B A G I A N E M P A T
[ A k u M a u M i s k i n]
"SAR, aku mau jadi orang miskin."
Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara ayam tetangga berkokok, dan senyuman lebar menyambut dunia.
Kalau kemarin kubilang adalah hari Sabtu yang buruk. Ternyata, kemarin belum ada apa-apanya dibanding hari ini. Kalau kemarin kukira dirundung empat titisan biawak berwujud manusia selama seharian penuh sudah terasa sangat buruk. Aku salah. Ternyata ada yang jauh lebih buruk.
Kronologisnya begini, pukul empat pagi tadi mimpiku untuk dipeluk Nam Joo Hyuk nyaris saja terjadi ketika nomorku tiba-tiba saja ditelfon seseorang, lalu buyar lah semuanya. Tentu saja aku kesal. Nomor yang dua hari sebelumnya kuberikan pada Jovin dan sudah kuwanti-wanti dari awal hanya akan kubalas apabila berhubungan dengan Radio. Tapi manusia mana yang bisa berpikir jernih ketika ditelfon pagi buta? Jadi siapapun itu, urusan apapun itu, yang penting kuangkat dulu.
"Sar?"
Aku terlempar kembali pada kenyataan. Di sinilah aku sekarang. Pagi-pagi buta dengan kaus oblong kedodoran, rambut setengah singa, kantung mata segelap dasar lautan segitiga bermuda dan nyawa yang baru terkumpul sepersen, aku harus mendengar pernyataan gila dari orang paling tajir melintir di sekolahku.
Dengan ekspresi datar, aku menutup pintu.
"Eh, Sar!" Jovin mengetuk-ngetuk pintu. Awalnya pelan. Tapi baru saja ingin kuabaikan ketukan pintunya, suara yang dia keluarkan semakin kencang. Lama-lama, ketukan itu lebih terdengar seperti dobrakan pegawai BNN yang hendak menggebrek pemakai obat-obatan terlarang. Kalau aku tidak buru-buru menghentikannya, mungkin para warga yang justru akan datang.
Aku berbalik sambil membuang napas berat, kubuka pintu lebar-lebar.
"Kamu gila?!"
Jovin tersenyum tanpa dosa. Pandanganku lalu turun ke bawah. Lebih gilanya, Jovin tidak hanya membawa diri sekarang. Tapi juga satu koper merah ukuran super besar di sebelahnya, yang kurasa cukup untuk dipakai pergi haji sebulan penuh.
"Ini apa? Kenapa bawa koper segala?!"
Jovin menyengir. "Ibu kamu waktu itu cerita ada satu kamar kosong, jadi aku mutusin untuk coba ngekost di sini. Seminggu aja kok, Sar. Gak lama."
Mulutku melongo sempurna hingga lalat mungkin sebentar lagi akan hinggap di sana. Demi kura-kura ninja dan segala hal yang ada di muka bumi ini.
Aku butuh udara segar sekarang.
[]
Wajah-wajah yang berada di ruangan ini macam-macam ekspresinya. Ayah, Ibu, keduanya kelihatan kaget tapi tenang. Jovin, pelaku utama kericuhan yang terjadi di rumahku pagi-pagi buta begini, wajahnya justru yang paling santai seakan apa yang ingin dia lakukan adalah hal yang 'wajar-wajar' saja. Aku yakin dia sama sekali tidak tahu bahwa dia sinting. Mataku lalu beralih ke wajah-wajah yang lain ... Haish. Wajah-wajah menyebalkan. Orang-orang yang sebenarnya sama sekali tidak ada urusannya dengan hal ini, tapi ikut duduk melingkar di meja makan (yang kini dialih-fungsikan menjadi meja sidang), tak lain tak bukan tentu saja Bang Danu beserta antek-anteknya. Mbak Meta, Mbak Ayu, dan Teh Lilis daritadi terus menatap Jovin tanpa berkedip. Aku khawatir bola mata mereka akan menggelinding sebentar lagi. Sementara Bang Danu ... Ah, aku tahu apa yang ada di pikirannya sekarang. Kuperhatikan dari tadi, Bang Danu terus memandang lamat jam tangan mahal yang dipakai Jovin. Ingin kubilang keras-keras di telinganya bahwa harga dirinya saja bahkan tak akan sanggup membeli jam tangan itu, tapi aku akan membuatnya sedih karena tertampar realita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Miskin Baru
Teen Fiction"Sar, aku mau jadi orang miskin." Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara...