Masih dengan kebiasaannya, Seungkwan terdiam bak benda mati kala ketakutan mulai merasuki tubuh.
Tidak, ia tidak takut terhadap amukan Vernon. Lebih dari itu, ia hanya takut kalau dunia ini benar disudahi oleh tangan si suami.
Hey. Manik mereka sudah berwarna sedari tadi. Maka usia si dominan tak mungkin sampai esok hari. Lantas, apakah ia ingin pergi selamanya dan meninggalkan kebencian orang-orang sekitar untuk ditanggung Seungkwan?
Mungkin detik ini seorang Yoon Jeonghan menangis miris guna diampuni dan dibebaskan dari ancaman mati, tapi esok?
Sungguh. Seungkwan lebih dari takut membayangkan dendam setelah hari ini meskipun bisa saja kiamat mungkin terjadi dan seluruh orang dihabisi.
Tapi. Vernon bukan Tuhan meski ia putra bulan. Kan?
Terus memikirkan konsekuensi, membuat otaknya sulit berfungsi. Terlebih ketika pemandangan di hadapannya jauh dari kata baik-baik saja.
Mungkin kalau sekarang ia berada di bioskop, tak ada anehnya melihat bagaimana setiap langkah seseorang meninggalkan jejak api di tanah. Kepalan tangan yang mengerat bagaikan gumpalan lahar panas. Berasap seiring dengan berayunnya lengan tersebut menghabiskan barisan manusia terdepan.
Kota ini hancur. Entah sejak kapan.
Langit malam terang tak lagi karena bulan. Melainkan kobaran api di sekeliling dan juga manik kemarahan sang purnama.
Separuh kagum separuh takut. Mungkin adalah kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan diamnya Boo Seungkwan memandang satu per satu manusia berjatuhan di depannya.
"K-kwan.. aku- maaf.."
Itu Mingyu.
Terlihat tak berdaya walau tak berdarah.
Tangannya tergapai, hendak menyentuh sang saudara ipar, namun gagal.
Bukan.
Ditolak, maksudnya.
"Kau..
Keluargamu..
Berurusan dengan orang yang salah..""Kwan-"
"Liam."
Keduanya terkejut.
Baik yang dipanggil maupun yang memanggil. Seperti suara dari alam bawah sadar, Seungkwan seketika menyesal telah menyuarakan nama sang anak yang sedari tadi sibuk bersimpuh menahan sakit maniknya.
"Liam.."
"Ne-?"
"Kill him."
Lagi. Perintah yang bukan dari otak Seungkwan, seolah menguasai gerak tubuh sang anak karena tanpa perlu banyak tanya, Liam membuka mata.
Memamerkan dua warna berbeda yang ketika bersitatap dengan manik selain biru dan merah,
mereka musnah.
Anehnya, tak lagi ada rasa sakit setelah perintah pertama terbilang.
Liam mendongak, menatap bagaimana abu pria bernama Kim Mingyu menyatu dengan udara.
Terus ke atas, seakan menjadi tumbal sang bulan.
"L-liam.. a-apa yang ka-u laku..kan...?"
Salah, Kwan.
Apa yang telah kau lakukan?
"You know, mom.."
Bisik tersebut datang dari bocah di depannya. Berdiri membelakangi. Masih mendongak, namun terasa asing karena suaranya terkesan berat. Sangat berat. "Daddy said I can control my eyes.. my power.. everything.."
KAMU SEDANG MEMBACA
✓The Moon [VerKwan BxB]
FanfictionWhat's ur eye color? Warn! Fantasy Mpreg Family Less than 1000 words per chap Disclaimer! Pictures and names are used to visualise only. They're not mine and credits belong to their original owners.