Setelah jeda istirahat selama dua jam, begitu matahari tergelincir, mereka berdua berangkat dari pos pendakian di kaki gunung.
Karena Mikasa berkata ingin dapat pengalaman mendaki yang sesungguhnya. Levi sempat kahwatir Mikasa akan kelelahan karena tidak mengenali medan. Levi ingin mereka menempuh rute terpendek agar tidak perlu berjalan memutar hingga sangat jauh.
Namun, Mikasa menolak. "Nggak usah khawatir, Levi. Aku suka lari keliling komplek tiap minggu pagi. Aku tahu semua tentang kebugaran tubuh dan kerja keras."
"Bukan begitu, Mikasa. Jalur pendakian yang biasa kurang bersahabat untuk pemula━jadi kita lewat jalur lain. Kita lihat dulu, kalau sekarang kita baik-baik saja sampai sana, lain kali aku akan mengajakmu merasakan pendakian yang sesungguhnya."
Akan tetapi, ini sudah melewati sepuluh kilometer jalur pendakian━Mikasa tidak menghitung, dan rasanya ia seperti mau mati. Napas tersengal-sengal. Udara di sekitarnya makin menipis. Jantungnya berdebar kencang. Kepala pening, dan rasa nyeri mulai merambat di telapak kaki, betis dan lututnya pegal dan sakit.
Udara mulai gelap tertutup kabut. Mikasa menyadari bahwa ia sudah tertinggal tujuh langkah di belakang Levi. Ia menapakkan kakinya dari satu batu menuju batu lain. Susah payah. Ranting-ranting pohon menjulur di kanan kiri. Ia mengulurkan tangan menggapai dedaunan itu demi mencari penopang untuk berjalan. Bunyi gemericik air, siulan hewan-hewan hutan, serta siutan angin, adalah paduan alam yang mengesankan━andai kondisinya jauh lebih baik.
Setengah meter di depan, Levi menoleh untuk mengecek keadaan Mikasa. Dari balik tudung jaket bulu, wajah Levi masih tampak segar━ajaib, dia tidak tampak letih sama sekali.
Levi mengawasi Mikasa dengan khawatir. Sudah masuk waktu senja dan langit hampir gelap, tetapi tujuan pendakian mereka masih jauh.
Levi berseru cemas, "Mikasa! Gimana di sana?"
Mikasa menjawab dengan suara patah-patah, "Nggak papa! Ini belum seberapa. Aku baik-baik aja!"
Levi justru semakin cemas melihat kegigihan Mikasa yang sudah menunjukkan kelelahan. Tampak dari wajahnya yang pucat dan keringat yang bercucuran.
"Sebentar lagi kita sampai!" Levi menyemangati.
"Mau kugendong?" tanya Levi lagi seraya berjongkok untuk mempersilakan Mikasa menaikinya.
Walaupun tahu, dia akan ditepis. "Nggak usah!" kata Mikasa. "Simpan saja tenagamu sendiri."
Mikasa sudah mencapai tempat Levi, yang tadi sempat berhenti. Meski begitu, ia menerima tangan Levi yang terulur padanya dengan pasrah.
Kedua tangan berbalut sarung tangan tebal itu bertemu.
"Kamu seneng banget maksain diri sendiri?" Levi berujar seraya meremas tangannya kuat-kuat. "Baiklah kalau mau tetap jalan mendaki. Tapi jangan tolak bantuanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORIST | RivaMika
FanfictionMikasa bertemu seorang barista di sebuah kafe random. Terpikat oleh barista itu, namun terhalang oleh penyangkalan atas perasaannya sendiri. Teman-temannya mengetahui hal itu dan mereka berusaha membuatnya mengaku. [Kisah-kisah Mikasa dan Levi, dari...