Ketika sampai di kafe, Levi menyambut Mikasa dengan segelas avocado coffee dan seporsi pandan sponge cake. Pertemuan itu agak sedikit canggung ketika Levi kembali bekerja membiarkan Mikasa menikmati kopi nya. Tidak banyak pertukaran kata. Ada sesuatu yang tak terkatakan, antara rasa bersalah dan pikiran menyakitkan saat Levi tampak biasa dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Jadi Mikasa hanya menghabiskan waktunya untuk mengetik revisi paper━yang ternyata berjalan lancar. Mungkin efek kopi rasa buah alpukat yang di-mixing memberinya secuil ketenangan, atau juga karena sebagian dirinya merasa lega melihat Levi kembali.
Hingga tiba-tiba satu jam kemudian Levi mengejutkan dengan menarik Mikasa keluar kafe.
Mereka berjalan menuju dekapan udara malam. Menyelam ke dalam kerlip lampu kota yang berkejaran.
"Mengapa kita keluar? Pekerjaanmu belum selesai." Mikasa berkata penuh tanda tanya. Arloji di tangan menunjukkan pukul delapan, masih satu jam sebelum Kafe Mawar benar-benar tutup━seharusnya Levi masih menuntaskan pekerjaannya.
"Menghirup udara malam. Bos sudah mengijinkanku memotong waktu khusus hari ini."
Ada sesuatu dalam ekspresi wajah Levi yang sulit dibaca.
Mikasa memelankan langkah hingga ia tertinggal satu langkah di belakang. Ini pasti disebabkan olehnya. Levi jelas ingin membuat sesuatu semacam rekonsiliasi atas hubungan mereka.
"Maafkan aku, Levi." Suara Mikasa terdengar seperti gumaman rendah. Hampir teredam oleh kebisingan suara kendaraan di jalan.
Pemuda itu menghentikan langkah tiba-tiba. Berdiri dengan ekspresi kaku. Dahinya berkerut dan mulutnya datar. Ketika Mikasa memberanikan diri mengangkat pandangan, tatapan Levi tidak dapat ditembus. Ia malah berfokus pada kedua tangan Levi yang diselipkan dalam saku celana.
"Untuk apa? Kita sudah saling memaafkan bukan?"
Ada ketegangan lemah yang terasa seperti benang yang ditarik kencang di antara sitatap mata mereka berdua.
"Maafkan aku atas yang kemarin."
Levi membalik badan dan meneruskan langkah. "Kemarin? Karena aku sudah melukaimu seperti itu, jadi sepadan bukan? Aku paham mengapa kamu marah."
Mikasa mengikuti langkahnya hingga mereka beriringan sejajar. Tiba-tiba ia jadi tidak yakin atas dirinya, atas segala hal, dan atas mereka berdua.
"Aku buruk dalam menahan emosi. Selalu sangat buruk." Mikasa menggosok-gosok kedua tangannya saat bicara. "Apalagi rasanya seperti dilempari sepuluh telur busuk dan disiram dengan air comberan. Saat aku nggak bisa melawan apapun untuk menghadapi serangan itu, aku melampiaskannya ke hal lain."
"Kupikir itu wajar, Mikasa." Levi memandang lurus ke jalan.
Mikasa tak dapat memalingkan fokus tatapannya dari ekor mata. Tampak samping wajah Levi dengan pantulan kerlip lampu seperti selubung misterius yang menarik semua cahaya.
"Kamu sedang lelah," kata Levi lagi. "Dan aku nggak bisa membuatmu tenang dengan cara yang benar. Yah, karena aku belum tahu caranya. Dan aku nggak benar-benar melihat sudut pandangmu, jadi aku hanya membuat asumsi dan persekusi."
Mikasa menahan suara untuk mempertimbangkan tanggapan berikutnya. Bila yang ia pikirkan benar, maka inilah proses adaptasi sebuah hubungan. Rasanya seperti membangun pondasi bagi rumah baru, atau menaiki sampan untuk mengarungi lautan. Dan yang mereka lakukan masih sebatas meraba-raba pondasi itu, atau justru menyingkir untuk sekedar berlayar di tepian pantai yang dangkal. Mikasa baru memperoleh permisalan itu dan menyadarinya persis seperti itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/268001687-288-k365105.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORIST | RivaMika
FanfictionMikasa bertemu seorang barista di sebuah kafe random. Terpikat oleh barista itu, namun terhalang oleh penyangkalan atas perasaannya sendiri. Teman-temannya mengetahui hal itu dan mereka berusaha membuatnya mengaku. [Kisah-kisah Mikasa dan Levi, dari...