Mikasa bukanlah tipe gadis melankolis atau dramatis. Kesibukannya sebagai mahasiswa berputar pada penelitian, jurnal dan makalah. Satu-satunya hal yang menjadi obsesinya adalah menimba ilmu. Ia senang menelaah fakta-fakta baru. Impiannya adalah menjadi bagian dari keajaiban zaman. Menempatkan diri dalam sosok pribadi yang kelak dikenang sebagai ilmuwan, atau pembimbing, juga seorang guru besar.
Setiap hari yang dia lalui tidak bisa dibilang terlalu monoton, tetapi juga tidak bisa disebut sebagai kehidupan yang berwarna. Ia hanya cenderung menikmati dirinya sendiri. Bersama keempat temannya; kawan-kawan karibnya yang juga berbagi rumah dengannya.
Bila kehidupan itu seperti roda yang berputar, maka setiap harinya akan selalu menjadi cerita baru. Kejadian-kejadian singkat yang tidak terlalu penting akan langsung dilupakan. Mikasa selalu mensyukuri kehidupannya, menghargai setiap detik yang lewat. Terutama bila ada momen sederhana yang sangat berkesan.
Akan tetapi, dari semua momen yang pernah dimiliki. Barangkali hanya ada satu yang benar-benar mengubah hidupnya.
Suatu hari berhujan menjebaknya berhimpitan dengan sekumpulan orang yang juga mencari tempat berteduh dalam lobi mall. Ketika Mikasa melangkah lebih dalam demi mencari tempat tenang yang jauh dari keramaian, saat itulah ia menemukan tempat itu. Sebuah kafe yang bersebelahan dengan gerai donat yang diketahui sebagai tempat kerja sahabatnya.
Nama kafe itu menggugah minat Mikasa. Kafe Mawar; seperti yang terbaca pada mural yang disepuh cahaya di atas pintu masuk. Ia bertanya-tanya apakah kafe itu benar-benar menjanjikan estetika seperti namanya.
Ketika Mikasa duduk di salah satu meja dan disambut oleh seorang barista, ia tidak pernah memperhitungkan bahwa kesempatan itu akan mengubah sisa hidupnya hingga selamanya.
Barista itu, yang kelak dikenalnya bernama Levi, sekilas memang tampak menawan━kontur wajah berkharisma, tubuh tegap dalam balutan kemeja putih, dilapisi rompi hitam, dengan dasi kupu-kupu tersemat di leher.
Sekilas Mikasa merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda. Pertama-tama ia ingin menguji reaksi barista itu. Menggunakan fakta bahwa kopi bukanlah tujuan utamanya datang.
"Kamu ini berada di kafe, Nona," kata si barista. "Harus memesan kopi atau sesuatu dari sini."
Mikasa ingat cara Levi menggertaknya━atau hampir seperti menggertak. Dahinya berkerut dalam. Jika Levi marah atau tersinggung, dia pandai menutupi itu di balik wajah ramahnya yang dibuat layaknya profesional.
"Maaf, Tuan. Aku nggak terbiasa minum kopi. Aku hanya ke sini untuk berteduh dari hujan."
Benar bahwa selama ini ia selalu menjaga dirinya dari dosis kafein yang terlalu tinggi. Dan bahwa Mikasa lebih menyukai teh di atas segalanya━meskipun bukan berarti ia sama sekali membenci kopi. Hanya jika diberi pilihan, maka kopi akan menjadi pilihan akhir.
"Aku tahu di luar hujan deras, tapi bukan begini caranya. Lihat, ada pelanggan lain." Levi mengedarkan pandangan. Barista itu mulai terlihat kesal. "Aku nggak mau waktuku terbuang untuk omong kosong ini."
"Nah, tujuanku adalah untuk berteduh." Mikasa menegaskan lagi. "Aku nggak keberatan kalau kau meninggalkanku dan mengurusnya terlebih dahulu."
Mikasa menunjuk meja pelanggan baru, yang ternyata sudah dilayani oleh barista lain.
Ada kerutan ketidaksukaan yang semakin dalam. Mata Levi mengikuti ke mana telunjuk Mikasa mengarah, tanpa niat untuk bergeser atau berpindah.
"Ini wilayahku, ikuti aturanku atau kubuat kamu keluar."
"Kaku sekali." Mikasa mendengkus. Tatapan tegas barista itu membuatnya sedikit kewalahan. Akhirnya Mikasa memutuskan untuk menyudahi permainan.
"Oke, apa yang kau punya?"
"Kamu harus mencoba ini." Levi menunjuk gambar cangkir berisi kopi dengan hiasan latte art yang warnanya agak pekat. Mendadak Levi beralih dari mode 'ikuti aku atau kamu akan diusir' menjadi barista ramah yang murah senyum.
Suara Levi melembut ketika mengeluarkan jurus rayuan pelanggan. Percaya diri bahwa inilah keahliannya, untuk meluluhkan Mikasa.
"Kopi buatan kami istimewa." Levi melanjutkan. "Kujamin kamu pasti suka."
Mikasa bimbang dengan pilihan-pilihan itu. "Ada rekomendasi yang cocok?"
Ada jeda sejenak ketika Mikasa merasa diamati, dan saat mendongak, ia menemukan tatapan Levi terpaku padanya dengan keingintahuan dan penyelidikan yang serius.
"Kamu punya rasa espresso." Levi berkata seolah jawaban itu tertulis pada dahi Mikasa. Ada binar keyakinan di matanya, sesuatu semacam kemenangan batin.
Levi menopang satu tangan di atas siku, memandang Mikasa penuh penilaian. "Tapi setelah dilihat lagi, kamu juga punya rasa latte."
"Jelaskan maksudnya." Mikasa menuntut.
"Bagi pecinta kopi, memilih kopinya sendiri adalah falsafah kebebasannya."
Sampai di sini, tampaknya menarik. Mikasa tergelitik oleh fakta itu. Bahwa mungkin saja, setelah ini kopi akan menggeser minatnya dan mencuri separuh ambisinya. Entah itu karena intuisi filosofi kopi yang dimiliki barista itu. Jadi, ia semakin dipenuhi rasa penasaran.
"Baik." Mikasa berujar. "Aku tahu perumpamaan itu. Tapi, aku lebih ingin tahu seperti apa hasil racikanmu? Apa benar-benar rasa kejujuran atau cuma rasa bualan?"
Levi mengangkat dagu. Lengan saling disilangkan. "Benar. Ini keahlianku. Membuat pelanggan sepertimu bungkam dan bertekuk lutut."
"Filosofis sekali. Jadi, apa kopi untukku? Espresso? Latte?"
"Tunggu dan lihat saja."
Ada seringai dan tantangan berkilat di mata Levi saat barista itu membalik punggung untuk menunaikan tugasnya.
Sempat terjadi perdebatan dalam benak Mikasa yang ingin mengajukan kometar lagi. Tetapi rasa ingin tahu mengalahkannya. Jadi Mikasa hanya menunggu dengan sabar detik-detik ketika Levi mengolah kopi untuknya.
Tiga menit kemudian, kopi hangat pesanan Mikasa sudah tersaji di meja.
"Ini latte," kata Levi dengan tangan menangkupkan nampan ke depan dada.
"Untuk menghangatkan harimu. Silakan dinikmati."
Barista itu memasang wajah seperti tersenyum━atau betul-betul sebuah senyuman, jika dia memang meniatkan senyuman. Mikasa meringis dalam hati. Sepertinya Levi sedang berusaha memberikan pelayanan ramah seperti yang seharusnya. Jadi, Mikasa menghormati itu. Mungkin, suatu saat ia akan mengajari Levi cara tersenyum yang benar.
Mikasa hanya meletakkan jarinya melingkar di telinga cangkir ketika aroma yang menguar sudah membuatnya takjub. Aromanya manis dan uapnya hangat. Ada latte art berbentuk kurva yang membungkus gambar hati di atasnya.
"Jangan salah paham." Levi seolah tahu isi pikirannya. "Latte art itu paling mudah digambar."
Mikasa hanya menaikkan alis tak peduli. Dalam prosesnya, ia terlalu terbuai pada aroma kopi hingga tak ragu mengangkat cangkir ke bibir. Begitu likuid kopi itu memenuhi mulutnya, ia merasa seperti tersengat. Sengatan lembut seperti suntikan obat.
Rasa kopi itu membuatnya ketagihan; manis yang tidak berlebihan. Melekat di lidah dan meninggalkan jejak yang membuatnya terkesan sepanjang hari.
Sementara Levi sudah sibuk melayani pelanggan lain, Mikasa dibuat sibuk oleh pikirannya sendiri.
Jangan-jangan, ada bubuk magic milik peri kopi yang ditumpahkan dan diaduk di dalam? Jelas tidak ada yang namanya peri kopi.
Ini secangkir momen yang sangat berharga. Mikasa mulai mempertimbangkan apakah dia akan menaruh kepedulian terhadap sesuatu di luar jurnal dan makalah penelitian, seperti menelaah tentang kegunaan dan manfaat kopi. Sungguh jenius untuk mulai memasukkan kopi dalam daftar favoritnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORIST | RivaMika
FanfictionMikasa bertemu seorang barista di sebuah kafe random. Terpikat oleh barista itu, namun terhalang oleh penyangkalan atas perasaannya sendiri. Teman-temannya mengetahui hal itu dan mereka berusaha membuatnya mengaku. [Kisah-kisah Mikasa dan Levi, dari...