B A G I A N S A T U
[ C I T R U S ]
AKU membuka helm, memberikannya pada Abang Ojek Online dengan gerakan hampir oleng. Bagaimana tidak, helm super kekecilan yang menempel di kepalaku selama lebih dari 20 menit ini membuatku pening sepanjang perjalanan. Dan ketika akhirnya benda bulat sialan ini terlepas sempurna, darah di kepalaku seperti meraung kesenangan karena bisa mengalir dengan leluasa lagi. Walaupun sekarang aku merasa kepalaku sedikit peyang.
"Bayarnya udah pake Gopay ya, Bang."
Abang Ojek berhelm hijau itu mengangguk sambil mengucapkan terimakasih. Ketimbang memasuki area sekolah sebagaimana murid-murid lain di sekitarku berlalu-lalang, aku malah berdiri termenung di depan gerbang, berusaha mengembalikan kesadaranku sebab tubuhku masih keliyengan. Helm kekecilan, angin pagi yang entah kenapa terasa tiga kali lebih menusuk dari pagi-pagi sebelumnya, juga laju motor yang terlalu kencang entah si Abang Ojol tadi sedang berusaha mengejar Valentino Rosi di arena balap atau istrinya di rumah mau melahirkan, yang jelas semua itu adalah perpaduan yang sempurna untuk memulai hari. Jadi aku butuh waktu untuk bernapas sebentar.
Bertepatan dengan lenguhan napas panjangku yang ke-lima, sebuah mobil Mercedes-Benz hitam keluaran terbaru melaju pelan di jalanan hingga akhirnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Aku masih termenung. Kesadaranku penuh dalam sekejap.
Bukan hanya aku yang berdiri diam tidak berkutik, beberapa orang pun melakukan hal yang sama. Memandang takjub mobil mewah dengan warna yang bahkan jauh lebih kinclong dari wajahku. Pasti dicuci satu jam sekali.
Tidak lama dari itu pintu mobil terbuka, pria tinggi dengan ransel bermerk terkenal juga sepatu sport mahal warna merah-hitam turun. Kalau ini adalah adegan film, mungkin orang itu sedang berjalan dengan mode slow-motion dan rambut yang terterpa angin. Sementara kami figuran-figuran bayaran hanya bertugas melongo mupeng melihatnya.
Sekarang aku sadar betapa dunia ini sungguh tidak adil. Di satu waktu yang sama seorang anak Raja baru saja turun dari singgasananya dengan muka kinclong dan berseri, sementara di lain tempat seorang anak-antah-berantah turun dari motor balap dengan wajah penuh polusi dan kepala yang rasanya sudah peyang.
Ayah, mengapa aku berbeda!
[]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jovinio Chakra Bastian adalah manusia paling tajir melintir yang kekayaannya tidak perlu diragukan lagi. Mungkin kalau seluruh harta keluargaku dihitung hanya mencapai nol koma satu persen hartanya. Bukan berlebihan, tapi tahu kan definisi orang sekaya-raya itu bahkan sampai kita sendiri saja pusing hanya untuk memikirkannya? Nah, Jovin adalah orang itu.
Sudah setahun berdampingan menjabat sebagai Ketua dan Wakil Radio, melihatnya membelikan kebutuhan event Radio dan kebutuhan anak-anak Radio dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit bukan lagi menjadi hal aneh. Meski kadang selaku Ketua Radio, dia sesekali menyebalkan karena hanya bisa memerintah tapi jarang membantu, harta-hartanya membuatku memaklumi.
Jovin adalah anak pemilik perusahaan salah satu merk makanan terkenal. Kedua orangtuanya sibuk, bahkan setiap pengambilan rapot aku tidak pernah melihat orangtuanya. Yang menghadiri pasti selalu orang lain entah siapa.
Oh ya, kenapa aku secara tiba-tiba saja membicarakan tentang Jovin, itu karena anaknya sekarang sedang berada beberapa langkah di depanku, bergulat dibalik kemudi alat siar Radio. Microphone yang seharusnya dua-duanya menyala dengan baik mendadak hanya berfungsi satu. Waktu siar kami sepuluh menit lagi pula. Jadi karena dia laki-laki sekaligus Ketua, kubiarkan dia mengotak-atik mic itu.
"Kayaknya kita harus beli mic lagi deh," Jovin berbalik badan, menyerah.
"Loh, itu mic dua-duanya kan baru Dinar beli minggu lalu."
"Iya, tapi udah gak nyala sekarang."
"Terus sekarang siarannya gimana?"
"Materi siarannya mana?"
Aku mengambil kertas dari atas meja, mengibaskannya.
"Yaudah, pake satu mic aja dulu. Pulang nanti kubeli lagi mic nya."
Ah, betapa mudahnya hidup dengan Ketua Radio kaya raya. Semua hal terpenuhi tanpa perlu pikir panjang. Jovin duduk di kursi sebelah kiri, aku pun mengikuti untuk duduk di sebelah kanan. Mic yang tidak menyala adalah microphone yang berada di tempat Jovin sekarang.
"Materinya tentang apa sekarang, Sar?" tanya Jo sambil mengambil kertas di atas meja dan membacanya seksama. Dia bisa saja membacanya sendiri dan tidak perlu berbasa-basi menanyakan hal itu, tapi pada akhirnya tetap kujawab.
"Bertepatan hari Ayah, jadi tentang Ayah dan keluarga. Lagunya kamu yang pilih ya, Jo. Kayak biasa."
Tidak kudengar jawaban dari mulutnya. Entah apa yang salah dari kata-kataku. Atau materiku terlalu jelek? Ah, kalau dia yang membuat pun pasti akan jauh lebih jelek dari punyaku. Jo memberikan kertasnya padaku lalu mendekatkan kursi ke arahku. Dia tidak menanggapi apapun soal materi jadi kuanggap dia menyetujuinya.
"Mic-nya berdua. Kepalamu jangan terlalu maju." aku reflek memundurkan kepala dan menggeser microphone ke arahnya juga supaya dia kebagian. Dalam jarak yang berdekatan seperti ini, aku sekarang sadar perkataan Ibu selama ini benar, bahwa ternyata wangi orang kaya memang beda. Aku yakin parfumnya seharga uang jajanku tiga tahun penuh.
Kepalaku mendongak melihat jam dinding, sebentar lagi kami harus membuka siaran.
"Kamu aja lah yang opening, Jo."
"Bareng lah, Sar.
Aku mendengus pasrah. Malas berdebat.
Satu.
Dua.
Tiga.
"Selamat siang, Warga Kencana! Kami Radio Kencana siap muterin lagi lagu-lagu favorit kalian nih!"
Aku buru-buru menjauhkan kepala, membiarkan Jovin berbicara. Ya ampun. Nggak lagi-lagi deh aku siaran satu microphone berdua. Kepalanya tadi benar-benar terlalu dekat denganku. Meskipun kadang dia tengil dan selalu merasa bisa menyelesaikan segala hal dengan uang padahal tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang lalu berakhir membuatku gondok, tapi aku tidak bisa mengelak juga kalau dalam jarak sedekat ini ...
Aroma rambutnya tercium seperti wangi citrus yang ada dalam kemasan shampo mahal. Lebih parahnya, mereka seakan meneriakiku sesuatu;
Heh Miskin! Yang kalau pake shampo sisa sedikit diisi ulang pakai air, minggir deh!
Aku merasa ditampar di siang bolong.
[]
Gimana kabar kalian dalam menjalani pandemi ini gais?
Buat yang penasaran parfum apa yang dipake Jovin, bisa diliat di atas ya. Silahkan kalo mau ngadoin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Miskin Baru
Teen Fiction"Sar, aku mau jadi orang miskin." Adalah kalimat yang pertama kali kudengar begitu pintu rumahku terbuka. Aku yakin sekali seharusnya hari ini adalah hari Minggu yang tenang di mana aku akan terbangun siang hari ditemani burung-burung menari, suara...