sembilan

19 6 2
                                    

5.5.21

Entah mengapa pagi cepat sekali kembali. Sasha melangkah gontai ke kelasnya, Tian sudah duluan masuk kelas. Mood Sasha sedang sangat hancur sekarang. Pengalaman buruknya tentang olahraga berputar di kepala, di tertawakan di depan umum, tertinggal jauh lari, tidak bisa memukul bola kasti, atau mungkin teman-temannya yang terang-terangan terpaksa memilihnya saat tanding olahraga. Siapa juga yang mau?

"Muka lo kusem bat, kayak habis kena air comberan," celetuk Anggit. Sasha diam tak menanggapi.

"Izin aja sana,"

"Temenin," Anggit berdecak, mau tak mau, toh yang ada sahabatnya akan murung seharian, siapa yang mau dia ajak ngobrol?

* * *

Sasha menatap ke luar jendela, melihat teman sekelasnya- jangan lupa Anggit- sedang asyik dengan bola. Sekarang, tak akan ada yang tau rasanya Sasha. Beberapa orang menganggapnya berlebihan, terlalu banyak takut dan aneh mungkin? Nyatanya memang begitu. Dia tak pernah ditakdirkan untuk olahraga, takdirnya ada pada nomor-nomor soal di lembaran kertas. Dia bisa itu, tapi tidak untuk olahraga, sekali lagi tidak!

Sasha menggeleng, kembali pada beberapa soal yang harus diselesaikan. Syarat untuk melewatkan jam olahraga adalah menggantinya dengan tugas lain. Sasha tak keberatan harus berkutat dengan puluhan soal kimia di hadapannya.

Sasha memiliki 2 soal tersisa, pikirannya kembali hilang. Dia kembali melamun. Hingga Sasha melamun terlalu lama, sampai tak menyadari ada yang memasuki kelasnya.

"Heh!" Sasha terlonjak. Hanya Anggit, tunggu? Dia sudah kembali?

"Ngelamun teross," Sasha berdecak, dunianya lebih asyik, dia bisa membayangkan untuk jadi orang yang sempurna di sana.

"Stop terlalu ambis, nggak baik," Seakan Anggit tau pikirannya. Sasha mengangguk.

"Pengennya gitu, susah,"

"Lo kan udah pinter, bagi kek sama yang lain,"

"Gue nggak pengen mahir, seenggaknya bisa lah, iri berat gue," Anggit mendekat ke meja Sasha, melihat kertas-kertas yang sudah cukup penuh terisi dengan jawaban.

"Gini nih kalo lahir dari keluarga berotak limited edition, kayaknya lo sekeluarga tuh ya, pas pembagian otak antri paling depan, makanya pikiran lo lancar kayak layar 120 hertz," Sasha terkekeh.

"Soalnya bukan soal hots kok, soal dasar, cuman banyak aja,"

"Hilih, udah ahh, yok kantin, ada waktu lima belas menit buat ke pelajaran bu Andin," Sasha mengangguk. Keduanya berjalan beriringan ke kantin, meninggalkan kelas yang semakin hening karena benar-benar kosong sekarang.

* * *

Hari ini berlalu dengan cukup baik. Sasha sudah bisa tersenyum sekarang. Apalagi saat soal tadi di nilai, sembilan puluh delapan, hanya meleset satu soal dari lima puluh soal.

"Kenapa?" Tian heran melihat Sasha yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila di belakangnya. Tian membawa motornya hari ini.

"Nggak papa, gue lagi seneng aja, sekali-sekali bangga sama diri sendiri,"

"Paling juga gara-gara nilai lo bagus,"

"Nahh tu lo tau,"

"Gini kan enak, belajar bersyukur," Sasha mengangguk, dia akan terus tersenyum sepanjang hari ini. Tak peduli orang yang menatapnya heran di sepanjang jalan.

"Lo nggak jadi latihan basket?" tanya Sasha saat dia turun.

"Jadi, tapi gue anter lo dulu,"

"Ck, gue kira batal, tau gitu gue ngegrab kan lo jadi bolak-balik," Sasha mencebikkan bibirnya.

To Be OkayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang