sepuluh

19 5 9
                                    

21.5.21

Sasha mengaitkan tali sepatunya, kemudian melangkah keluar gerbang. Hari ini jadwal bimbingan persiapan ujian akhir Tian, Sasha mau tak mau harus berangkat sendiri. Tadi, mereka sempat sarapan bersama, tapi sudah sekitar satu jam yang lalu. Sarapan juga maju menjadi lebih pagi,

Pemilik surai hitam pekat itu berjalan keluar komplek, ntah kenapa rasa malas untuk memesan tranportasi online menghampirinya. Niatnya, dia ingin naik bus umum saja. Hanya butuh 5 menit untuk menyambangi jalan raya, Sasha duduk di halte, lalu mengeluarkan ponselnya. Masih ada cukup waktu,

Sasha! Gadis itu mengalihkan atensinya, dilihatnya sebuah mobil sprot hitam sudah mejeng di depannya. Dia familiar dengan wajah-wajah di dalamnya.

Derald, "lo nunggu apa?" tanyanya. Sasha tersenyum,

"Gue nunggu bus, duluan aja deh Kak,"

"Bareng aja ayok," Sasha menggeleng, dia pernah dengar Derald bukan anak baik-baik. Bukannya apa-apa, dia hanya was-was takut, atau apalah itu.  Tian juga mewanti-wanti untuk tidak cepat percaya dengan seseorang, terlebih anak laki-laki dia angkatannya, yang memeang terkenal bandel, dan brandal.

"Lo takut di amuk Bastian? Udah gapapa,"

"Nggak, nggak kok kak, bener deh kakak duluan aja," gue mau nunggu bus aja, kembali penolakan itu terlontar dari mulut Sasha.

"Lima belas menit lagi bel masuk, gue yakin lo nggak mau ambil resiko buat dicegat guru piket," Sasha mengintip smartwatchnya, benar. Gadis itu menimbang sekali lagi, kemudian mengangguk ragu, membuka pintu mobil itu, kemudian melangkah masuk. Mobil itu melaju, membelah kesibukan pagi di Jakarta. Senyap, hanya ada suara dari pendingin,

"Nggak biasanya lo berangkat sendirian,"

"Tian jadwal, kakak bukannya iya? kok nggak ikut?" Derald mengendikkan bahunya.

"Gue kesiangan bangun, sekalian aja," Sasha mengangguk canggung. Kemudian memilih menyisipkan airpods ke lubang telinganya, matanya tak sengaja melirik Derald di sisi kanannya, Derald menatapnya, Sasha jadi merinding, keringat dingin. Perlahan berusaha menetralkan perasaannya,

"Lo sakit?" Sasha menggeleng, menyisipkan rambutnya, berusaha terlihat setenang mungkin.

"Kalo gue sakit gue di rumah sekarang," Derald terkekeh.

"Lo  deh Sha," Sasha makin merinding dibuatnya. Bukannya senang, malah rasa takutnya semakin jadi. Tau begini dia tadi lebih baik terlambat, dijemur tak ada apa-apanya. Rasa sesak itu mendera, Sasha mengalihkan pandangannya ke jendela di sisi kirinya, namun yang telihat hanya siluet Derald yang sedang tersenyum, yang membuatnya muak, senyuman yang terlihat menyeramkan sekaligus menjijikkan. Sasha takut, ya Tuhannn. Sasha hanya berharap gerbang itu segera terlihat, Sasha ingin berlari, dia ingin menghindar sekarang juga saat ini. wajahnya sudah memerah, karena sesak.

Detik itu datang, gerbang itu mulai nampak, Sasha mencengkeram erat tasnya. Ketika mobil itu berhenti, Sasha membuka pintu segera.

"Thanks banget kak, tapi gue harus duluan, sekali lagi thanks," ucapnya cepat kemudian menutup pintu itu sebelum ada jawaban, Derald bingung melihat wajah Sasha yang tiba-tiba pucat, namun dia memang belum sempat bertanya karena dia sudah terlanjur berlari pergi.

***
Sasha berlari, masih berlari, nafasnya rasanya semakin sulit untuk ditarik, dia menabrak sesuatu, hampir jatuh hingga ada sesuatu yang di rasa menangkapnya.

"Sha are you okay? Sha?" Sasha kenal, itu Tian. Dia meraih lengan itu, kemudian menggeleng.

"Gue ga bisa nafas, gue-" Sasha merasa hanya berkedip, namun saat mata itu tebuka yang terlihat adalah ruangan putih, dengan bau antiseptik yang menyengat indra penciumannya. Dia mengerjap, memperjelas penglihatannya, ntah kebetulan atau apa pintu itu terbuka, ada Tian dengan segelas teh di sana.

To Be OkayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang