28.04.21
"Anggit, kantin kuy," ajak Sasha. Perutnya kelewat lapar sekarang, rotinya tadi pagi tak cukup, apalagi setelah Tian memakan setengahnya. Tega!
"Oughey, nyok!" Sasha menggandeng tangan sahabatnya. Keduanya berjalan sambil berbincang ringan, membicarakan apa saja.
"Sas, gue kemaren ketemu cowo gantenggg banget di katedral, gue baru kali ini liat dia," Anggit terlihat gembira saat menceritakannya.
"Terus, lo kenalan?" Anggit menggeleng.
"Pas gue mau datengin dia udah naik mobil, ya kalik ntar gue ngejar dia, kea apaan, tapi dia sempet senyum ke guee ahhh mantap, senyumannya mengalihkan dunia Shaa," Anggit jadi jingkrak-jingkrak sendiri. Sasha menarik seragamnya berusaha mengingatkan bahwa sekarang mereka ada di koridor sekolah yang tidak bisa dikatakan sepi apalagi di jam istirahat seperti ini.
"Jangan malu-maluin Anggit Pramesthiii," lirihnya. Anggit menunjukkan barisan giginya, kemudian menarik Sasha untuk berjalan lebih cepat.
"Sash, mau pesen apa? Lo cari tempat duduk gih,"
"Ohh oughey, gue mau mmmm... Bakso aja deh, sama es teh," Anggit mengangguk kemudian meninggalkan Sasha. Sasha berkeliling, berusaha mencari bangku,
"Nahh ketemu," gumamnya, kemudian mengahampiri satu bangku. Sasha mengambil ponselnya, membuka beberapa notifikasi yang masuk, matanya terhenti dengan nama akun yang mencoba mengikutinya.
Zara?
Dia membuka akun itu melihatnya seksama,
"Banyak juga followers nya," gumam Sasha pelan, baru dia ingin mengkonfirmasi akun itu, dia merasa ada yang memeluknya dari belakang.
"Misii, mau ikut duduk," suara serak itu menyapa telinga Sasha. Sasha tersenyum
"Maaf siapa ya? Saya udah ada pawang jangan peluk-peluk,"
"Mana pawangnya? Nanti saya suruh pensiun, biar saya gantiin," Sasha tertawa. Tangannya menjambak rambut Tian.
"Ehh anjir! Sakit!" ringis Tian, tangannya kemudian bergerek menempeleng kepala Sasha. Akhirnya terjadi lagi, keduanya saling adu pukul, nggak serius kok, pemanasan-
"Udah, lo liat apa, gue mau liat," Tian mulai iseng merecoki Sasha lagi, dia mengambil ponsel Sasha. Saat melihat apa yang terpampang di sana, air mukanya nampak berubah, sama seperti saat di mobil tadi. Dia menghapus notifikasi itu.
"Jangan ada hubungan apapun sama Zara, gue buang lo kalo lo ngeyel," Sasha mencebik. Enak sekali mengatur hidup orang.
"Ehh, temen lo mana?" Sasha mengalihkan pembicaraan, biasanya laki-laki itu memang bersama Qital dan Gerald. Mereka bisa d bilang jarang terlihat ngantin, karena biasanya memilih bermain basket, atau bermain apa saja di lapangan. Sekalinya ngantin, paling cuman beli makanan lalu keluar lagi, memilih makan di luar. Memiliki paras di atas rata-rata kadang menyusahkan. Jangan lupakan penggemar garis keras yang memaksa untuk mendekat dan sebagainya.
"Beli makan, gue cari tempat duduk, gue gabung ya? Lo cuman sama Anggit kan?" Sasha mengangguk. Tak lama Anggit datang, ada Gerald dan Qital ada di belakangnya.
"Tuhh kan, Tian nyamperin dedek gumushnya," Bisik Qital pada Gerald.
"Lo ngmong gitu sekali lagi kayaknya mie ayam tu orang bakal mampir ke muka lo deh," Qital meringis kemudian ikut duduk. Sasha tertawa.
"Tumben lo pada ngumpul di kantin?" celetuk Anggit. Jadi, tidak ada kata kakak diantara mereka bertiga, sekalipun mereka adalah adik dan kakak kelas. Karena baik Anggit maupun Sasha juga cukup akrab dengan mereka, Gerald masih sepupu Anggit. Jadilah cukup dekat.
"Dah lama nggak ngantin, kangen rasanya diliatin satu kantin kayak gini," Qital terkekeh. Sasha mengitarkan pandangannya ke sekitar, benar saja ntah berapa banyak pasang mata yang curi-curi pandang ke arah meja mereka.
"Asik kan jadi artis," Gerald ikut nimbrung. Sasha tertawa, tidak mengangguk atau menggeleng, bagaimanapun artisnya tetap 3 laki-laki itu kan? Sebentar, Tunggu Sasha menemukan sepasang mata yang menyiratkan ketidak sukaan di sana. Zara.
* * *
Pelajaran sudah kembali di mulai. Biologi, Sasha biasanya cukup tertarik dengan biologi. Namun ntah mengapa hari ini pikirannya seperti memilih pergi, ntah kemana. Sejak tadi, matanya bermain-main di lapangan. Melihat beberapa kelas dengan jam kosong yang asik bermain di sana.
Tak-
"Sasha, perhatikan ke depan!" Sasha kaget, guru itu melemparnya dengan spidolnya. Sasha meringis, perhatiannya sempat ke depan, namun tetap saja kembali ke jendela. Sasha sadar siapa objek utamanya, siapa lagi jika bukan Bastian Bagaskara?
"Sasha! Kamu paham?" suara guru itu kembali memecah lamunannya. Dia berdecak, dia bahkan sudah berkali-kali mendengar penjelasan tentang bab ini.
"Saya paham bu,"
"Jelaskan!" Sasha agak kaget, namun kemudian dengan lancar mengulang kata-kata penjelasan guru itu dengan santai, tangannya sesekali memainkan pulpen di tangannya.
"Gimana? Saya sudah bilang kan bu?" Sekar- guru berumur hampir setengah abad itu tersenyum.
"Saya tau, saya tak pernah ragu dengan kamu Sasha, tapi hargai saya yang di depan,"
"Mungkin saya memang harusnya menyampaikan usulan kelas privat untukmu," Bu Sekar kembali dengan materinya. Dan Sasha kembali ke jendelanya. Lebih menarik.
* * *
Masih ada satu pelajaran lagi sebelum pulang Sasha enggan keluar seperti teman sekelasnya. Entah mengapa.
"Bu Sekar salah nantang lo Sha," Sasha tersenyum, membalik lembaran novel tebalnya. Masih dengan penulis favoritnya, keluaran baru, 350 halaman itu masih wangi dan mulus, dia cinta hobinya.
"Bu Sekar nggak nantang gue, dia tau gue bisa- ni guru kapan datengnya sih?" tanya Sasha kesal. Semakin lama semakin dia ingin cepat pulang, mupeng.
"Guru fisika emang sering telat kan?" Anggit mengendikkan bahunya. Tangannya membuka instagram, mencari hal menarik di sana.
"Besok ada jam olahraga ya?" Anggit mengangguk. Sasha menutup novelnya, dia sudah cukup jenuh. Menjatuhkan kepalanya ke atas novel tebalnya.
"Gue benci banget," decaknya kesal. Semua murid mungkin tau, Sasha yang pintar akademis itu lemah di bidang olahraga. Sekedar untuk menangkap lemparan bola saja meleset. Hingga sekarang, sulit buatnya untuk sekedar mengusai permainan bulu tangkis. Sasha kesal.
"Nggak usah masuk aja,"
"Lo nggak pernah tau rasanya Nggit," Anggit terlihat tak terlalu peduli, sudah ke sekian ribu kalinya dia mendengar Sasha mengeluh tentang itu.
"Karena gue nggak akan pernah jadi lo Sha, gimana gue mau tau rasanya," Sasha paham itu, kesekian ribu kalinya juga Sasha mendengarnya dari Anggit.
* * *
Nggak tau- nggak tau-
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Okay
Teen FictionIni tentang Sasha, gadis yang hampir bisa dikatakan sempurna, dan lukanya. Bagaimana gadis itu dipaksa untuk mengatasi semua luka tanpa ada bantuan dari kedua Ayah dan Bundanya. Seharusnya mereka juga tau, bahwa gadis itu juga kehilangan, bahwa dia...