu? Tapi, Yoganya keburu jadian sama Gita."Aku berpaling melihat jalan di depan, menahan sesak di dada. Bahkan, jika ini memanglah dunia yang berbeda, kenapa aku tetap menyukai si brengsek Yoga? Aku dan diriku yang lain sama saja bodohnya. Bedanya, Adel yang lain itu tidak merasakan sakit diselingkuhi seperti yang aku rasakan. "Gita tahu kalo aku suka sama Yoga?" suaraku terdengar lirih. "Belum kayaknya. Kamu sendiri yang bilang harus dirahasiain dari Gita." Syukurlah dia masih bisa mendengarku."Kok aku bisa bilang ke kamu?"Gian hanya mengedikkan bahunya. Aneh! Aku bukanlah tipikal orang yang dengan mudahnya mengatakan hal semacam itu pada seseorang. Lebih baik untukku menyimpannya seorang diri. Pemandangan dua pengkhianat menyambutku yang hendak masuk ke dalam kelas. Jadi, di tempat ini pun mereka berdua tetap saling menyukai. Akulah yang sebenarnya menjadi orang ketiga di antara mereka. "Pagi, Adel!" salam yang sangat ceria itu datang dari Jordan saat aku dan Gian memasuki kelas. "Eh? Pagi!" balasku cukup bingung. Tidak pernah aku mendapatkan salam seperti itu dari teman-teman kelasku. "Pagi!" Gian juga membalas Jordan. Yang lain jadi ikut menyapaku dan Gian. Aku membalas mereka dengan tersenyum Jordan ini sangat aktif baik di kelas atau di mana pun dia berada. Bukan aktif dalam hal akademik, tapi tingkahnya yang tidak bisa diam. Teman-temannya sedang duduk diam, Jordan malah mengelilingi kelas, mengunjungi setiap kursi dan menyapa seisi kelas. Jika kelas telah dimulai, barulah Jordan akan duduk diam. Tapi, aku jarang berbincang dengannya. Bukan cuma Jordan, tapi dengan teman-temanku yang lain, aku juga jarang menyapa mereka. Melihat mereka menyambutku seceria tadi, membuat aku merasakan kehangatan. Adel yang dulunya berada di sini jelas bergaul dengan baik dengan temantemannya. Begitu duduk, sapaan yang kelewat ceria kembali berkumandang di dalam kelas. "Selamat pagi, Bella!" Jordan dan teman-temannya menyapa secara harmonis. "Berisik!" celetuk penyihir sombong itu. Tatapan Bella terkunci padaku saat memasuki kelas. Tajam dan dingin, wajahnya yang datar menambah kesan betapa angkuhnya dia.Kutengok Jordan dan teman-temannya. Mereka biasa saja, tidak tersakiti dengan ucapan Bella. Seakan-akan memaklumi perlakuan tidak sopan si penyihir yang telah duduk. Selanjutnya yang memasuki kelas adalah pasangan yang membuatku muak, Yoga dan Gita. Gita dengan senyumannya yang lebar menghampiri tempat kosong di sampingku. Aku memaksakan diri untuk menarik kedua sudut bibirku untuk membalasnya. Yoga yang tidak kebagian tempat di depan, memilih duduk bersama Jordan di bagian belakang. Hah! Pagiku yang awalnya cerah, mendadak ditudungi dengan awan mendung dalam sekejap. Tidak sampai di situ. Aku mengekor ke manapun Gita dan Yoga pergi selama di kampus. Menyedihkan sekali nasibku. Ingin menolak, tetapi paksaan Gita sangat ampuh untuk mengajakku. *** Akhirnya, setelah melalui penyiksaan batin selama berjam-jam, aku bisa terbebas dari Gita— juga Yoga. Tadinya, Gita mengajakku jalan-jalan yang kutolak dengan alasan yang mengada-ada. "Aku harus bawa mobil ke bengkel, Git." Alasanku tadi. Untung saja aku mengingat ucapan Gian tadi pagi soal mobil. Gita juga bodoh mau percaya begitu saja. Dia harusnya berterima kasih, karena aku memberikan ruang untuknya berduaan dengan Yoga. Setelah mengetahui betapa brengseknya Yoga, minatku pada cowok itu telah berkurang. Walaupun, amarah karena diselingkuhinya masih melilit sepanjang aliran darahku. Aku menelusuri trotoar kampus, tidak tahu lagi harus ke mana setelah berhasil kabur dari Gita dan Yoga. Setidaknya, aku bisa menikmati waktu luangku dengan santai sekarang. Menghirup udara yang berpolusi layaknya sedang berada di pegunungan. Ya, anggap saja udaranya bersih. Sebuah motor bebek yang tidak asing berhenti di sampingku. Aku pun berhenti dan melihat pemiliknya yang tidak mengenakan helm."Pulang, Del?" tanya Gian.Aku menggeleng, "Jalan-jalan aja.""Jalan-jalan kok di kampus. Mending ikut aku aja!""Ke mana?" tawarannya menarik perhatianku."Ngerjain tugas di perpus. Mau?" dia tertawa ringan mengejek. Sialan. Aku kira dia akan mengajakku ke suatu tempat yang tidak membosankan. Gian tetaplah Gian, meski penampilannya telah berubah. Aku lupa dengan satu kelebihan dari Gian yang membosankan; Gian yang pintar dengan IPK tertinggi seangkatan. "Boleh." Kuterima tawarannya. Toh, tidak ada tempat yang bisa kutuju sekarang. Wajahnya jelas menunjukkan dia tercengang, tidak menduga kalau aku mengiyakan untuk ikut ke perpustakaan. Tanpa diminta, aku langsung melompat ke jalan dan duduk di jok belakang motor Gian."Ayo, jalan!" perintahku. Butuh beberapa saat sampai Gian tersadar untuk menjalankan motornya.Selama ini tidak pernah terbesit dipikiranku untuk duduk di motor Gian. Sekarang, aku dengan rela hati melakukannya. Setelah memarkirkan motor di parkiran yang cukup ramai dengan motor-motor lainnya, kami berjalan menuju pintu masuk perpustakaan. Aku berhenti melangkah setelah meraih ujung lengan jaket Gian. Aduh, seperti anak yang takut tersesat saja. Cowok itu jadi berhenti juga dan melirikku penuh tanya."Aku belum punya kartu perpus," seruku tanpa ditanya. Gian tersenyum. Senyuman yang anehnya terasa menenangkan. "Nggak apa-apa. Kecuali kamu mau pinjam buku atau skripsi, baru deh wajib punya kartu anggota perpustakaan." Aku mengerti. Harap dimaklumi! Selama kira-kira empat semester kuliah, aku belum pernah menginjakkan kaki di perpustakaan untuk belajar ataupun mengerjakan tugas. Begitu memasukkan nama dan nomor induk mahasiswa pada sistem komputer, aku mengikuti Gian masuk ke dalam rungan yang dikelilingi berbagai jenis buku. Suasana di dalamnya sangat senyap. Semuanya duduk dan fokus dengan buku yang terbuka di atas meja. Gian memilih salah satu meja persegi yang kosong, diletakkannya tas dan jaket yang telah dilepasnya sejak memasuki perpustakaan. Aku menarik kursi dengan hati-hati dan duduk, Gian langsung pergi menyusuri rak-rak tinggi yang dipenuhi buku-buku. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Gian kembali dengan tumpukan buku di tangannya. Tidak banyak, hanya tiga buku yang membahas tentang; Public Relations, Theory of Human Communication, serta jilid lengkap ensiklopedia teori komunikasi. Aku tidak ingat—tepatnya tidak tahu—kalau kami memiliki tugas. Bisa jadi itu tugas yang dibicarakan Gita di kelas kemarin. Dan aku tidak ingin peduli, belum ada hasrat yang kuat untukku mengerjakan tugas. Gian sedikit mendekatkan tubuhnya ke arahku, "Kamu nggak ngerjain tugas Prof. Simon? Kelasnya besok lho," dia berbisik agar tidak mengganggu mahasiswa lain yang sedang fokus. Oh, ternyata bukan tugas yang dibahas Gita kemarin. Belum sempat aku menjawab, dia melanjutkan lagi, "Lupa. Kan kamu bilang udah dikerjain, ya." "Eh?" Aku melongo, namun tidak dihiraukan lagi karena Gian langsung menyibukkan dirinya dengan mengeluarkan binder kulit berwarna hitam dari dalam tas. Terus dia mulai membuka buku cetak yang diambilnya tadi, entah dari rak bagian mana, lantas ia menenggelamkan diri dalam buku-buku yang hampir memenuhi meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adelina
TeenfikceAdelina lelah dengan kehidupannya yang melelahkan. Apalagi, setelah mengetahui kalau sahabatnya selingkuh dengan pacarnya. Adel yang lelah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Di tengah kebingungannya memikirkan cara yang tepat untuk mengakhiri hid...