Sore itu dalam rumah kos di ruang depan, keempat gadis bersantai menikmati free time akhir pekan. Sasha rebahan di sofa seraya mulutnya sibuk mengunyah camilan. Historia berselonjor kaki di lantai, punggung bersandar di antara kedua kaki petra yang duduk di sofa di belakangnya. Petra punya kebiasaan menyisir rambut Historia dan melakukan berbagi ekspermen dengan mengikatkan pita-pita di rambut pirangnya yang panjang. Historia tidak keberatan dan untuk itulah mereka berdekatan.
Mereka sedang menonton drama korea yang diputar di laptop Mikasa yang dipinjam oleh Historia. Tepatnya hanya Historia dan Petra yang menonton dan menikmati setiap detik tontonan itu untuk mereka. Sementara Annie tengah menyetrika baju di dalam kamar. Pintu kamar Annie terbuka sehingga mereka bisa saling sahut-menyahut dengan suara normal dan saling melempar tawa dan olok-olok. Suara-suara dialog dan backrground musik drama menjadi latar belakang aktifitas mereka. Untuk beberapa saat mereka dalam situasi itu hingga disela oleh Mikasa yang mondar-mandir di antara ruang depan dan dapur. Wajah Mikasa mencerminkan kegelisahan.
"Mik, kenapa mondar-mandir? Duduk sini yuk. Yang tenang," ujar Petra mengajaknya.
"Kamu ada masalah apa? Sejak tadi mondar-mandir begitu?" Historia menyahut.
"Mik, mau kacang? Kacang bawangnya enak nih. Kubagi buat kamu." Sasha menawarkan toples kacang.
"Tanda-tanda si tuan putri lagi galau. Tengkar lagi sama pacar baristanya?" Annie menyeletuk tanpa perasaan.
Mikasa segera merebahkan diri di samping Historia, menjulurkan tangan ke dalam toples Sasha sebelum melempar sebiji kacang dalam mulutnya.
"Salah, An. Ini bukan tengkar kayak yang kamu pikirin."
"Jadi, memang tentang pacar baristamu kan?"
Mikasa menarik napas panjang. Seolah hendak menata setiap kata dalam benaknya untuk disusun menjadi kalimat berita. "Jadi kemarin begini ...."
*
Sore itu ketika Mikasa memasuki kafe, Levi tampak kuyu dan berantakan. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, menandakan sesuatu yang mungkin menjadi beban pikiran. Gerak-gerik Levi ketika memandangi Mikasa juga terlihat ragu-ragu dan tidak pasti. Firasat Mikasa makin diperkuat saat Levi mengantar cangkir pesanan Mikasa dan mengatakan sesuatu yang membuatnya tertegun.
"Kamu ada waktu? Atau sedang keburu pulang?" Levi bertanya.
"Kebetulan lagi agak senggang. Mungkin aku bisa menemanimu sampai kafe tutup?" Mikasa spontan memutuskan.
Levi melirik jam tangan. Masih ada dua jam sebelum sift kerjanya berakhir.
"Bagus," sahut Levi. "Aku ingin mendiskusikan sesuatu nanti."
Kemudian Levi beralih dan kembali melayani pelanggan lain.
Mikasa melanjutkan fokus terhadap slide powerpoint di layar laptop seraya sesekali mengalihkan perhatian pada Levi. Tidak ada pertukaran kata lagi selama jeda waktu. Levi lebih banyak berada di balik meja pantri mengoperasikan mesin espresso dan menyiapkan sajian di belakang, begitu fokus melakukan tugas-tugasnya hingga seakan melupakan keberadaan kekasihnya yang terus mengamatinya.
Mikasa hanya menebak-nebak apa gerangan masalah yang ingin Levi bicarakan. Itu pasti sangat penting sehingga Levi memintanya agar menyisihkan waktu. Ia hanya berharap itu bukan sesuatu yang mengkhawatirkan, apalagi merugikan hubungan mereka.
Ketika pada akhirnya kafe tutup dan pelanggan terakhir keluar, Levi segera memenuhi janjinya dan menjawab kelegaan Mikasa.
"Ibuku memintaku pulang." Levi berkata tepat menuju titik utama. Ada keraguan yang terbayang dalam suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORIST | RivaMika
FanfictionMikasa bertemu seorang barista di sebuah kafe random. Terpikat oleh barista itu, namun terhalang oleh penyangkalan atas perasaannya sendiri. Teman-temannya mengetahui hal itu dan mereka berusaha membuatnya mengaku. [Kisah-kisah Mikasa dan Levi, dari...