11 | Di balik Jovin

341 58 1
                                    

"How do you live in a body that fights to survive and a mind that tries to die?"

———

B A G I A N S E B E L A S

[ Di balik Jovin ]

"SETELAH lulus nanti kamu langsung ambil Sekolah Bisnis. Papa udah bilang ke Mama, kamu bakal lanjut kuliah di Nanyang Singapur. Jaraknya gak terlalu jauh dan udah terjamin kualitasnya," pria itu berbicara satu arah sambil matanya fokus menatap laptop, seakan lawan bicaranya adalah sebuah patung tak hidup. "Masalah tinggal di apartemen mana juga udah Papa urus. Kamu terima beres. Yang paling penting sekarang, kamu belajar yang bener. Jangan malu-maluin Papa. Buktiin ke Papa kamu itu anak Papa. Jangan kalah sama Kakakmu Fardio yang notabene-nya bukan anak kandung Papa."

Jovin mengunci mulutnya rapat, suara yang hendak ia keluarkan pada akhirnya hanya bersisa udara kosong. Prawira Adhyaksa—nama yang di luar sana seringkali muncul di media massa juga hadir dalam berbagai seminar untuk membagikan pengalamannya selaku pendiri perusahaan 'sukses', kini tengah duduk di atas kursi ruang kerja pribadi dengan pakaian tidur.

Jovin padahal berniat bertemu untuk mengatakan sesuatu, karena bisa dihitung jari keberadaan Ayahnya di rumah dalam satu bulan. Tapi baru saja selesai menutup pintu, perkataan Ayahnya langsung membuat Jovin duduk dalam diam. Ia telan kembali kata-kata itu.

"Nilai kamu semester kemarin gak ada masalah kan?" tanya Prawira.

Dalam hati Jovin tertawa miris. Betapa tepat waktunya sekarang untuk Ayahnya bertanya mengenai nilai yang sudah dibagikan lima bulan lalu. Tapi sudah terlalu biasa bagi Jovin. Bahkan semenjak SMP pun, ia selalu memohon-mohon wali kelas supaya bisa mengambil rapotnya sendiri. Mentok-mentok, meminta Pak Supir menyamar jadi orangtuanya.

Jovin berusaha tersenyum sopan dan mengangguk. "Nggak ada."

"Bagus. Papa gak mau ngeliat ada nilai atau kelakuan kamu yang aneh-aneh."

Jovin mengangguk-angguk lagi, berpura-pura mengerti.

"Itu aja, Pa?"

Setelah berpikir sebentar, Prawira akhirnya menyudahi pertemuan dengan anaknya karena dirasa apa yang perlu ia sampaikan cukup. Lagi-lagi Jovin tersenyum—Bukan senyum yang sama seperti tiap kali ia bersama Saras. Senyum pada Ayahnya berbeda. Senyum yang menyiratkan perasaan menggelitik sekaligus miris. Ayahnya bahkan tidak sekalipun berniat bertanya mengenai Jovin, atau sekedar bertanya apa ada sesuatu yang anaknya itu ingin sampaikan?

"Oh iya, Jovin," Jovin menoleh. "Minggu depan ada acara pertemuan sama kolega-kolega Ayah. Sekalian kamu belajar sedikit-sedikit buat nerusin bisnis Ayah nanti, biar tau ilmu-ilmu dasarnya. Kamu datang ya? Pakai baju rapi. Kamu datang bertiga sama Mama dan Kakakmu Fardio. Papa harus datang duluan karena sekalian ada meeting."

Lagi-lagi, Jovin harus berpura-pura akrab dengan orang-orang asing. Mereka yang Ayahnya bilang 'Mama' dan 'Kakak' selalu Jovin pertanyakan setiap waktu, kenapa ia harus memaksakan diri menganggap mereka keluarga? Bertahun-tahun Jovin coba untuk membuka diri, tapi rasanya masih sulit. Rasanya dua orang itu masih asing bagi Jovin.

"Aku gak mau."

Jovin mengangguk dua kali. Kakinya menjauh meninggalkan Ayahnya di dalam ruang kerja dengan hujaman di kepala dan dadanya yang mati-matian ia tahan.

Orang Miskin BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang