8 | It's Not About Money

365 68 0
                                    

B A G I A N D E L A P A N

[ It's Not About Money ]

"SAYA mau evaluasi sedikit aja ya untuk minggu kemarin. Materi-materi siarannya bagus, saya dapet pujian dari beberapa guru dan temen-temen juga. Terutama Raka, dan Alin. You guys did a good job last week."

Aku dan semua anggota siaran kini mendengarkan Jovin dengan seksama. Ia berada di tengah-tengah lingkaran yang kami buat. Hari ini adalah jadwal evaluasi mingguan Radio Sekolah. Alih-alih berkumpul di ruangan siaran yang sempit dan hanya muat beberapa orang, kami seringnya berkumpul lesehan di taman belakang sekolah, tepatnya di dekat kolam ikan, membentuk lingkaran, evaluasi, kemudian tukar pendapat. Meski kegiatan ekstrakurikuler Radio bisa dibilang hanya kegiatan kecil dibanding kegiatan organisasi dan ekskul lain yang punya segudang event besar, tapi Radio adalah rumah yang berkesan untukku.

"Kekurangannya sejauh ini sih gak ada. Kalian semua keren. Nah, sekarang sesi ngobrol aja ya kita. Dari kalian ada yang mau diomongin gak tentang Radio?"

Farah menunjuk tangan. "Kayaknya AC kita makin kurang dingin deh, Kak Jovin. Terus, suaranya kadang agak ngeganggu pas lagi siaran."

"Oh iya ya? Yaudah, kalian tenang aja. Besok saya coba cari AC—."

"—Dinar, uang kas kita ada berapa?" aku memotong pembicaraan Jovin sebelum ia, seperti Jovin biasanya, mengambil langkah terlalu jauh lagi. Jovin menatapku bingung.

Dinar membuka buku notes-nya. "Kisaran 600an, Sar. Kemarin udah ada kepake buat beli mic."

Aku mengangguk-angguk, lalu menyisir menatap wajah mereka yang berada di lingkaran ini satu-persatu.

"Menurut kalian, AC kita kalau cuma di-service memungkinkan gak? Atau, kita butuh AC baru? Coba dari Dio."

Seseorang yang berada di tengah-tengah Raka dan Dinar sedikit tersentak begitu kutunjuk. Ia adalah Dio, anak kelas 10 yang jarang sekali berbicara setiap kumpul Radio, tapi cukup berbakat ketika berbicara di ruang siaran. Dua kepribadian bertolak belakang antara di depan dan di balik layar. Meski anak itu tidak pernah menolak keputusan apapun yang kami buat, tapi aku selalu membiasakan diri untuk mendengar opini semua orang.

Dio menatapku ragu-ragu.

"Ehm ... M-menurutku, kayaknya udah gak memungkinkan, Kak."

"Iya menurut gue mending beli AC baru." Raka menyahut.

"Bener, Sar. Menurut gue juga. Mending mahal sekali tapi kesananya gak keluar uang lagi. Service-service terus jatuhnya malah mahal gak sih?"

Aku mengangguk-angguk. Menerima pendapat mereka semua.

"AC baru paling murah kisaran satu juta. Uang kita masih 600. Mau patungan, atau kita jualan aja? Atau patungan sedikit biar jualannya gak terlalu berat, terus sisanya jualan, jadi fifty-fifty gitu?"

"Kayanya patungan sama jualan, Kak."

"Iya, biar uangnya cepet kekumpul."

"Yang lain gimana, setuju?"

Mereka mengangguk kompak. Aku melirik ke sebelah, Jovin dengan wajah yang tidak bisa dideskripsikan akhirnya mengangguk-angguk.

"Oke. Kita besok pulang sekolah jualan di alun-alun, ya? Sore biasanya rame karena banyak yang olahraga di sana. Siapa yang mau nyumbang barang buat di jual?"

"Gue bawa es mambo deh, Sar."

"Gue puding."

"Aku nasi bakar, kira-kira ada yang beli gak ya, Kak?"

"Pasti ada, tenang."

"Oke Kak, aku bawa nasi bakar."

Setelah kutanya Jovin apa ada hal-hal yang perlu dibicarakan lagi, dia menggeleng. Kemudian pertemuan rutin minggu ini ditutup, semuanya berdiri dan pamit pulang. Bersisa aku dan Jovin.

Jovin banyak diam setelahnya. Banyak hal-hal yang mungkin belum dia mengerti. Kalau biasanya kubiarkan, tapi kali ini tidak lagi. Dunia ini bukan cuma tentangnya. Dan tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang yang ia punya. Juga, kalau sebelumnya kubilang Jovin tidak mengerti sebab orang kaya tidak akan mengerti, sekarang aku sadar bahwa orang kaya juga manusia yang lahir, hidup, makan, dan tidur sebagaimana mestinya manusia. Apa yang membuat pemakluman itu mewajarkan kalau Si Kaya boleh begini dan Si Miskin tidak, Si Miskin begini dan Si Kaya tidak?

Mulai sekarang kuanggap Jovin bukan lagi orang kaya dan semenjak dia adalah manusia, tidak ada lagi pemakluman.

Dia harus mengerti.

[]

Kami semua sudah berkumpul di alun-alun sesuai rencana awal, dengan baju atasan ganti karena tidak mungkin berjualan sambil memakai seragam yang telah kami pakai seharian. Dalam berjualan, bukan hanya penampilan barang yang harus diperhatikan, tapi juga penampilan penjualnya. Tidak harus rapi, tapi setidaknya bersih sehingga orang-orang tidak ragu untuk membeli.

Kami memutuskan membuka stand dengan dua meja di pinggir alun-alun. Anak-anak lain menyusun makanan-makanan di atas meja, begitu juga Jovin. Aku dan beberapa anak cewek menuliskan nama-nama menu di papan tulis hitam yang dibawa Raka dari rumahnya.

Begitu stand selesai, kami tidak buru-buru menjual makanan, tapi berdiskusi lebih dulu untuk membagi tugas. Beberapa ditugaskan menjaga stand, sisanya pergi membawa makanan untuk berjualan keliling.

Kutatap Jovin, mataku menyiratkan kode yang kuharap ia mengerti. Setelah Jovin mengerti, dia mengalihkan pandangan dariku.

"Oke semuanya, jadi udah tau tugasnya masing-masing kan? Ayo tangannya ke tengahin semua."

Semua anak-anak radio yang bertugas berjualan hari ini mendekat dan menumpuk tangan di tengah.

"Satu dua tiga, Radio ... SEMANGAT!"

Aku mendengus, Jovin benar-benar tidak punya keahlian untuk membuat semangat. Bukannya membuat kami solid dan kompak, dia justru mengatakan itu sendirian tanpa aba-aba, mengacungkan tangan pun sendirian juga. Beberapa anak melongo takjub, kutebak mereka bingung mengapa ketua mereka ternyata se-freak ini. Dari pada urusan menjadi panjang, akhirnya kami membubarkan diri, melakukan tugas masing-masing.

Aku berjalan ke depan stand. Dengan spidol di tangan, kutuliskan kata 'OPEN' besar-besar supaya orang-orang tahu stand kami sudah buka.

Dua puluh menit berlalu, orang-orang yang tampak kelelahan sehabis berolahraga sore perlahan berdatangan ke pinggir alun-alun, mendatangi stand-stand makanan. Hingga tidak perlu waktu lama mereka mulai mendatangi stand kami, bertanya, membeli. Ada juga yang memborong banyak nasi bakar untuk dibawa pulang. Empat orang bertugas menjaga stand, salah duanya adalah aku dan Jovin.

Kami berempat sibuk melayani pelanggan, dan Jovin sesekali bertanya kepadaku supaya ia tidak salah-salah dalam melayani pembeli.

"Aku udah bener kan, Sar? Gak kaku? Gak galak?" tanya Jovin persis seperti saat kami berkunjung ke rumah Bu Ajeng tempo lalu.

"Iya, bener."

Selalu kutekankan satu kepadanya, untuk selalu tersenyum selelah apapun nanti. Meski pasti ada saja pembeli yang tidak tertebak, tapi harus tetap tersenyum. Tanpa membantah, kulihat Jovin mendengarkan perintahku meski awalnya masih kaku. Aku selalu menyenggolnya tiap kali ia lupa tersenyum.

"Jo, mukanya jangan kayak males. Senyum dong yang lebar! Kaya gini nih, iii!" aku menyentuh pipinya dengan dua telunjukku supaya ia menarik senyumnya.

Jovin akhirnya menurut. Lambat laun dia terbiasa. Yang tadinya senyum terpaksa, lama-lama senyuman itu muncul sendirinya dan terlihat tulus. Apalagi kalau sedang melayani orang yang memborong banyak, atau orang baik yang kadang merelakan uang kembaliannya untuk kami. Jovin juga terlihat sangat senang tiap kali menghitung uang-uang yang telah kami dapat dari hasil jualan.

Setelah Jovin berhenti menghitung uang, ia menatapku ketika di waktu yang sama aku tengah memperhatikan lamat ekspresi bahagia yang tersirat di wajahnya. Lewat tatapanku yang meski tidak akan bisa ia baca, aku memujinya. Yah, lumayan juga usahanya hari ini.

[]

Orang Miskin BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang