B A G I A N L I M A
[ Minggu Pagi Yang Kacau ]
"KAMU emang gak bakal dicariin orangtuamu?"
Sebagai tuan rumah yang berbaik hati, aku akhirnya membantu membawakan ransel Jovin selagi ia menggeret koper besarnya. Aku tidak habis pikir ada berapa pasang baju yang ia bawa di dalam koper itu. Padahal, di sini ia bisa mencu—Ah, aku lupa dia orang kaya. Pasti Jovin tidak tahu caranya mencuci baju sendiri.
"Nggak. Aku bilang seminggu ini mau nginep di apartemen, biar lebih fokus belajar tes kuliah nanti. Jadi, orangtuaku iya-iya aja."
Kami sudah sampai di depan pintu kamar. Kamar Jovin berada tepat di sebelah kamar Bang Danu. Sementara, kamar tiga cewek-cewek ada di lantai atas. Jadi setidaknya Jovin tidak akan terganggu karena keberisikan tiga dara super heboh itu. Aku menyantolkan kunci ke lubang kemudian kudorong pintu agar terbuka. Aku masuk dan menaruh ransel Jovin di atas kasur. Begitu berbalik, rupanya Jovin masih berdiri mematung di belakangku. Bahasa tubuhku menyuruhnya untuk cepat masuk sebelum kuambil kunci kamar ini lalu membuangnya jauh-jauh. Jovin akhirnya menurut.
"Orangtuamu gak akan nyariin kamu ke apartemen?"
"Aku gak ngasih tau mereka aku bakal nginep di apartemen yang mana. Lagipula, mereka sibuk, gak akan sempet untuk nyari."
Lagi-lagi aku lupa dia orang kaya. Pasti apartemen milik keluarganya tidak lagi bisa dihitung jari. Sekelebat kubayangkan percakapan sederhana yang terjadi ketika Jovin meminta izin pada orangtuanya.
"Mami Papi aku mau nginep seminggu di apart, biar fokus buat ujian."
"Yaudah, sana."
Lalu anggap saja Jovin benar-benar pergi ke apartemen, begini kira-kira yang akan terjadi;
"Pak supir, tolong anterin ke apartemen."
"Yang mana, Den Jovin? Apartnya Den Jovin kan ada banyak."
"Bener juga."
Kehidupan orang kaya memang aneh-aneh.
Sembari Jovin sibuk mengeluarkan isi ranselnya, aku duduk di kasur.
"Kamu lagi kabur dari rumah ya, Jo? Lagi ada masalah?" salahkan Jovin kalau mulutku tiba-tiba saja menceluskan pertanyaan lancang begini. Kedatangannya yang mendadak juga terhitung lancang, jadi kurasa kita impas.
Jovin kini berdiri membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya. Kutaruh kedua tanganku di belakang badan untuk menopang. Dari sini, aku baru sadar ternyata Jovin sungguh amat tinggi. Seingatku, tingginya mencapai 182 cm. Untung kostan ini langit-langitnya tidak rendah. Kalau tidak, mungkin kepalanya akan menyentuh tembok.
Beberapa detik berlalu, Jovin tidak menjawab.
"Nggak. Lagi gak ada apa-apa."
Aku memain-mainkan kedua kakiku.
"Terus? Kenapa tiba-tiba mau jadi miski—maksudku, jadi orang biasa? Pasti ada alesannya, kan?"
"Aku penasaran."
Aku tertawa dan mendecak dalam hati. Jawaban omong kosong macam apa itu. Penasaran? Yang benar saja?
"Terus kalau udah selesai, kamu mau ngapain?"
"Yaudah, balik lagi," Jovin menaruh ransel kosongnya di lantai setelah semua barang telah disusun sempurna di atas meja. Banyak juga yang dia bawa, salah satunya headphone, laptop, wifi portable—aih, dia menghina kost-kostanku, dia kira di sini tidak ada wifi apa?
"Balik lagi ke rumahmu?"
"Ke rutinitasku. Kehidupan sehari-hari."
Meski belum paham, aku pada akhirnya cuma mengangguk-angguk. Pasti ada alasan lain yang belum ingin dia ceritakan. Bagi orang tajir melintir seperti Jovin, keputusan seperti ini bukanlah keputusan kecil. Seminggu menjalani kehidupan baru yang berbanding 180 derajat dari kehidupan yang biasa dia jalani bukanlah hal yang mudah. Jadi, kalau ditanya apa alasannya dan jawaban yang dia lontarkan hanyalah satu kata, 'penasaran', mudah untukku mengetahui kalau dia tidak serius dengan ucapannya. Pasti ada hal lain.
Kuperhatikan, Jovin daritadi terus memandangi sekeliling kamar. Mulai dari langit-langit, tembok, kasur, lemari. Meski kamar kostan keluargaku berada di jalanan yang tidak elite, tapi mengenai kebersihan, aku bisa tetap menjaminnya. Kamar kost di sini didominasi warna putih sehingga tidak terlihat kumuh. Gini-gini aku dan keluargaku juga penganut aliran estetika. Meski barang-barang murah, harus disulap jadi indah. Kamar ini juga selalu dibersihkan setiap hari. Tapi, meski begitu, aku tahu ruangan sebesar ini tetap saja terhitung cukup kecil bagi Jovin.
"Kenapa? Maaf ya kalau kamarnya kecil."
Jovin menggeleng buru-buru. Padahal aku tidak masalah meski dia berkata jujur.
"Nggak, kok. Segini gak kecil. Cukup."
"Yaudah kalo gitu, aku mau ke rumah. Kalau perlu apa-apa, tanyain aja ke Ayah. Biasanya kalau ada yang baru ngekost di sini, aku selalu nyambut dengan baik. Tapi aku males nyambut kamu sekarang berhubung kita udah kenal dan aku ngantuk."
Aku berbalik dan hendak berjalan ke luar.
"Eh!"
Belum juga berjalan melewati pintu, suara Jovin membuatku menoleh.
"Kenapa lagi?"
"Aku mau masukin baju ke lemari. Bantuin dong, Sar."
Bola mataku melebar.
"Kamu mau nyimpen baju di lemari?! Kamu cuma seminggu di sini loh?"
"Aku gak biasa gak tertata."
Aku menggeleng takjub. Tapi kemudian berjalan melenggang pergi tidak memedulikannya. Mau di sekolah atau di sini, Jovin tetaplah Jovin, yang senangnya cuma menyuruh-nyuruh.
"Eh, Sar!"
Aku membuang napas berat, menoleh kembali. Aku janji ini yang terakhir kali sebelum kukunci juga dia dari luar.
"Kenapa lagi, Jovinio? Kalau kamu mau nyuruh aku lagi, gak akan aku bantu."
"Tapi ... Di sini ... Ge ..."
Ctek. Lampu menyala. Seisi ruangan menjadi lebih terang.
"... Lap."
Aku tidak tahu isi rumah orang kaya seperti apa. Apa lampunya bisa menyala hanya dari telepati? Aku yakin belum secanggih itu juga. Oh, aku lupa, Jovin pasti belum pernah mencoba menghidup-matikan lampu seumur hidupnya sebab pekerjaan seperti itu sudah menjadi tugas orang lain di rumahnya. Setiap malam, lampunya sudah dinyalakan. Dan setiap pagi, lampu di rumahnya sudah dimatikan. Apalagi merasakan lampu tiba-tiba jeglek karena mati listrik, dia pasti belum pernah.
Atau yah, singkatnya, dia hanya manja.
"Ada teknologi bernama saklar lampu, Jovin. Kalau kamu kegelapan, dinyalain. Kalau keterangan, dimatiin." aku tersenyum hambar. Rasanya seperti baru saja mengajarkan bocah lima tahun mengenai alat-alat di dalam rumah. "Udah ya, aku mau balik ke rumah, mau tidur. Kamu udah ganggu minggu pagiku yang tenang. Oh iya, kalau kamu mau sarapan, tunggu aja. Bentar lagi tukang sari roti lewat. Atau ke rumahku aja, cukup bilang, 'Bu,' nanti pasti langsung dibeliin nasi uduk. Atau kalau kamu mau ada temennya, dobrak aja pintu kamar sebelah kamu."
Jovin mengangguk-angguk mengerti. Dengan mata setengah watt, akhirnya aku pergi ke luar menuju kamarku.
Tentu saja, mimpiku di Minggu pagi yang indah bersama Si Tampan Nam Joo Hyuk harus kembali dilanjutkan.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Miskin Baru
Novela Juvenil"Sar, aku mau jadi orang miskin." Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara...