10. Fate

1 0 0
                                    

Di hari Jumat, aku hanya memiliki satu kelas pada pukul sepuluh. Biasanya, aku akan langsung pulang dan mengerjakan tugas yang belum aku kerjakan, lalu beristirahat sejenak dan barulah berangkat ke tempat kerja. Sekarang berbeda. Setelah kelas selesai, aku pergi ke mall, membeli apa yang aku inginkan dan makan apa yang aku mau. Hal yang tidak mungkin aku lakukan sebelumnya. Gita yang mengajakku. Gadis ini merengek padaku begitu kelas selesai. Aku tidak punya pilihan karena semua orang di kelas menaruh perhatian pada kami berdua. Pacarnya, Yoga, hari ini tidak hadir dan Gita katanya sangat bosan, lebih lagi dia merasa aku sedang menghindarinya. Memang betul. "Kamu marah sama aku, Del?" tanyanya saat aku terus menolak ajakkannya. Banget!Aku tidak mengatakannya, yang keluar dari mulutku malah, "Nggak kok. Mana bisa aku marah sama kamu.""Ya sudah, kalo gitu ayo, Del. Kita jalan-jalan," dia merengek sambil mengguncang tanganku. Begitulah sampai aku berakhir di tempat makan pizza bersama Gita sekarang. Ketika jalan-jalan bersamanya, aku justru melupakan bagaimana dia mengkhianatiku. Geram yang aku simpan seakan-akan menguap di udara. Setelah aku pikirkan lagi, Gita dan Yoga tidaklah melakukan kesalahan di tempat ini. Mereka berdua bukanlah orang yang menusukku dari belakang. "Habis ini, temenin aku cari hadiah ulang tahun buat Yoga, ya?" pinta Gita. Aku tidak keberatan dengan permintaannya, kesal pun tidak, jadi aku anggukkan kepalaku. Sepertinya aku memang mulai mengikhlaskan hubungan mereka berdua."Ada saran hadiah, Del?"Aku yang sedang mengunyah pizza buru-buru menelan potongan yang ada dalam mulutku."Kaos?" saranku, teringat hadiah yang pernah aku berikan pada pacarku, Yoga yang brengsek.Gita mengibaskan tangan di depan wajahnya. Kebiasaan gadis itu kalau tidak setuju dengan sesuatu."Yoga punya terlalu banyak kaos. Aku maunya sesuatu yang berkesan, unik, kalau bisa hanya ada satu-satunya di dunia.""Banyak maunya, bikin sendiri kalu mau yang kayak gitu." Mata Gita seketika membesar, pandangannya seakan-akan bersinar seperti menemukan sebuah harta karun. "Pinter banget kamu, Del! Thank you. Aku jadi tahu mau ngasih apa buat Yoga." Serunya yang kemudian mencubit kedua pipiku. Aku membiarkannya, meskipun ada rasa sakit di pipiku. Tidak lupa aku melemparkan senyum padanya."Kamu makin dekat sama Gian, ya. Apa udah jadian? Nggak mau cerita?"Hampir saja aku mengeluarkan potongan kecil pizza yang baru masuk ke dalam mulut. Pembahasan ini terlalu tiba-tiba untukku."Siapa yang jadian?" kataku setelah potongan pizza tadi melewati kerongkongan."Lha, belum? Sayang banget." Tidak kuacuhkan lagi omongan Gita. Aku lebih memilih menikmati pinggiran pizza yang aku sisakan untuk dinikmati terakhir."Git," panggilku pada orang yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Dia terlihat sedang mengetikkan sesuatu di atas layar datar itu."Kenapa?" dia menoleh. Aku jadi ingin menanyakan pada Gita pertanyaan yang sama dengan yang aku berikan pada Gian saat di perpustakaan. Aku tidak memerlukan jawaban kalau dia percaya atau tidak. Pendapatnyalah yang ingin aku dengarkan. "Kamu percaya kalau ada dunia lain selain dunia kita ini?" raut wajah aku buat serius, menandakan aku tidak sedang dalam kondisi untuk bercanda."Percaya. Dunia orang hidup dan mati kan dua dunia yang berbeda."Raut wajahku yang serius berubah melongo mendengar jawabannya. Memang jawabannya tidak salah, tapi bukan itu yang aku maksudkan.Sekali lagi aku menatapnya dengan serius, "Benar. Tapi maksud aku, bagaimana kalau ada dua Bumi di dunia ini." Aku memberikan gambaran dengan mengangkat kedua telunjukku. "Orang-orangnya, nama, bahkan kegiatan kita juga sama, dan kita juga temenan di sana.""Menarik," ada antusias yang tergambar di wajahnya. "Apa aku pacaran dengan Yoga juga?" Telunjuk yang terangkat pun jatuh begitu saja, seakan-akan tanganku kehilangan kekuatannya. Kukatakan saja dengan jujur, "Nggak. Aku yang pacaran sama Yoga." Lihatlah, gadis ini menyipitkan matanya menatapku. Aku lanjutkan saja, "Tapi, dia selingkuh sama kamu. Kalian berdua megkhianatiku di sana."Amarah yang aku kira telah hilang sebelumnya, sepertinya kembali lagi. Wajahnya tampak kesal mendengarkan ocehanku, "Apa kamu ngamuk di depan aku? Nampar aku juga?" Sejenak aku terdiam. Tidak sempat aku lakukan, karena yang selanjutnya aku pikirkan adalah rencana untuk bunuh diri, sampai akhirnya aku berakhir di sini."Nggak! Aku cuma menangis." Jawabku dengan jujur. "Cewek bodoh!" aku tersentak, dia baru saja mengataiku. "Seharusnya kamu marah. Tampar atau pukul aku. Teman tidak tahu diuntung kayak gitu, nggak pantas kamu tangisi.""Gita," gumamku cukup terharu dengan yang dikatakannya."Nah, kalau kamu tambah bagian itu, pasti ceritanya jadi lebih seru." "Maksudnya?" salah satu bagian mataku menyipit setelah mendengar ucapan Gita."Kamu pasti mau coba nulis cerita, 'kan? Jadi, bagian mananya yang dunia lain?" Dari awal, aku memang tidak seharusnya bertanya pada Gita. Sebesar apa pun usahaku mencoba serius, pasti akan berakhir dengan Gita yang menganggapnya candaan atau seperti tadi, menganggapku sedang berimajinasi. Beruntung aku tidak sampai menitikkan air mata karena mendengar ucapannya yang sempat menyentuh bagian kecil dalam hatiku. Dan dia benar, daripada menangis sendirian di pangkalan ojek, aku harusnya mengamuk malam itu dan mendaratkan satu tamparan keras di pipi chubby-nya. Sayang sekali, nyaliku terlalu kecil, lebih lagi hatiku terlalu hancur malam itu. "Oh ya, Git, kayaknya aku nggak pulang sama kamu deh.""Lho? Kenapa?" "Mau mampir ke suatu tempat dulu," "Kalo gitu biar aku temenin." "Nggak perlu, biar aku sendiri aja." "Oke!" Aku ingin menemui pria tua. *** Tidak sulit untukku menemukan rumah kopi kali ini. Pasar telah sepi, tidak ada lagi penjual yang menjajakan dagangan. Lampu di pasar juga tidak begitu terang, aku perlu menggunakan flashlight dari ponsel agar dapat melihat jalan lebih jelas. Pria tua sedang duduk menghadap pintu masuk kala aku tiba. Aku tidak membuang-buang waktu dan langsung menghampirinya, duduk di kursi kosong yang berhadapan dengannya. Dia sedang menikmati kopi hitam dan bakpao yang telah habis setengah. Dia menyeruput kopi di cangkir sambil menatapku penuh minat. Aku menyegat pelayan yang kebetulan melewati tempatku lalu menyampaikan pesananku, "Kopi susu sama bakpaonya satu." Kemudian aku menyerahkan selembar uang. Pelayan itu hanya mengangguk dan menerima uangku, lalu ia mencatat pesanan sambil berjalan menuju arah dapur. "Ada cerita menarik?" pria tua meletakkan cangkir kopinya di atas piring kecil. "Bukan cerita, tapi ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku." "Apa itu?""Jika ini benar-benar dunia yang berbeda dari duniaku yang sebenarnya, lalu ke mana diriku yang seharusnya tinggal di sini?" Ia meraih bakpao di atas piring dan memasukkannya ke dalam mulut. Mulutnya kini penuh dengan potongan bakpao. Aku jadi ngiler sampai menelan ludah. Waktu terasa berjalan lambat sekali saat menunggu pesananku datang."Kau akan tahu nanti, atau kau tidak akan memikirkannya lagi nanti." Jawabnya setelah menelan bakpao di mulutnya. "Kok gitu? Apa mungkin dia juga sedang berada di tempat lain?" seketika aku menepuk tanganku, "Kami bertukar tempat ya, Kek?" tuturku saat asumsi itu muncul dalam benakku. Tapi, pria tua itu tidak menjawabku lagi. Ia sibuk menikmati sisa bakpaonya. Pria tua yang tidak sopan, mana boleh dia tidak mengacuhkan orang yang sedang berbincang dengannya, kecuali dia tuli. Tetapi, pria tua ini sengaja tidak ingin mengacuhkanku. Untung saja pelayan datang membawa pesananku. Kekesalan karena tak diacuhkan pun menguap bersamaan dengan uap panas yang keluar dari makanan berwarna putih dan lembut yang dihidangkan di depanku. Pria tua ini harus berterima kasih pada bakpaoku."Bukankah kau menikmati berada di tempatnya?"Pria tua akhirnya membuka suara saat aku sedang menikmati bakpao dalam kedamaian. Merasakan sensasi manis dari kulit bakpao yang lembut dan isinya yang kaya rasa.Dia benar. Tidak bisa aku mengelak kalau memang menikmati apa yang aku miliki sekarang."Benar. Tapi—" "Kalau begitu jalani saja. Anggap saja ini adalah takdir yang mengubah kehidupanmu." Ia baru saja memotong ucapanku.Tidak aku bantah lagi ucapannya, yang aku lakukan selanjutnya adalah terus menikmati bakpao dan kopi susu.Ya, pria tua ini benar. Kenapa harus memikirkan diriku yang lain? Kini semuanya adalah milikku. Aku hanya perlu menikmati apa yang aku miliki saat ini. Tidak perlu memikirkan yang tidak perlu.

AdelinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang