B A G I A N E M P A T B E L A S
[ c o n f e s s i o n ]
"Aku mau ambil kedokteran, Pah." Kalimat itu keluar begitu saja mengisi ruangan besar berlantai pualam yang tadinya sunyi dan hening. Tapi bukan tanpa rencana, kalimat lantang yang terucap dari mulut Jovin barusan adalah hal yang selalu ia rencanakan dari dulu. Jovin kira dia tidak akan pernah berani mengatakannya. Sampai sebaris petuah yang mungkin saja diucap asal oleh perempuan berambut sebahu itu mencerahkannya dalam sedetik, bahkan gadis itu sekalipun mungkin tak tahu bagaimana kata-katanya secara konyol bisa mengubah rasa keberanian Jovin dalam hitungan singkat.
Kini, Jovin berdiri tegap menghadap ayahnya.
"Maksud kamu gimana?" Ayah Jovin mengernyit.
Jovin menghela napas panjang.
"Cita-citaku dari dulu cuma satu, aku mau jadi Dokter. Sampai sekarang dan sampai kapanpun cita-citaku cuma itu."
Prawira membisu, terutama ketika mendengar satu kata yang paling keramat untuk diucapkan di rumah itu. Dokter.
Prawira menatap tajam Jovin lalu berjalan melewatinya, kemudian duduk di sofa beludru panjang warna kuning emas yang tampak empuk dan hanya akan ditemui di rumah-rumah bangsawan pada masanya. Jovin mengunci tatapan itu pada mata Prawira, tidak mengindahkan pandangannya sekalipun.
Jovin menunduk. Nyalinya ciut sejenak. Mempertanyakan apakah tindakannya kali ini tepat atau justru salah. Tapi ketika suara seseorang itu mengisi benaknya kembali, Jovin segera tahu bahwa ini adalah hal paling benar yang pernah ia lakukan selama ini.
"Aku bisa belajar bisnis, kalau Papa memang semau itu jadiin aku pewaris. Tapi izinin aku ... Izinin aku buat selesain pendidikan dokter dulu." tangan Jovin mulai gemetar. Dia tidak biasa bicara banyak dengan keluarganya sendiri, terutama ayahnya.
"Jangan sekali-kali kamu berpikiran gila begitu, Jovin! Susah payah saya berusaha supaya anak-anak saya tidak ada satupun yang menyentuh pekerjaan itu!"
"Pah!" Jovin mengatur napasnya. "Sampai kapan Papa harus hidup kayak gini? Sampai kapan harus hidup ketakutan dan lari dari kenyataan terus kayak gini?"
Tangan Jovin mengepal. Kini ia tidak tahan lagi.
"Prioritas utama saya adalah jadi dokter seperti bunda, dan saya akan lakukan itu, apapun halangannya. Saya yang berhak atas hidup saya sendiri, Pah."
"Bunda, bunda, bunda! Jovinio, bundamu itu dokter yang gagal! Jangan sekali-kali sebut dia lagi di rumah ini!"
Jovin mengerutkan kening. Dari sekian hal baik yang bisa pria paruh baya itu katakan tentang bundanya yang telah tiada, tapi ia justru menyebutnya dokter yang gagal?
"Dan hidup ..." Prawira terkekeh. "Tahu apa sih anak kecil kayak kamu soal hidup?"
Ada jeda yang lama. Lama sekali. Sampai Prawira mendongak, menangkap kedua mata anaknya yang menyalak.
Jovin tersenyum miring. "Jauh lebih tahu dari orang yang selama hidupnya cuma ngejar uang, uang, dan uang!"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Jovin. Rasa perih dan panas mulai menjalar begitu telapak tangan nan kasar itu terlepas dari kulitnya. Jovin reflek mengusap pipinya. Tapi belum berhenti sampai situ, Prawira menampar Jo lagi hingga ia tersungkur di lantai. Prawira melempar tablet yang ia pegang sambil meneriaki Jo dengan kata kasar.
"Berani kamu nentang saya, hah?! Udah hebat sekali kamu ya?"
Prank!
Satu gelas yang semula berada di atas meja pun melayang ke bahu Jovin lalu pecah begitu menyentuh lantai. Meski Jovin membisu, Prawira tidak tinggal diam. Dia terus menarik kerah baju Jovin, memukuli, dan meneriakinya seolah seseorang yang sedang ia pukuli sekarang bukanlah anaknya. Beberapa penjaga di luar akhirnya menerobos masuk begitu mendengar keributan dan menenangkan Prawira yang berapi-api, juga membantu Jovin berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Miskin Baru
Teen Fiction"Sar, aku mau jadi orang miskin." Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara...