"Papa beneran mau berangkat?" tanya Tania yang entah sudah berapa kali dilayangkan pagi ini.
Saat ini pukul 04.30. Mereka tengah berada di ruang makan dan bersiap-siap mengantarkan papa ke bandara. Jadwal berangkat papa memang dipercepat, tidak tahu karena apa.
Namun, bukan papa yang menjawab. Melainkan ibu. "Iya, Tania. Udah itu dimakan dulu sarapannya. Kalau enggak habis ntar ibu nggak izinin Tania ikut antar papa." jawab ibu, lalu beralih mengambil segelas air dan meminumnya.
"Tania kangen masakan papa." ucap Tania tiba-tiba.
Hening. Tak ada yang menjawab.
"Pengen deh Tania dimasakin lagi sama papa kayak dulu. Apa hal itu bisa terjadi lagi besoknya, pa?"
"Tania, lo tuh cuma ditinggal kerja sama papa. Bukan ditinggal yang gimana-gimana. Nggak usah lebay, deh." sinis Faye.
Bibir Tania bergetar. Ia terlihat ingin menjawab perkataan Faye, tetapi tak jadi. Mulutnya tertutup lagi bersamaan dengan tetesan air mata yang mengalir semakin deras.
"Maaf, Faye, kalau ucapan gue selalu bikin telinga lo sakit."
"Enggak, bukan gitu!" sela Faye. "cuma gue nggak suka sama sifat lo yang semuanya dibikin gede. Kayak urusan papa kerja nih, papa cuma pergi sementara, Tania. Papa kerja juga buat lo, buat kita. Jadi, nggak perlu deh lo ngomong yang aneh-aneh lagi kayak tadi."
"Sudah sudah," lerai papa. "kalian ini sayang nggak sama papa?"
Tak ada yang menjawab pertanyaan retorik tersebut.
"Kalau kalian memang sayang sama papa, buktikan, ya. Buktikannya dengan cara bagaimana? Ya saling menjaga saudaranya, menjaga ibu juga. Saling menghormati, menyayangi, dan semuanya yang positif-positif. Bukannya malah berantem terus kayak gini."
"Bener kata papa. Kalian tuh saudara, lho. Jangan suka berantem kayak gini, apalagi karena hal kecil. Terutama Faye sama Tania, tuh. Ibu tau kalian emang beda banget, tapi ya jangan sama-sama keras. Jangan nggak ada yang mau ngalah. Mengalah bukan berarti kalah, itu artinya kalian menjadi yang paling dewasa karena udah bisa berlapang dada. Ibu udah pernah bahas tentang ini 'kan sebelumnya?"
Ketiganya mengangguk.
"Terus kenapa nggak dicoba untuk menerapkan di kehidupan? Kenapa sih manusia itu susah kalau disuruh menerapkan? Paham teorinya doang, paham sama ilmu yang diajarkan, tapi enggak pernah dipraktikkan. Kenapa, tuh?"
"Ibu jangan marah..." cicit Tania.
"Ibu nggak marah, Tania. Ibu nggak marah. Ibu cuma ngingetin ke kalian untuk sekian kalinya. Jangan ada lagi keributan di rumah ini, ya? Malu sama umur. Umurnya udah banyak, tapi sikap yang diambil belum juga bisa dewasa. Belum bisa mengendalikan emosinya. Ibu tuh pengen kita setiap harinya menjadi manusia yang lebih baik lagi. Makanya tiap kalian melakukan kesalahan, ya ibu ingatkan. Jangan kalian kira kerjaannya ibu cuma marah-marah dan ngatur ini itu ke kalian. Kalian juga boleh ingetin ibu kalau ada yang salah sama ibu. Kayak kakak Rigel kemarin, ibu udah beberapa hari lupa enggak cek kondisi butik, terus kakak ingetin. Kakak bilang kalau itu masih jadi tanggung jawab ibu, jadi, ibu nggak boleh kayak gini. Seneng lho ibu kalau anaknya begitu."
Sempat hening selama beberapa menit, sebelum akhirnya terdengar celetukan dari Rigel yang sedari tadi diam.
"Ngapain sih dari tadi ngelirik handphone mulu, Faye? Lagi chatan sama siapa?"
Faye menoleh. "Hah? Apaan sih?"
"Lo budeg, ya? Ditanya tuh, lagi chatan sama siapa?" ulang Tania dengan nada jutek.
KAMU SEDANG MEMBACA
the betelgeuse
أدب المراهقينSedikit kisah keluarga Betelgeuse dengan permasalahan yang ada. © hazelova, 2021.