B A G I A N T I G A
[ R U M A H R I C U H ]
Belum ada satu jam dari semenjak aku terbangun dari tidur, tapi sudah bisa kunobatkan hari ini adalah hari Sabtu pagi yang buruk dan menyebalkan.
Biar kujelaskan, hidup sebagai anak dari pemilik kos-kosan itu ada enak dan tidak enaknya. Enaknya, meski aku adalah anak tunggal, tapi rumahku selalu ramai dan berisik seolah aku adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Ya, memang kadang berisiknya melampaui kehebohan proses tawar-menawar di Pasar Minggu, tapi masih bisa kutolerir.
Sialnya, hari ini aku kebagian jatah tidak enaknya.
Keputusanku untuk duduk di ruang makan pagi ini adalah keputusan yang benar-benar salah. Di meja makan bundar yang aku lupa tepatnya sejak kapan Ibu menggantinya menjadi dua kali lipat lebih besar—Yang pasti, meja kecil untuk 3 orang perlahan sudah tidak cukup setelah kos-kosan keluarga kami mulai penuh di isi orang-orang setengah sengklek sebut saja; Teh Lilis, yang tertua di antara kami. Bekerja di salah satu perusahaan makanan (yang beberapa bulan kebelakang ini baru kuketahui ternyata adalah perusahaan milik keluarga Jovin). Yang kedua, Mbak Meta, mahasiswi semester 2 jurusan akuntansi di salah satu Universitas terbaik di kotaku. Yang ketiga, Mbak Ayu, setahun lebih tua dari Mbak Meta, mahasiswi jurusan teknik industri yang mendapat beasiswa full sampai lulus, merantau dari Yogyakarta. Dan yang terakhir adalah yang paling tidak tahu diri sekaligus yang paling disayang oleh Ibu, dianggap satu-satunya anak lelaki di sini. Sebut saja namanya Bang Danu, mahasiswa komunikasi semester akhir yang skripsinya mandet entah berapa bulan, alias nggak lulus-lulus, alias nyusahin. Walaupun dia cowok, mulutnya paling ember dan paling bawel! Cuma sama Teh Lilis, Ibu, atau Ayah doang dia bisa nurut. Oh ya, sebenarnya ada satu orang lagi yang tadinya adalah satu-satunya orang waras di antara yang lain. Yaitu Kak Egi. Idolaku dan satu-satunya yang bisa kujadikan tameng. Tapi Kak Egi memutuskan kerja di kota asalnya. Jadi, satu kamar di sebelah kamar Bang Danu sudah kosong selama enam bulan ini.
Sampai mana kita tadi?
Ah, iya. Keputusanku untuk pergi ke meja makan benar-benar kusesali setelahnya. Niat hati ingin makan sarapan dengan tenang, tiba-tiba aku harus siap menahan kuping panas karena diserbu godaan-godaan syaiton berwujud empat manusia di depanku ini. Salah besar aku kemarin malam meminta Jovin mengantarkan sampai ke depan pagar rumah. Meski wajahnya tidak terlihat, orang-orang kelewat kepo ini pasti kemarin sedang mengintip lewat jendela kamarnya masing-masing.
"Pacar lu, Sar? Ajib bener, udah ganteng mobilnya edan lagi! Plis, jadian yang lama ye! Kali aja kakak atau adeknya ada yang cewek, kan bisa buat gua." tidak lain tidak bukan kalimat tadi berasal dari Bang Danu.
"Saras, bener-bener nih anak satu. Sekali-kalinya bawa cowok langsung yang tajir melintir gitu. Ganteng banget lagi, kenapa sih kemarin gak di suruh masuk kostan?" yang ini suara Mbak Meta.
"Sar, kaseup pisan ih!" Teh Lilis yang sudah mau kepala tiga bisa-bisanya bilang begitu.
"Pake guna-guna lo ya, Sar!" nah, yang terakhir suara Mbak Ayu. Meski sudah fasih menggunakan bahasa Jakarta, tapi aksen medok masih melekat dengannya. Memang krisis identitas.
"Bukan guna-guna lagi, Yu." Bang Danu melemparkan tatapan padaku, lalu tertawa meledek. "Pesugihan ya lu!"
"AH BERISIK!" aku menyumpalkan mentimun utuh yang seharusnya dijadikan pelengkap sarapan nasi kuning kami. Tapi apa boleh buat, emosiku sudah membuncah dan ingin kututup saja mulut-mulut mereka. Bukannya berhenti, mereka malah makin menggodaku.
Sementara aku, setelahnya hanya bisa tutup kuping. Meski tidak kuhiraukan, empat anak titisan malaikat pencabut nyawa itu tetap saling membicarakan Jovin tepat didepanku seakan-akan aku tidak ada di sini. Dan baik Ayah atau Ibu, keduanya cuma sama-sama tertawa. Oh, Ayah tidak tertawa, ia bahkan ada di pihak empat kampret ini dan ikut-ikutan meledek. Ternyata, semalam Ayah juga mengintip lewat jendela.
"Eh, Bubu Sulastri, keran di kamar mandi Danu rusak, Bu."
Dengar kan, saking merasa paling dianggap anak, Bang Danu bahkan punya panggilan sayang sendiri untuk Ibu yang aku selaku anak biologisnya saja tidak punya. Untung, kadang-kadang Bang Danu suka memberiku uang untuk jajan, jadi kumaafkan.
"Ah kamu, Nu. Keran tuh diputer makanya jangan ditarik. Rusak lah itu." sahut Ayah sambil mencomot kerupuk di meja makan.
Tangan Bang Danu membentuk hormat. "Hehe, maap Ayah Rusdi."
Aku rasa cuma di kosan keluargaku saja anak-anak kosnya kurang ajar semua. Sudah sering makan gratis—meski tidak setiap hari—, anak pemilik kosnya sering dikerjai bahkan dianggap babu kecil mereka, dan Ibu atau Bapak kosnya saja dipanggil Ibu dan Ayah. Tapi meskipun empat orang di depanku ini kadang menyebalkan, mereka juga yang membuat suasana rumah ini hidup. Aku selalu bertanya kepada Ibu dan Ayah kenapa Bang Danu, Mbak Meta, Mbak Ayu, dan Teh Lilis diperlakukan sama denganku seakan mereka adalah anak Ayah dan Ibu juga. Sebab awalnya, aku sangat tidak terima. Juga sering sekali kami makan bersama, dan Ibu selalu menyiapkannya untuk mereka secara cuma-cuma meski kadang mereka berempat bergantian membeli lauk. Kemudian jawaban Ibu dan Ayah saat itu membuatku termenung dan sadar bahwa aku juga beruntung memiliki mereka.
"Mereka jauh dari orangtuanya. Bahkan Ayu dan Danu sudah gak punya orangtua. Dulu Egi gak ada Ibu. Bukan mereka yang hutang budi sama kami, tapi kami yang hutang budi sama mereka. Karena mereka rumah jadi ramai terus, Ayah sama Ibu jadi ketawa terus. Setiap hari ada yang bisa ditungguin. Dan yang paling penting, kamu jadi gak sendirian. Bayangin kalau kita memisahkan diri sama mereka, belum tentu kita sebahagia ini kan, Sar?"
Tuk!
Sebiji kacang tanah mendarat mulus di jidatku yang lumayan lebar, membuatku terperanjat. Mataku langsung mengarah pada seseorang yang menjadi pelakunya. Tentu saja si kampret Bang Danu yang kini sedang tertawa terbahak-bahak, tiga dara yang lain mengikuti bak antek-antek setia.
"Ngelamun mulu lu. Gausah ngimpi beneran kawin sama kembaran tajir gue itu deh. Paling juga dia lagi nyari asisten rumah tangga."
"Hahaha! Suka bener lo, Nu, kalo ngomong! Kebetulan lu memenuhi kriteria kali, Sar," Mba Ayu menimpali. Iya, tetap dengan aksen medoknya.
"Paling besok lo disuruh checklab kesehatan, Sar. ART orang kaya kan gak boleh punya penyakit serius."
"Ih ulah kitu. Si Saras mah lain dijadikeun pembantu di rumahnya." (terjemahan : ih jangan gitu, Saras mah bukan dijadiin pembantu)
"Apa dong, Lis?"
"Patung Wilujeng Sumping!" (terjemahan : patung selamat datang)
Aku menatap mereka satu-persatu yang sedang asyik tertawa terpingkal dengan wajah malas.
Kutarik ucapanku tadi. Ternyata aku tidak ada beruntung-beruntungnya hidup bersama mereka, justru apes.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Miskin Baru
Teen Fiction"Sar, aku mau jadi orang miskin." Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara...